Part 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara menuruni satu persatu anak tangga dengan tas di punggungnya. Gadis itu menatap ke arah Reza yang terlihat begitu kaget. "Lo mau ke mana, Dar?"

"Bukan urusan lo. Minggir!"

"Kekanakan tahu, gak?"

Dara yang awalnya berjalan melewati Reza, mendadak berhenti ketika suara cowok itu terdengar di telinganya.

Dara berbalik. "Lo ngomong sama gue?"

"Lo pikir?" Reza bertanya balik.

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Mengangkat sebelah alisnya menatap ke arah Reza.

"Papa cuman mau perbaikin semuanya, Dar. Dia mau minta maaf sama lo, itu aja. Kenapa lo malah bersikap kayak gini?"

"Kenapa gue bersikap kayak gini? Karena lo gak ngerasain apa yang gue rasain. Lo ditinggal Bokap lo karena apa? Karena dia meninggal. Lah gue? Orang tua gue masih ada, lengkap malah. Tapi mereka gak pernah ada buat gue, Za! Enggak sekalipun."

"Lo anak yang orang tua lo anggap anugerah. Sedangkan gue? Gue cuman beban!" sambung Dara.

"Dan sekarang, dengan gampangnya Papa mau minta maaf sama gue setelah gue udah segede gini? Kenapa gak dari dulu? Kenapa enggak disaat gue butuh kasih sayang? Kenapa enggak saat gue butuh diantar ke sekolah sama dia, hm?"

Dara menarik napasnya pelan. "Kalau lo nanya, gue pengen baikan sama Papa atau enggak. Jelas gue pengen. Anak mana sih yang mau jauh gini sama orang tuanya? Gak ada, Za. Tapi gue gak mau jadi penghalang kebahagiaan dia lagi, Za." Setelah mengatakan itu, Dara berjalan menghampiri Reza dan menyerahkan kunci motor Dara padanya.

Kemudian, Dara memilih berjalan pergi meninggalkan rumahnya yang dulu terasa ramai, kemudian sepi, dan sekarang kembali ramai dengan orang berbeda yang mengisinya.

Dara menyetop taksi. Gadis itu naik dan memilih pergi meninggalkan kota Jakarta.

***

Langit mengetuk pintu rumah Dara dengan semangat. Saat itu juga, pintu rumah terbuka menampakan sosok pria yang tak pernah Langit jumpai sebelumnya.

Tangan Langit terulur mencium punggung tangannya. "Hallo, Om."

"Cari siapa?"

"Daranya ada, Om?"

Ragil, Pria itu memicingkan matanya menatap Langit. Langit yang sadar akan itu, memilih tercengir lebar. "Saya anak baik-baik kok, Om. Ya … walaupun bukan anak ustadz, tapi Papa saya baik kok. Om tenang aja, kalau nanti Om besanan sama Papa saya, Om gak akan kena gigit kok."

"Ada perlu apa sama Dara?" tanya Ragil tak menghiraukan candaan Langit.

Langit masih mempertahankan cengirannya. "Anak muda, Om. Masalah hati. Tapi, kalau dilihat-lihat Om mirip, ya?"

"Mirip Dara? Jelas, dia Anak saya."

"Bukan, Om."

"Terus?"

"Mirip calon mertua saya."

Sosok Reza keluar dari dalam rumah. Cowok itu menepuk pundak Ragil dengan tak sabaran. "Dara pergi lewat pintu belakang, Pa."

Langit tertawa, "Paling juga ke selokan nyari kepiting."

"Enggak! Dia bawa tas."

Langit diam beberapa saat. Cowok itu memberikan tempat makan berisikan udang balado pada Reza.

"E-eh, apa nih?" tanya Reza kaget.

Langit memilih mencium punggung tangan Ragil, dan menepuk pundak Reza beberapa kali. "Pamit, ya! Dadah Om!" teriak Langit kemudian berlari meninggalkan kawasan rumah Dara.

***

Dara turun dari taksi. Gadis itu membenarkan letak tasnya di punggung, kemudian berjalan ke arah rumah satu lantai di depannya.

Rumah ini terlihat sederhana, halamannya dipenuhi oleh tumbuhan hijau.

"Assalamualaikum." Dara mengetuk pintu beberapa kali.

Kemudian, pintu terbuka menampakan sosok wanita tua. Ia tersenyum dan memeluk Dara sangat erat, "Kamu ke mana saja, Dara?"

"Dara ada, Nek. Boleh Dara masuk?"

Wanita tua itu mengangguk dan mengajak Dara untuk masuk ke dalam rumah.

Keduanya berhenti di ruang tamu. Dara menyimpan tasnya di sofa dan menatap setiap penjuru ruangan. "Mama pernah nengok ke sini, Nek?" tanya Dara.

Namanya Destri, Nenek Dara, sekaligus orang tua ibunya Dara. Setelah orang tua Dara berpisah, Dara tinggal bersama Neneknya.

Namun, saat ia Dara beranjak remaja, Dara memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah orang tuanya yang sudah tak berpenghuni kala itu.

"Mama kamu, Dar. Kabar saja enggak pernah kasih, boro-boro nengok ke sini."

Dara menghela napasnya pelan. Jangankan Dara anak yang tak diinginkan, Destri—Ibunya saja tak pernah ditengok.

Entah apa yang Ibunya mau sebenarnya.

"Kamu gimana? Kemarin Papamu ke sini, Dar. Katanya tinggal sama kamu, sama Isteri dan anaknya juga."

"Dara gak suka tinggal sama mereka." Dara membuang arah pandangnya.

Destri menggeleng pelan. "Enggak boleh gitu. Papa kamu itu sayang sekali sama kamu. Jangan terus-terusan jaga jarak, Dara. Kamu akan menyesal kalau Papamu udah gak ada di dunia."

Dara diam. Bukan maksud Dara menjaga jarak, Dara hanya takut. Takut dirinya menjadi penghalang kebahagiaan Papanya lagi.

Dara hanya ingin Papanya bahagia, walaupun tanpa dirinya sekalipun. Walaupun sebenarnya ada rasa iri ketika Reza lebih akrab dengan Papanya di banding Dara.

"Kamu ke sini kenapa? Berantem sama Papamu?"

"Enggak, Nek. Dara yang cari masalah," jawab Dara jujur.

Destri tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Dara dengan pelan. "Yasudah, kamu ke kamar, mandi, ganti baju. Nenek buatkan susu jahe buat kamu, ya?"

***

Langit duduk di tepi kolam berenang. Kakinya sengaja ia masukan ke dalam air, tangannya menatap ke arah ponsel yang menunjukan room chat bersama Dara.

Sudah malam, tapi Dara tak kunjung membalas pesannya. Apa Dara masih marah karena kejadian sonya tadi?

Langit menghela napasnya pelan. "Dar, lo ke mana, sih? Jangan bikin gue jadi jomblo sebelum waktunya, deh." Langit mengirim pesan suara pada Dara.

Tapi, jika Dara masih marah pada Langit, tak seharusnya gadis itu sampai pergi dari rumah.

Langit tahu Dara bukan tipe gadis yang tiba-tiba menghilang hanya karena memiliki masalah dengan lawan jenis.

Dia lebih suka menghadapinya langsung. Itu yang Langit tahu.

"Lang, Dara gak makan udang lo, kan? Gila lo! Ngapain ngasih udang ke Dara? Lo mau dia sakit?!"

Langit mengerutkan alisnya kala mendapati Cakra yang tiba-tiba saja bergabung dan duduk di sampingnya.

"Apaan, sih?"

"Dara gak papa, kan?" tanya Cakra lagi tanpa memperdulikan pertanyaan Langit.

Langit mengedikan bahunya pertanda tak tahu. Ya memang dia tidak tahu Dara baik-baik saja atau tidak, Gadis itu saja entah di mana sekarang.

"Kan! Lo harusnya jangan kasih dia udang! Lo lagian punya ide dari mana sih kasih Dara gituan?!"

"Apaan, sih? Dara Gak makan udang, udangnya gue kasih ke Abangnya," jawab Langit kesal.

Cakra menghela napas lega. Cowok itu langsung merebahkan tubuhnya di sisi kolam dengan kaki yang masuk ke dalam air.

"Dara alergi udang, Lang. Untung gak lo kasih ke dia."

"Hah?!" Langit sontak menatap ke arah Cakra kaget.

"Gue dikasih tahu Jessica soal—"

"Gila!" pekik Langit saat menyadari sesuatu.

Langit menggeleng tak habis pikir dengan Jessica. Bisa-bisanya gadis itu menjerumuskan Langit dan hampir mencelakakan Dara.

"Lo mendingan kalau mau tanya-tanya soal Dara ke gue aja, deh. Gak usah nanya ke temannya," sahut Cakra.

Langit berdecak pelan. Cowok itu beranjak, "Ogah!"

"Yakin?"

"Yakin gue!" jawab Langit.

Langit hendak masuk ke dalam rumahnya. Namun, detik berikutnya cowok itu kembali. "Dara kalau kabur dari rumah, biasanya ke mana?"

"Katanya ogah."

"Gue nanya serius."

"Emang Dara kabur?" tanya Cakra kaget.

Langit memutar bola matanya kesal. "Gue nanya, gak usah nanya balik."

"Ke Bandung, daerah Cimahi. Biasanya ke sana, sih. Rumah neneknya."

TBC

Kangen gak? Ada yang baikan nih Abang Adek wkwk

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Cakra

Reza

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro