Part 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara keluar dari dalam toilet. Namun, gadis itu langsung ditarik ke arah gudang oleh tiga orang gadis.

Dara berdecak kesal. Ia menatap ke arah mereka secara bergantian, bibirnya berdecih pelan kala melihat Sonya yang ada di antaranya.

"Jauhin Langit."

"Jauhin Cakra, bisa?" balas Dara.

Sonya diam. Cewek itu memicing menatap Dara. "Lo gak ada hak ngatur gue!" balas Sonya.

"Kalau gitu, lo harusnya pinter. Lo juga gak ada hak buat ngatur gue." Dara melipat kedua tangannya di depan dada menatap Sonya menantang.

Sonya mencengkeram rahang Dara dengan kencang. Bahkan, pipi Dara sampai mengeluarkan sedikit darah karena tertusuk kuku panjang gadis itu.

"Gak tahu diri."

"Lo harus pinter ngaca." Dara masih terlihat tenang, gadis itu tidak mengeluarkan ringisan sama sekali.

"Setelah rebut Cakra, sekarang lo rebut Langit dari gue. Dasar sampah!"

"Wow." Dara tertawa pelan. Gadis itu menepis tangan Sonya dengan mudahnya.

Ia menepuk bahu Sonya dengan pelan. "Langit siapa lo? Mantan, kan? Terus, Cakra siapa lo? Tunangan? Oh, iya, gue hampir lupa lo tunangannya Cakra. Tapi, gue kan gak tahu, kalau mau salahin, salahin cowoknya, gih."

"Lo labrak gue kayak gini, apa lo gak malu? Oh iya, gak malu lah. Lo kan haus perhatian." Dara hendak pergi. Namun, Sonya menjambak rambut Dara hingga gadis itu kembali ke belakang.

Dara yang sejak tadi berusaha tenang, mulai terpancing emosi. Gadis itu meraih pergelangan tangan Sonya kemudian memelintirnya ke belakang.

Sonya meringis, kedua temannya memekik dan berusaha memisahkan mereka.

"Gila! Barbar banget, lo! Lepasin!" pekik temannya Sonya.

Dara mendorong Sonya hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Saat itu juga, Langit datang, cowok itu langsung membantu Sonya dan menatap Dara tajam. "Maksud lo apa, Dar?"

"Tanya aja sama dia."

"Gak usah main fisik, bisa?"

"Dia yang main fisik duluan!" jawab Dara.

Langit melingkarkan lengannya di pinggang Sonya. Sonya terlihat sok tersakiti, gadis itu meringis dan mencengkeram kuat seragam Langit.

"Lang, sakit," lirih Sonya.

Langit berjongkok di depan Sonya. Dara yang melihat itu, kembali merasakan sakit yang pernah ia rasa ketika bersama Cakra dulu.

"Naik, Nya. Kita ke UKS."

Sonya memilih menurut. Akhirnya, gadis itu berada di gendongan Langit, ia tersenyum mengejek ke arah Dara.

"Lo lebih percaya sama dia dibanding sama gue, Lang?"

"Gimana bisa gue percaya sama lo? Kita aja baru kenal!" jawab Langit.

Dara terkekeh miris. Jika mereka baru saja mengenal, lantas, untuk apa Langit mengajak Dara berpacaran?

Sekedar pelampiasan, atau bagaimana?

Mengapa Langit dan Cakra sama saja?
"Oh iya lupa. Silahkan lewat jalan ke UKS sebelah sini."

Langit menatap Dara. Ia sadar, dirinya sudah menyakiti Dara. Padahal, belum satu hari mereka jadian, tapi Langit sudah bersikap sama seperti Cakra dulu.

Langit menurunkan Sonya.

Sonya memekik. Gadis itu melotot melihat tingkah Langit yang tiba-tiba. "Kalian temen Sonya?" tanya Langit pada dua orang di belakang gadis itu.

"Iya."

"Bawa dia ke UKS. Seret aja, gak lumpuh kok."

Dara melangkah pergi meninggalkan Langit. Sontak saja cowok itu langsung mengejar Dara.

Sonya menghentakan kakinya kesal. Kalian tahu rasanya ketika dibawa terbang tinggi kemudian dihempaskan begitu saja? Itu yang Sonya rasakan.

***

"Nu, ngapain?" tanya Dara heran.

Danu tercengir lebar. Cowok itu mengangkat ponselnya ke arah Dara. "Aksi pembully-an sabi nih gue viralin."

Dara merampas ponsel milik Danu. Di sana ada video Dara dan juga Sonya tadi.

Dara menatap ke arah Danu kaget. "Lo di sini dari tadi?"

"Iya. Mau ngompol, tapi gak jadi, ada tontonan menarik soalnya. Gak nyangka cecan idaman gue ternyata gitu," ujar Danu.

Langit menarik lengan Dara agar menatap ke arahnya. "Dar, gue minta maaf."

"Udah biasa gue. Tenang aja, udah kebal," jawab Dara. Dara menyodorkan ponsel Danu kepada Langit.

Langit heran, cowok itu menerimanya dan memilih menonton vidio yang berada di sana.

"Dar, gue—"

"Kalau lihat sesuatu jangan setengah-setengah. Kalau ketinggalan, cari tahu. Jangan asal ambil kesimpulan cuman karena lihat hasil akhir."

Danu bertepuk tangan. Cowok itu tertawa, ia mengambil ponselnya di tangan Langit. "Sabi gue jadiin caption!"

"Sinting."

"Vidio tadi jangan disebar. Gue gak mau terlibat masalah." Setelah mengatakan itu, Dara memilih pergi meninggalkan Danu dan juga Langit.

Langit menghela napasnya. Ia jadi merasa bersalah pada Dara. Danu menepuk pundak Langit beberapa kali, "Si Dara gak baperan, Lang. Dia orangnya slow, masalah kayak gitu bukan apa-apa buat dia."

"Lo denger ya, gue itu udah sekelas sama dia dari jaman SMP. Udah tahu banget gue sikap dia gimana."

"Pertama, Dara orangnya suka hadapin masalah dengan santai, tapi kalau udah bener-bener kesel, Dara bakal ngamuk dan lakuin hal yang lebih parah. Kedua, Dara gak suka lihat orang lain ditindas, sama kayak waktu gue malak lo, kena timpuk sepatu gue."

Langit masih diam mendengarkan ocehan Danu.

"Ketiga, gue pernah naksir sama Dara. Tapi gue ditolak."

Langit mengedikan bahunya tak acuh. "Berarti gue lebih beruntung dari lo. Gue baru aja jadian sama dia, sampai lo berani deketin Dara lagi, gue habisin lo!"

Setelah itu, Langit memilih pergi meninggalkan Danu. Danu mendengkus kesal, "Ye! Kampret! Lo kalau gak dilindungin sama Dara, udah habis lo gue palakin!"

"Aduh! Gue lupa gue mau pipis!" Danu langsung berlari ke arah toilet.

***

Pulang sekolah, Dara langsung pulang sendiri tanpa menunggu Langit. Langit sadar, Dara pasti masih marah soal tadi, ya … walaupun Dara tak bilang secara terang-terangan.

"Jes!" panggil Langit kala melihat Jessica yang hendak naik ke atas motornya.

Langit berjalan menghampiri gadis itu. "Gue mau tanya."

"Kenapa?" tanya Jessica senang. Akhirnya, Langit menghampirinya juga.

"Dara suka makanan apa?"

Jessica diam beberapa saat. Ia kira, Langit memanggilnya ada apa. Ternyata malah menanyakan Dara.

Gadis itu tersenyum paksa. "Udang."

"Beneran?"

"Huum. Gue duluan ya."

Langit mengangguk dan melebarkan senyumnya. Tangannya terulur menepuk pundak Jessica beberapa kali. "Makasih. Gue duluan ya!"

Jessica menatap ke arah Langit yang saat ini sudah masuk ke dalam mobil milik Cakra. Tangannya mengepal, mengapa selalu saja Dara? Pikirnya.

***

Dara duduk di ruang tamu bersama Reza, Ayu dan juga Ragil. Katanya, Ragil Baru saja pulang tadi pagi setelah Dara dan Reza berangkat ke sekolah.

"Nanti malam kita makan di luar," ujar Ragil.

Dara tak menghiraukannya. Gadis itu memilih fokus menatap ke arah ponsel yang berada di tangannya.

"Kamu harus ikut, Dar."

"Permintaan dikabulkan. Lagian, Dara gak ada hak buat nolak ataupun minta," jawab Dara cuek.

Ayu mengusap pelan lengan Ragil. Ragil menghela napasnya pelan. Jika saja Ragil tidak meninggalkan Dara setelah perceraiannya dengan sang Mantan Isteri dulu, mungkin Dara tak akan menjadi pribadi yang seperti ini.

"Nanti di mobil, kamu duduk di depan sama Papa, ya," ucap Ragil berusaha meruntuhkan benteng yang Dara bangun antara dirinya dan juga Ragil.

"Dara bukan anak TK. Dara bisa bawa motor sendiri."

"Dar, Papa pengen kita kumpul. Berangkat juga harus bareng."

"Oh gini aja, Pa. Papa kan udah sering nih kumpul bareng keluarga baru Papa, gimana kalau kalian aja yang makan di luar? Dan seperti biasanya, Dara di rumah sendirian, makan mie instan yang Dara beli di super market, beres deh."

Dara beranjak, gadis itu tersenyum manis ke arah Ragil. "Lagian, orang tua Dara sendiri aja gak nyaman sama kehadiran Dara. Apalagi Dara hadir di tengah-tengah keluarga baru Papa yang posisinya bukan siapa-siapa Dara."

"Jaga omongan kamu Dara! Papa gak pernah bilang kalau Papa gak nyaman sama kehadiran kamu."

"Papa emang gak bilang, tapi sikap Papa yang ngomong. Dengan Papa sama Mama yang tinggalin Dara di saat Dara masih kecil, itu udah menunjukkan kalau kalian itu gak nyaman sama kehadiran Dara!"

"Dara juga sadar kalian benci Dara, Dara perusak masa depan kalian, Dara lahir karna kecelakaan, Dara anak haram!"

"Bahkan Mama sama Papa cerai karena apa? Karena kalian pengen bebas dan bisa lepas buat tanggung jawab sama Dara. Dara emang masih kecil, tapi Dara gak bego, Dara masih bisa denger."

"Kalau Papa ngajak Dara makan di luar cuman buat nunjukin kalau Papa bahagia sama Reza sama Isteri Papa, Dara rasa gak usah." Dara langsung berlari menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

Ragil mematung ditempatnya. Tidak, maksud Ragil tidak begitu. Ia sadar apa yang ia lakukan di masa lalu itu adalah kesalahan fatal.

Tapi bukankah tidak apa jika ia mencoba memperbaikinya sekarang?

Ia hanya ingin menjadi sosok Papa yang benar-benar Papa untuk Dara. Bukan lagi sekedar status seperti kemarin-kemarin.

Namun sepertinya Dara salah tangkap, rasa sakit hati Dara di masa lalu membuat gadis itu berpikiran negatif padanya.

***

Langit tersenyum menatap masakannya sendiri. Ia akan meminta maaf pada Dara, dan tentunya dengan sedikit sogokan udang yang katanya makanan kesukaan Dara.

"Wih, lagi apa lo?"

Langit melirik ke arah Cakra yang masih mengenakan baju seragamnya. Sepertinya, Cakra benar-benar serius ingin berbaikan dengan Langit.

"Udang balado? Lo bukannya gak boleh makan ginian? Buat Gue aja." Cakra hendak merebutnya. Namun, Langit buru-buru menutupnya dan mundur beberapa langkah.

"Buat Dara." Setelah mengatakan ititu, Langit melangkah pergi.

Apa Cakra tidak salah dengar? Cowok itu berlari mengejar Langit ke arah luar.

"Lang!"

Namun sayangnya, Langit sudah tak ada di pekarangan rumah. Bahkan, motornya pun sudah tak ada.

"Langit mau kasih Dara udang. Dara kan alergi udang," gumam Cakra yang tadinya hendak memberi tahu Langit.

Tbc

Gimana kesan setelah baca part ini?

Semoga suka ya!

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Cakra

Sonya

Jessica

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro