Part 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tor, minjem motor, dong. Gue mau nganter Dara pulang, nanti malem gue balikin deh."

Tora mengangguk. Cowok itu memberikan kunci motornya pada Langit.

Langit tersenyum senang. Setelah itu, ia beranjak. "Ayo, Dar!"

"Udah kuat bawa motor, emang?" Dara menatap Langit.

Langit berdecak pelan. Cowok itu menganggukkan kepalanya mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Yaudah." Dara beranjak. Dia menatap ke arah Melly yang masih diam di tempatnya. "Pulang sama siapa, Mel?"

"Gue—"

"Pandu? Du, anterin Melly, dong!"

Wajah Melly terasa panas kala Dara dengan santainya menyuruh Pandu. Dara tertawa pelan melihatnya.

Danu langsung beranjak. "Ayo, Mel. Si Pandu mau berak dulu. Dia kalau mengeluarkan sesuatu dari dalam perutnya itu, harus pake teknik. Lama."

Raut wajah Melly seketika berubah menjadi murung. Namun, gadis itu akhirnya beranjak juga. "Gak ngerepotin, Nu?"

"Enggak, kok."

Langit merangkul Dara, cowok itu tersenyum ke arah teman-temannya. "Gue balik dulu, ya! Ayo, Dar."

Dara memilih mengikuti langkah Langit. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu keluar.

Setelah sampai di parkiran, Langit tidak langsung naik. Cowok itu menatap wajah Dara lekat dengan tubuh yang bersandar pada body motor milik Tora. "Kok pacar gue cantik banget, sih?"

"Berapa cewek nih yang lo gituin?" Dara mengangkat sebelah alisnya.

Langit tersenyum sangat manis. "Banyak. Setiap cewek yang jadi pacar gue, gue gituin. Tapi, lo doang yang gak mempan, Dar."

Dara tertawa. Tangannya terulur menepuk pundak Langit. "Ayo, Om."

"Mau ke mana, Neng? Nanti kalau udah naik motor, Om jangan lupa dipeluk, ya?"

"Kenapa, tuh, Om?"

"Biar Om gak kedinginan. Om kan butuh kehangatan, apalagi kehangatan kasih sayang Neng Dara." Langit mencolek dagu Dara seraya tertawa.

Setelah itu, Langit memilih naik ke atas motornya. Dara pun ikut serta naik ke sana.

"Ayang, peluk!" Langit merengek seperti anak kecil. Namun, tak urung ia juga tertawa dengan kelakuannya sendiri.

"Apaan sih, Lang. Jalan cepetan."

"Cie, gak sabaran banget mau jalan sama Pacarnya." Langit tertawa lagi.

Akhirnya, ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Saat di perjalanan, Langit tak henti-hentinya tersenyum menatap wajah manis kekasihnya di balik kaca spion.

Sedangkan Dara, dia sibuk melihat ke arah jalanan.

"Dara, udah move on belum dari Bang Cakra?"

Dara diam beberapa saat. "Belum, Lang."

Langit menghela napasnya. Namun, setelahnya, ia tersenyum lebar. "Oke, berarti usaha gue kurang maksimal."

Dara yang menyadari ada raut sedih dari balik senyum itu, langsung melingkarkan lengannya di perut cowok itu.

Pipinya bersandar pada bahu tegap milik Langit. "Lang, gue mungkin belum bisa lupain Cakra sepenuhnya. Tapi, gue juga gak akan mungkin balik lagi sama masa lalu yang udah nyakitin gue nyaris setiap harinya. Kalaupun suatu hari nanti Cakra minta balikkan sama gue, gue gak akan terima dia kok."

"Kenapa?"

"Udah ada orang yang mau bikin gue bahagia katanya. Mana mungkin gue sia-siain dia."

Langit menahan senyumnya. Cowok itu menoleh ke arah kanan. Secepat kilat, ia mencium pipi Dara.

"Langit!"

"Boleh berhenti dulu di pinggir jalan gak, sih? Pengen peluk!" Langit tertawa garing.

Dara semakin mengeratkan pelukannya. Semoga saja, Langit tak seperti Cakra.

***

Malam harinya, Dara duduk di teras rumah sendirian. Matanya menangkap mobil hitam milik Papanya memasuki gerbang.

Ia membuang arah pandangnya kala Ragil keluar dari sana. Ia tersenyum saat melihat Dara yang ternyata sudah mau kembali ke rumahnya.

"Dara—"

"Masuk aja, Pa." Dara memotong ucapan Ragil.

Ragil tak menurut. Bahkan, ia memilih berjalan menghampiri Dara dan duduk di sebelahnya. "Gimana Nenek kamu, sehat?"

"Nenek?"

"Papa tahu kamu ke sana, Dar. Nenek yang ngasih tahu."

"Kalau Nenek ngasih tahu Papa, bukannya Papa bisa tanya kabar Nenek langsung? Gak usah basa-basi sama Dara, Pa."

Ragil menghela napasnya pelan. Pria itu tersenyum tipis, tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala Dara. "Papa cuman mau ngobrol sama anak Papa, Dar."

"Papa bisa ngobrol sama Reza."

"Dara …." Ragil menghela napas berat.

Dara mengepalkan tangannya kuat. Gadis itu memilih membuang arah pandangnya ke sembarang arah. Matanya juga terasa panas sekarang.

"Papa tahu kesalahan Papa di masa lalu, fatal banget kan, Dar?"

"Emang."

Ragil tersenyum kecut. "Papa tahu. Papa tahu keputusan Papa sama Mama ninggalin kamu saat kamu masih kecil, itu bener-bener gak bisa termaafkan."

"Papa paham kok kalau kamu benci sama Papa. Tapi, Dar, tolong … Papa cuman mau perbaiki semuanya. Papa cuman pengen jadi Papa kamu yang sesungguhnya."

Dara memejamkan matanya kuat berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.

Dara tidak benci Papanya. Dara benci dirinya sendiri. Ia benci saat-saat di mana dirinya merasa, dialah penghalang kebahagiaan kedua orang tuanya.

"Dara …."

"Dara gak benci Papa." Dara mengigit bibir bawahnya.

"Dara sayang Papa," sambungnya.

Ragil tersenyum haru. Kemudian, tangannya terulur membawa tubuh putrinya ke dekapannya. "Papa juga sayang sama Dara."

"Maafin Dara, Pa. Maafin Dara yang udah hadir tiba-tiba dikehidupan Mama sama Papa dulu. Jadi penghalang kebahagiaan kalian, perusak masa depan kalian, jadi beban, Dara—"

"Dar, jangan ngomong kayak gitu. Maafin Papa, Nak." Ragil mengecup puncak kepala Dara dengan lembut.

Dara membalas pelukan Ragil. Neneknya benar, Dara harus memperbaiki semuanya dengan Ragil sebelum terlambat.

"Kemarin ada yang ke sini, Dar. Dia ngasih udang balado ke Reza, dia pacar kamu?"

Dara melepas pelukannya. Gadis itu menatap Ragil. "Itu …."

"Masa dia bilang Papa mirip—" Ragil sengaja menggantung ucapannya.

"Mirip siapa?"

"Mirip sama calon mertua dia katanya. Itu beneran pacar kamu, Dar?" Ragil terkekeh pelan kala melihat seorang pemuda datang ke rumahnya.

Dara mengangguk. Sepertinya itu Langit, karna cowok yang banyak tingkah kan cuman Langit.

"Dia yang minta Dara pulang sekarang, Pa."

"Berarti dia cowok baik?"

Dara mengangguk. "Dia yang selalu hibur Dara kalau Dara lagi sedih."

Ragil tersenyum. Tangannya terulur menepuk puncak kepala Dara pelan. "Bilang makasih sama Dia. Makasih udah bikin anak Papa seneng. Besok kamu ajak dia ke sini, ya? Kita makan siang bareng."

"Serius, Pa? Dia banyak tingkah loh orangnya."

"Serius, dong."

Dara tersenyum. Gadis itu mengangguk. Dara terlalu egois, selalu merasa dirinya bisa melakukan sesuatu sendirian. Sampai dia tidak sadar, mengungkapkan apa yang dia rasakan pada objek yang membuatnya merasa begitu, bisa membuatnya kembali bahagia.

Dara terlalu takut kebahagiaan Papanya kembali hilang hanya karenanya. Padahal, kenyataannya tidak. Karna bagaimanapun juga, Dara adalah puterinya.

Dara termasuk ke dalam bahagianya Ragil.

TBC

Hallo! Gimana kesan setelah baca part ini?

Suka gak? Semoga suka ya!

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Om ragil

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro