Part 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Bugh'

Langit tersungkur ke aspal. Sehat atau pun tidak, jika diberi serangan tiba-tiba begitu pasti terjatuh.

Alis Langit berkerut ketika Cakra, mencengkeram kerah seragam Langit dengan sangat kuat. "Lo apain Sonya tadi pagi, Bangsat?"

"Dia ngadu?" tanya Langit berusaha bersikap santai.

Cakra semakin mencengkeram erat kerah seragam Langit. Giginya mengerat, "Sonya bukan tukang ngadu."

"Lo gak akan tahu kalau dia gak ngadu."

Cakra melepas cengkeramannya. Cowok itu akhirnya memilih masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke arah Langit yang kini terduduk di atas aspal.

Cakra mengacak rambutnya kasar. Tidak, ia tidak marah soal Sonya. Ia marah karena Dara yang semakin dekat dengan Langit.

Dulu, Cakra, Langit, dan juga Sonya sahabatan. Cakra yang menyimpan rasa pada Sonya, namun Sonya ternyata menyukai Langit, dan Langit pun sebaliknya. Keduanya jadian saat Sonya duduk di bangku 1 SMA, dan Langit kelas 3 SMP kala itu.

Sampai akhirnya, Cakra memutuskan untuk tinggal di Indonesia, sendiri. Ia tak mau menjadi penghancur kebahagian Langit atau pun Sonya, walaupun jujur, hatinya sangat sakit dan mulai membenci Langit saat itu

Saat ia pindah ke Indonesia, saat itu juga ia bertemu dengan Dara. Gadis itu masih mengenakan seragam SMP kala itu, dan yang membuat Cakra tertarik pada Dara, ia tengah membantu seorang Nenek menyeberang jalan.

Cakra tidak tahu siapa namanya, dulu. Dan mereka dipertemukan kembali saat Cakra akan berangkat ke sekolah, motor yang Dara kendarai mogok. Cakra dengan senang hati membantunya.

Sejak saat itu, keduanya dekat, dan jadian. Dan Dara, berhasil membuat Cakra melupakan Sonya, walau tidak sepenuhnya.

Satu Tahun setelahnya, Sonya tiba-tiba pindah ke Indonesia. Beberapa hari setelahnya, Ayah Sonya meninggal. Ia menitip wasiat pada Cakra, untuk menjaga Sonya dengan cara bertunangan dengan gadis itu. Dan Cakra merasa bodoh karna mengiyakan begitu saja saat itu, fokusnya kembali pada Sonya dan malah mengabaikan Dara.

Tanpa Cakra sadari, niat awal yang tak ingin mengganggu hubungan Langit dan Sonya, kacau. Cakra merebut Sonya yang berstatus pacar Langit saat itu. Ia melihat jelas wajah kecewa Adiknya, sampai sekarang, Langit belum tahu alasan itu.

Sampai hari di mana Dara memutuskan Cakra tiba, Cakra benar-benar menyesal sudah menyia-nyiakan Dara.

Cakra menatap ke arah Langit yang baru saja masuk. Cowok itu menatap dingin ke arahnya, setelah itu, Langit memilih menaiki anak tangga.

"Lo gak salah deketin Dara, Lang. Di sini yang salah gue. Lo gak pernah rebut Sonya dari gue, karna dia bukan siapa-siapa gue waktu itu. Tapi sebaliknya, gue yang udah rebut Sonya."

"Dan sekarang gue rasain apa yang lo rasain. Dara orang yang harusnya gue jaga, malah deket sama Adik gue sendiri." Cakra mengatakan itu dengan sangat pelan. Dan Langit tentu saja tidak mendengar karena sudah masuk ke dalam kamarnya.

***

Dara duduk di teras rumah dengan sendirian. Gadis itu terlihat anteng dengan ponsel yang ia genggam sedaritadi.

"Nih, puding."

Dara melirik ke arah Reza yang dengan santainya duduk di samping Dara setelah meletakkan puding yang ia bawa.

"Eh btw, tadi gue lihat lo sama cowok. Pacar lo, ya?" goda Reza seraya menunjuk Dara dengan jari telunjuknya.

Dara memutar bola matanya malas. "Sok tahu."

"Emang gue tahu. Eh, tapi cowoknya ganteng, Dar. Gak heran sih, orang Adik gue cantik." Reza tertawa pelan.

Dara mengabaikan ocehan Reza yang sama sekali tak bermutu untuknya. Gadis itu memilih fokus pada ponselnya lagi.

"Dar, nanti sore jalan-jalan sama gue, yuk. Gue yang traktir, deh."

"Duit yang lo punya dari Bokap gue. Gak usah sok keras mau traktir gue."

Ucapan Dara sontak membuat Reza terdiam seribu bahasa. Cowok itu terkekeh miris seraya menatap ke arah lain. "Iya," jawab Reza.

Dara menatap ke arah Reza yang tiba-tiba berubah. Cowok itu tak lagi se-excited tadi. "Kenapa? Ada yang salah?"

"Gak salah, kok."

"Yang salah itu cara lo ngomong, Dar. Kalau lo sombong kayak gitu, sampai kapan pun, gak akan ada orang yang suka sama lo. Omongan yang gak disengaja yang kadang bikin sakit hati."

Dara beranjak, gadis itu menatap Reza tajam. "Lo denger, gue bukan lo yang hidupnya dipenuhi sama orang-orang yang suka sama lo. Dari kecil, gue gak perduli orang suka sama gue atau enggak. Gue juga gak butuh kasih sayang kayak lo, dari kecil, gue udah biasa hidup sendiri. Dan semuanya makin kacau setelah lo, sama Ibu lo itu hadir di hidup Bokap gue."

"Tapi lo gak bener-bener hidup sendiri. Lo masih hidup bergantung sama Bokap, Dar. Tanpa uang dia, lo gak akan hidup sampai sekarang. Lo juga gak akan bisa hidup tanpa dampingan orang-orang, jangan merasa lo sendiri. Karena istilah sendiri sejak kecil atau apapun itu gak bener-bener ada."

"Oh, iya. Buat orang kayak lo, duit pasti segalanya. Asal lo tahu, gue gak minta buat hidup, gue gak minta buat lahir jadi anak Mama atau pun Papa gue."

Reza menggeleng tak percaya. "Gue bukan orang yang menganggap uang segalanya. Keluarga gue emang orang miskin, tapi yang penting gue sama Nyokap gue, gak miskin etika kayak lo."

Reza akhirnya memilih melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Dara mengepalkan tangannya kuat. Matanya memanas, air matanya perlahan menetes.

Dara yang merasa hidupnya selalu sendiri sejak dulu, dan Reza yang tak terima dirinya dan Ibunya dihina seperti tadi. Keduanya sama-sama keras, keduanya sama-sama memiliki maksud lain dari pertengkaran itu.

***

Sudah malam, tapi Dara tak berniat untuk pulang. Gadis itu langsung pergi dari rumah setelah bertengkar dengan Reza tadi.

Saat ini, ia duduk di halte Bus sendirian. Tanpa kendaraan, dan tanpa uang.

Apa yang Reza katakan benar. Dara tak benar-benar hidup sendiri selama ini. Tanpa uang yang Papanya beri, Dara tak akan sekolah, ia tak akan sehat sampai sekarang.

Dara tahu itu kebutuhan, tapi Dara juga ingin merasakan kasih sayang dari Mama dan juga Papanya.

Dara ingin mengadu pada mereka ketika ia sedih. Dara juga ingin menceritakan hari-hari yang ia lewati pada mereka.

Sederhana, tapi mereka tak pernah ada.

Sederhana, tapi Dara tak pernah mendapatkannya.

"Yaudah, emang bagusnya kita cerai. Dari awal, hubungan kita atas dasar ketidaksengajaan, kan?"

"Terus, Dara?"

"Kita gak pernah bahagia setelah Dara hadir!"

"Jaga bicara kamu, Rebecca!" Ragil terlihat marah kala itu. Namun, Rebbeca menggeleng dan tertawa. "Kenapa? Bener, kan? Kehadiran Dara itu cuman karena kecelakaan."

"Aku mau kita cerai," ujar Rebecca mutlak.

Dara yang baru saja menginjak bangku sekolah Dasar saat itu, menatap sendu ke arah kedua orang tuanya di ambang pintu.

"Ayolah, Gil. Aku tahu kamu gak pernah cinta sama aku. Kamu bisa lepas tanggung jawab setelah ini, kamu bisa lanjutin masa muda kamu yang sempet kamu tinggalin—"

"Oke, kita cerai. Secepatnya."

Bahu Dara semakin merosot. Dara mengerti saat itu, dia tahu alasan mengapa orang tuanya selalu sibuk.

Dara mengusap air matanya. Bayangan masa lalu itu kembali menyesakkan dadanya.

"Mama apa kabar, ya?" gumam Dara.

Dara menatap ke arah langit malam. Matanya masih berkaca-kaca. "Dara mungkin hampir gak pernah ngerasain kasih sayang Mama. Tapi Dara gak mungkin benci sama orang yang udah lahirin Dara," lirih Dara.

Sebuah motor berhenti tepat di depan Dara. Dara sontak mengusap air matanya.

"Dar, ayo pulang!" ajaknya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Dara sinis.

Bukannya menjawab, cowok itu malah tertawa. "Biasa, ikatan hati kita kan udah kuat. Ayo naik ke boncengan gue, gratis peluk," ucapnya.

Dara masih diam dan terlihat enggan untuk beranjak.

Langit, cowok itu akhirnya memilih turun dari atas motor dan memilih duduk di samping Dara. "Gue dapet telpon dari Jessica, katanya lo belum pulang. Jessica dihubungin sama Abang lo katanya pake hp lo."

"Lo kenapa? Ada masalah, hm?" tanya Langit lembut.

"Lo bukannya masih sakit?" tanya Dara mengalihkan pembicaraan mereka.

Langit menggeleng, "Enggak, kalau jemput lo doang mah, gue langsung sembuh." Langit tersenyum di bibir pucatnya, sangat manis.

Dara menatap wajah cowok itu. Tangan Langit terulur mengusap pipi Dara yang masih menyisakan air mata. "Lo kenapa bisa nangis gini sih, Dar? Gue kan ikut sedih jadinya."

"Gue jahat banget ya, Lang? Sampai-sampai semuanya ngejauh dari gue," ucap Dara yang ternyata kepikiran apa yang Reza ucapkan tadi.

"Jahat? Lo bukan nenek sihir, lo kan princess gue." Langit tertawa pelan.

"Sini deh." Langit menarik Dara mendekat dengan cara merangkulnya.

"Coba, bilang, apa yang lo rasain sekarang?" tanya Langit.

Dara menghela napasnya, bibirnya tiba-tiba saja bergetar menahan tangis. "Gue kangen Mama," lirihnya.

"Gue pengen deket sama Papa sama kayak Reza. Gue pengen punya Mama yang sayang sama gue kayak Mamanya Reza."

Langit memilih diam dan mengelus rambut Dara.

"Semuanya ninggalin gue, gue jahat, Lang. Apa yang keluar dari mulut gue, cuman bikin mereka semua sakit hati. Mereka ngejauh, mereka gak suka gue, karna gue sombong, gitu kata Reza."

"Gue gak gitu, Lang. Gue cuman butuh Mama sama Papa, gue jahat."

Begitulah Dara. Kelihatan tegar, padahal gampang kepikiran. Terlihat kuat, padahal lemah.

Langit menarik Dara dan memeluknya. Dara membalasnya, ia menangis dengan tangan yang mencengkeram erat hoodie yang Langit kenakan.

"Ada gue," bisik Langit menenangkan.

Dan tanpa Dara sadar, apa yang tak pernah ia ungkapkan pada orang perihal keluarganya, sudah ia ungkapkan pada Langit yang bahkan masih terhitung orang baru di hidupnya.

Orang bilang, ia akan mengungkapkan apa yang ia rasa ketika ia nyaman untuk bercerita pada orang itu.

Apa itu artinya, Dara nyaman pada Langit?

TBC

Gimana perasaannya setelah baca part ini?

Semoga suka ya!

Ada yang ingin ddisampaikan untuk Dara

Langit

Cakra

Reza

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro