Part 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Masuk, Dar."

Dara memilih masuk ke dalam rumah Langit. Awalnya, ia tak ingin menginap di sini, karena takut merepotkan. Ia juga tak enak tinggal di rumah laki-laki.

Tapi, Langit bilang, ada Bi Asih—Asisten rumah tangga di rumah Langit. Jadi, Dara tak perlu khawatir soal itu.

"Laper gak?" tanya Langit saat Dara sudah duduk di sofa.

Dara menggeleng.

"Udah ngantuk? Mau tidur sekarang? Ayo gue anter ke kamar—"

"Cakra mana, Lang?"

Langit langsung menghentikan pertanyaanya. Cowok itu menatap Dara dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelahnya, Langit berdehem pelan. "Di kamarnya."

"Oh, ini serius gue gak ngerepotin nginep di sini?" tanya Dara.

"Enggak, Dar. Ayo ke kamar tamu, lo harus istirahat."

Dara beranjak, gadis itu berjalan mengikuti langkah Langit. Ketika keduanya sudah sampai, Langit berbalik menatap Dara. "Jangan nangis kayak tadi, Dar. Gue gak suka."

"Iya."

"Jangan nangis di pelukan cowok lain juga. Cukup sama gue aja."

Dara mendorong pundak Langit kesal. "Apaan, sih? Awas ah, gue mau tidur!"

Langit tertawa. Tangannya terulur mengacak puncak kepala Dara dengan gemas. "Selamat tidur, Dara. Semoga suatu hari nanti, gue ngucapin gitu saat kita ada di atas kasur yang sama, terus—"

"Bibir lo belum pernah kena gampar, ya?" Dara mengangkat satu tangannya bersiap menggampar Langit.

Langit sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Jahat banget, lo."

Dara tertawa pelan. Dara berjinjit, tangannya terulur mengacak puncak kepala Langit dengan pelan. "Muka lo pucet, Lang. Tidur sana."

Langit perlahan menurunkan tangannya. Ia melongo melihat Dara yang tiba-tiba lembut begitu.

Jantungnya berdetak tak karuan. Bibirnya tak kuasa menahan senyum.

"Lo pendek banget, Dar," ucap Langit berusaha mengalihkan rasa deg-degannya.

Dara menurunkan tangannya dan berhenti berjinjit. Gadis itu menatap Langit tajam, "Ngomong sekali lagi."

"Gue mau ke kamar. Dah!" Langit langsung berlari meninggalkan Dara yang tertawa.

Saat Dara akan masuk ke dalam kamar tamu, bahunya ditepuk seseorang. Gadis itu sontak mengurungkan niatnya.

"Cakra? Eh, maksud gue, Kak Cakra?"

Cakra, cowok itu menatap Dara dan tersenyum tipis. Tangannya terulur menggenggam tangan Dara dan menariknya ke arah luar.

"Gue mau ngobrol sebentar," ucapnya saat mereka sudah duduk di teras rumah.

Dara menatap ke arah Cakra. Gadis itu mengangguk, "Kenapa?"

"Gini, Dar, dulu … Gue, Langit, sama Sonya, kita itu sahabatan."

Dara memejamkan matanya kuat kala mendengar nama Sonya. Gadis itu memilih membuang arah pandangnya.

"Lo tahu kan, istilah Cowok gak akan mungkin sahabatan sama cewek. Salah satu di antaranya, pasti punya perasaan lebih. Dan itu terjadi sama kita bertiga. Tapi, Ketika kita udah beranjak remaja, Langit berani ungkapin perasaanya sama Sonya. Sedangkan gue, gue masih bertahan mendem perasaan gue waktu itu."

"Gue marah sama Langit. Gue anggap dia udah rebut Sonya dari gue. Padahal nyatanya, Langit gak pernah rebut Sonya dari gue. Mereka saling suka, mereka saling Cinta."

Cakra menghela napasnya. "Sampai akhirnya, saat gue mau masuk SMA, gue milih buat pindah ke Indonesia. Dan gue ketemu sama lo, Dar. Lo masih pake baju SMP waktu itu, rambut lo sebahu, lo nolong Nenek-Nenek nyebrang."

Dara sontak menatap ke arah Cakra. Cakra meraih tangan Dara dan menggenggamnya erat. "Gue berharap, gue bisa ketemu dan kenalan sama lo. Dan ternyata, Tuhan kabulin doa gue. Kita ketemu lagi, kita deket, terus kita jadian. Lo inget gak, Dar?" tanya Cakra dengan tatapan menyesalnya.

Dara tak menjawab gadis itu memilih diam.

"Gue seneng waktu kita jalan-jalan bareng, kemana-mana bareng, pokoknya semuanya bareng. Sampai satu tahun setelahnya, Sonya dan keluarganya pindah ke Indonesia."

"Mungkin lo merasa, perhatian gue jadi berkurang, gue udah gak ada waktu, gue selalu pentingin Sonya." Cakra menarik napasnya pelan berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya.

"Gue bakal jelasin kenapa gue kayak gitu, Dar. Papanya Sonya meninggal beberapa hari setelah pindah ke Indonesia. Dia minta gue buat jagain Sonya dan—"

Cakra menatap Dara. Ia merasa takut sekarang. Genggamannya di tangan Dara mengerat. "Dia minta gue tunangan sama Sonya."

Deg

Dara terpaku. Air matanya menetes, gadis itu tertawa miris. "Dan lo terima?"

"Dar, itu semua di luar kendali. Gue … gue panik waktu itu, gue gak pikir panjang gue ngejawab … Maaf, Dar."

Dara meremas kuat tangan Cakra. Gadis itu menangis, dadanya terasa sesak. "Jadi, selama ini gue salah cemburu sama Sonya?"

"Gak salah, Dar. Lo pacar gue waktu itu."

"Tapi Sonya tunangan lo, Cak! Dia lebih berhak dari pada gue. Sekarang gue tahu kenapa Sonya lebih spesial daripada gue, karna dia Tunangan lo, kan?" Dara mendongak dengan mata terpejam. Air matanya tak bisa berhenti.

"Lo jahat, Cak. Selama itu lo bohongin gue, dua tahun, Cak! Dua tahun gue …." Dara tak bisa melanjutkan ucapannya. Dadanya malah semakin sesak mengetahui fakta itu.

Cakra beranjak. Ia menarik Dara berdiri, dan memeluk gadis itu dengan sangat erat. "Maaf, Dar. Maaf udah bikin lo kayak gini. Jangan nangisin cowok kayak gue, Dar."

"Gue sayang lo, Cak." Dara mengatakan itu dengan nada sendu.

"Gue juga." Cakra mengecup puncak kepala Dara beberapa kali.

Dara meremas baju Cakra. Setelah itu, Dara mendorongnya dan memilih  berlari meninggalkan pekarangan rumah Cakra.

Cakra mengepalkan tangannya. Ia menunduk, air matanya menetes tanpa ia minta.

Cakra harus melepaskan Dara. Gadis itu juga harus bahagia, tapi bukan bersamanya.

***

Pagi hari sekali, Dara sudah duduk di meja makan sendirian. Setelah pembicaraannya dengan Cakra kemarin, Dara memilih pulang dengan berjalan kaki.

Gadis itu masih tak menyangka dengan Cakra. Pantas saja dia lebih mementingkan Sonya dibanding dirinya.

"Dara, kamu pulang? Mama nyariin kamu—"

Dara beranjak, ia meraih tas sekolahnya dan memilih pergi begitu saja.

Reza yang melihat itu, merasa bersalah pada Dara. Tak seharusnya ia berbicara begitu pada Dara kemarin.

Reza juga seharusnya tahu diri. Ia tinggal di rumah Dara, biaya hidupnya diberi oleh Papanya Dara. Tapi, Reza malah menyakiti putri Papa tirinya.

Di lain tempat, Langit duduk di jok belakang sendirian. Cakra mengendarai mobil, dan Sonya duduk di sebelahnya.

Cowok itu sedaritadi terus mencoba menghubungi Dara. Namun, Dara tak merespons sama sekali.

"Lang," panggil Cakra.

"Hm."

"Gue tunangan sama Sonya karna permintaan terakhir Bokapnya. Sonya atau pun gue, kita sama-sama gak ada perasaan apa pun. Sonya masih sayang sama lo, Lang."

Langit mendongak, cowok itu sontak menatap ke arah Sonya.

"Gue minta maaf udah sembunyiin semuanya dari lo. Sonya gak salah."

"Tapi dia gak pernah jelasin apapun sama gue!" Langit mengeram kesal.

Sonya menunduk. "Aku takut kamu tinggalin aku, Lang. Aku gak berani bilang waktu itu."

"Kenapa baru sekarang?" tanya Langit.

Cakra maupun Sonya sama-sama diam.

Langit tertawa miris. "Gue bisa terima lo, dan perjuangin kita kalau aja lo ngomong dari dulu, Nya," ucap Langit.

"Tapi kita masih bisa perjuangin kita, Lang. Aku sama Cakra, kita Baru tunangan. Bukan nikah," balas Sonya.

Langit diam beberapa saat. Jujur saja, perasaannya pada Sonya masih ada. Tapi tak sebesar dulu, semuanya sudah terbagi dengan sosok Dara.

Langit merasa, Dara lebih membutuhkannya dibanding Sonya.

"Kalau lo mau, lo bisa mulai semuanya dari awal sama Sonya, Lang. Gue mundur, gue udah keterlaluan banget selama ini. Nyalahin lo, padahal lo gak salah."

"Gue pengen kita jadi Abang-Adek kayak umumnya," sambung Cakra.

Memulai semuanya dari awal? Bersama Sonya? Apa Langit bisa?

Lantas, bagaimana dengan Dara?

"Kamu mau kan, Lang?" tanya Sonya.

Langit menatap ponselnya. Masih tak ada balasan apapun dari Dara.

"Nanti gue pikirin lagi."

***

Dara berjalan menyusuri lapangan yang masih nampak sepi. Sampai tiba-tiba, sebuah tangan menggenggam tangan Dara dengan sela jari Dara yang bertaut.

Dara tersadar dari lamunannya. Gadis itu sontak menoleh, di sampingnya, Langit tersenyum sangat manis ke arahnya. "Kenapa kemarin kabur?" tanya Langit menghentikan langkah keduanya dengan sebelah tangan merapikan rambut Dara dengan lembut.

"Gak papa."

"Kalau gak papa, pasti gak akan pergi gitu aja, Dara. Gue kaget loh tadi pagi lo gak ada."

Dara tersenyum kecut. Rasanya, Dara sudah tak perduli menunjukan kelemahannya di depan Langit.

Toh, Langit juga sudah tahu Dara tak sekuat kelihatannya.

"Cakra udah tunangan sama Sonya ya, Lang?"

Langit terdiam. Cowok itu tersenyum tipis dan mengangguk.

"Lo tahu? Ternyata gue dibohongin sama Cakra."

"Lo dulu putus sama Sonya kenapa, Lang?" tanya Dara.

Langit menghela napasnya. "Karna dia Tunangan sama Abang gue."

"Lo udah tahu alasan mereka tunangan."

Langit mengangguk. "Baru tadi."

"Terus, tanggapan lo?"

"Ya begitulah. Nyesek, gue ngerasa dibohongin, gue udah bertahan, berharap sama Sonya. Sama kayak lo," jawab Langit.

Dara mengangguk pelan. "Sakit banget ya, Lang?"

"Abang gue bilang, dia mau mundur. Dan minta gue mulai semuanya dari awal sama Sonya."

Dara menatap Langit kaget. "Terus? Lo … mau?"

"Gak tau. Tadinya sih gue ragu antara milih iya atau enggak. Tapi kayaknya gue udah dapet jawabannya sekarang," ujar Langit.

"Apa?"

"Jawabannya enggak. Karna gue yakin, lo lebih baik melebihi apapun buat gue, Dar. Gue juga yakin, lo lebih butuh gue daripada Sonya. Dan gue juga yakin, perasaan gue sepenuhnya udah milik lo."

Langit meraih tangan Dara lagi dan menggenggamnya. "Dara, gue gak tahu ini kecepetan atau enggak. Tapi izinin gue buat ajak lo bahagia sama gue, Dar. Gue ataupun lo gak tahu suatu saat nanti kita berjodoh atau enggak. Tapi tolong, kasih gue kesempatan buat milikin lo, Dar."

Dara semakin kaget. Jantungnya berdebar tak karuan.

"Dara, lo mau jadi pacar gue?"

"Lang, lo tahu kan gue sama Cakra baru aja putus. Gue gak mau jadiin cowok sebaik lo sebagai pelampiasan. Gue—"

"Sshh—Gue gak masalah, gue gak masalah buat nemenin lo move on dari Bang Cakra." Langit mengusap pipi Dara pelan.

Dara menunduk, ia menatap tangan Langit yang masih menggenggamnya. Dara menarik napasnya pelan.

"Lang …."

"Iya atau enggak, Dar? Gue cuman minta jawaban itu."

"Iya."

Langit perlahan melebarkan senyumnya. Cowok itu hendak memeluk Dara, namun, ia urungkan karna dia masih sadar ini di area sekolah.

Alhasil, Langit melompat di depan Dara. "Makasih, Dar, makasih!"

"Ngapain lompat-lompat? Kayak monyet tau gak?" ujar Dara.

Langit berdecak kesal, "Gak bisa banget lihat orang seneng."

TBC

Gimana? Suka gak? Semoga suka ya:(

Jangan lupa baca Gengsi dong juga yaaa…

Sampai jumpa di part berikutnya!

Selamat buat Dara Langitnya mana nih?

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Cakra

Sonya

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro