Part 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara tersenyum tipis saat mobil Papanya melaju meninggalkan gerbang sekolahnya.

Ini kali pertama ia diantar ke sekolah dengan keadaan di mana dirinya dengan sang Papa sudah berbaikan.

Rasanya begitu menyenangkan.

"Dar, gawat!"

Dara membalikan badannya saat mendengar suara teriakan di belakangnya.

Ternyata itu Pandu. Cowok itu terlihat terengah.

"Kenapa?" tanya Dara heran.

"Melly!"

"Apaan, sih?"

Pandu membuang napasnya kasar. Cowok itu memejamkan matanya kuat kemudian menatap Dara. "Masa dia suka sama gue? Gue gak mau ya dipukulin si Danu."

"Lo tau dari mana Melly suka sama lo? Gak usah geer."

Pandu memberikan kotak makan yang sedaritadi ia pegang. Di sana, ada roti dilapisi selai coklat yang Dara lihat. "Lo baper?"

"Bukan baper. Dia bilang gini, 'Dimakan ya, Pandu. Semoga suka. Aku bikinnya sendiri, loh.' Gitu, masa dia sambil senyum-senyum gitu. Mana malu-malu Bangsat lagi ngomongnya. Dar, Bantuin gue! Gue gak mau ada cewek yang suka sama gue. Apalagi Melly."

Dara tertawa. Ada ya manusia seperti Pandu? Ternyata, masih ada manusia yang lebih aneh daripada Langit.

"Kenapa gak mau disukain sama Melly?"

"Gini loh, Danu itu sahabat gue, dia suka sama Melly. Salah satu alasan gue gak mau disukain sama Melly, pertama ya itu. Kedua ya gue gak suka sama Melly, ketiga, gue gak mau pertemanan gue sama Danu ancur. Dia udah banyak nolong gue soalnya."

Dara mengerti sekarang. Pandu lebih memilih mempertahankan persahabatannya dibanding seorang gadis.

Dara juga tahu sedaridulu, Pandu memang anti berhubungan dengan seorang gadis. Misalnya, pacaran. Tapi jika berteman saja, Pandu ya fine-fine aja.

"Bilang baik-baik sama Melly."

"Lo aja deh yang ngomong." Pandu memasang wajah memelas.

Dara menghela napasnya. "Kalau gue yang ngomong, yang ada Melly salah paham sama gue."

Setelah mengatakan itu, Dara memilih melangkah pergi meninggalkan Pandu.

Namun sepertinya, Pandu tidak menyerah. Cowok itu mengejar Dara dan berusaha mengimbangi langkah gadis berjiwa laki-laki itu.

"Dara, please lah. Lo temenan sama gue dari SMP, loh. Lo tau sendiri gue gak mau pacaran dulu sebelum lulus, kalau ada cewek yang niat PDKT sama gue, harus gue basmi hari itu juga!"

Dara menghentikan langkahnya. Gadis itu menatap Pandu dengan pandangan lelah. "Yaudah, gue temenin. Lo yang ngomong."

"Yes! Makasih, Dara!" Pandu langsung memeluk Dara dan melompat kesenangan.

Dara dengan kesal mendorong bahu cowok itu hingga pelukannya terlepas. "Lo temenan sama gue dari SMP loh, Du. Lo tahu sendiri gue gak suka dipegang apalagi dipeluk sama sembarang orang. Lo mau gue tonjok?!"

"Ampun, Dar! Gue refleks." Pandu langsung memeluk dirinya sendiri berusaha berlindung agar Dara tidak benar-benar menghajarnya.

"Udah ah, gue mau ke kelas." Dara akhirnya dapat pergi tanpa gangguan Pandu.

Saat akan menaiki anak tangga, langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Cakra.

Cowok itu menatap Dara, terpaku. Menyusuri wajah gadis itu dengan tatapannya. "Hai," sapa Cakra.

"Gue mau lewat." Dara terlihat enggan menatap ke arah cowok itu.

Cakra tersenyum tipis. Rasanya begitu menyakitkan. Dulu, saat Cakra menyapa Dara, gadis itu akan membalasnya dengan senyum. Walaupun senyum itu palsu, dan dipasang hanya untuk menutupi rasa sakit hati Dara, Cakra selalu merasakan getaran yang begitu menghangatkan hatinya. Karena dulu, Cakra tidak sadar senyum itu tidak benar-benar menandakan Dara bahagia.

Namun sekarang, Cakra menyesal. Menyesal karena pernah membuat keputusan yang berakhir membuat dirinya dan juga Dara berpisah.

Menyesal karena pernah menyia-nyiakan orang yang selalu mengerti bagaimanapun keadaannya.

Menyesal karena kini, Cakra bukan lagi alasan Dara tersenyum.

"Apa kabar, Dar?" tanya Cakra tanpa memperdulikan gadis itu yang ingin menaiki anak tangga.

"Baik."

"Semuanya terasa lebih baik setelah gue gak lagi bareng sama lo," sambung Dara.

Cakra menghela napas berat. Cowok itu hendak menyentuh bahu Dara. Namun tertahan kala ia melihat Adiknya yang tengah berjalan ke arah mereka.

"Ada Langit." Cakra menunjuk Langit dengan dagunya.

Dara sontak membalikkan badannya. Di sana, Langit tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Dara dan juga Cakra.

Di tangannya, ada selembar brosur yang entah apa isinya.

"Cie ketemuan sama mantan." Langit tertawa pelan melihat Dara dan juga Cakra.

"Gak akan gue embat kok, Lang." Cakra berdecak kesal.

"Iya Abang Cakra, percaya banget dah gue sama Abang gue." Langit langsung merangkul bahu Dara.

Cowok itu tersenyum dan menatap ke arah Cakra. "Gak usah cemburu lo, udah gak ada hak soalnya. Dara udah jadi hak milik gue soalnya."

"Bucin." Cakra mencibir dan memilih memasukan kedua tangannya ke saku celana. Kemudian, cowok itu berjalan menuruni anak tangga dan memilih melangkah pergi meninggalkan Dara dan juga Langit.

Langit menghela napasnya pelan. Sejujurnya ia takut Dara berubah pikiran dan memilih kembali pada Cakra, kemudian meninggalkan dirinya.

Langit tak mau itu terjadi. Tapi, jika memang suatu hari nanti Dara yang memilih untuk kembali pada Cakra, Langit tak bisa melakukan apa-apa.

Dia tidak memaksa. Walaupun hatinya ingin.

"Itu apa?" tanya Dara menunjuk selembar brosur di tangan Langit.

"Oh, ini. Casting online buat film. Dilihat dari syarat dan ketentuannya, gue tertarik aja buat coba. Nanti lo bantuin gue foto ya, Dar. Sama bikin vidionya juga."

"Lo pengen jadi aktor?" Dara mengangkat sebelah alisnya.

Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Enggak juga sih, iseng aja. Lolos syukur, enggak juga gak papa. Yang penting kan, pas bikin vidio sama foto buat dikirim, gue bisa berduaan sama lo." Langit tercengir lebar.

Dara menggelengkan kepalanya pelan. Gadis itu mengambil alih brosur di tangan Langit. "Yaudah, gue bantu. Tapi kalau misalkan lo lolos, terus lo jadi terkenal, selera lo bukan gue lagi, dong?"

"Tuh kan, belum juga mulai gue udah difitnah." Langit mendengkus kesal.

"Bercanda. Gue bantu, asal, pulang sekolah ikut gue ya ke rumah? Bokap gue pengen makan siang sama cowok gue katanya."

Langit membulatkan matanya. Mulutnya menganga. "Apa?"

"Bokap gue pengen makan siang bareng cowok gue."

"Oke! Gue harus bawa mahar sekarang gak, Dar? Duh, gimana kalau nanti tiba-tiba kita dinikahin, Dar? Terus—"

"Ngomong R dulu yang bener, baru lo mikirin nikah." Dara memilih melangkah pergi menaiki anak tangga.

Di belakang sana, Langit tersenyum sangat lebar. Ah, biar saja dia tidak bisa nyebut hurup R, yang penting, dirinya sudah dapat lampu hijau dari calon mertua.

***

Melly menatap ke arah Pandu yang saat ini tengah duduk di belakang sana bersama Tora.

Cowok itu terlihat enggan menatap ke arahnya barang sedetik pun. Namun, ketika ia menolehkan kepalanya, tatapannya berhenti pada Danu yang menatapnya tak suka.

Cowok itu kemudian membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

"Gak jelas," gumam Melly kesal.

Dara mengangkat sebelah alisnya melihat Melly yang terlihat kesal. Tangannya terulur menepuk lengan Melly. "Kenapa, sih?" tanya Dara.

"Eh, Dar? Enggak papa."

Dara mengangguk pelan. Kemudian, matanya memperhatikan gerak-gerik empat orang lelaki di kursi paling belakang.

Danu, Pandu, Tora, dan juga Langit. Mereka terlihat asik dengan ponsel miringnya. Terkecuali Danu, cowok itu terlihat tengah menyobek kertas menjadi bagian-bagian kecil.

"Lo suka sama Pandu?" Pertanyaan Dara, sontak membuat Melly mendongak.

"Eng-enggak, kok."

"Jujur aja."

Melly menghela napasnya. Gadis itu kemudian mengangguk pelan. Jessica yang tengah mendengarkan, langsung membalikan badannya. "Lo suka Pandu?" tanya Jessica keras yang membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Termasuk Pandu.

"Jes, apaan, sih?!"

"Oh, lo suka Pandu? Lo udah ketikung duluan loh sama Dara, Mel. Tadi pagi gue lihat, Pandu sama Dara pelukan. Gila sih, maruk banget, dari Kak Cakra, terus ke Langit, sekarang ke Pandu juga."

Melly langsung menatap ke arah Dara, kaget. Namun, Melly mengingat kejadian di Cafe pentol, di mana Langit menyindir Jessica habis-habisan.

Dia paham Jessica sepertinya membenci Dara dan berusaha menjatuhkan gadis itu. Namun, Melly tidak akan terpancing hanya karena masalah Pandu.

Toh, dia mengaku suka pada Pandu baru beberapa menit yang lalu. Bukan tadi pagi.

Di bangku paling pojok, Danu terlihat terpaku dengan apa yang Jessica ucapkan. 'Melly menyukai Pandu' sahabatnya.

"Nu, gue gak suka Melly kok. Lang, tadi gue peluk Dara gak maksud apa-apa, serius, deh! Gue gak berani pacaran, gue takut dimasukin ke sumur sama Emak gue!" Pandu langsung menatap khawatir ke arah dua sahabatnya.

Seisi kelas hening. Tak ada bantahan dari Dara, tak ada pula reaksi yang Melly tunjukan.

"Dara sama Abang gue udah putus. Gak usah ngarang lo. Lagian, Dara mana mau sama Pandu. Gila aja, masa Iya dari Cakra, ke gue, terus turun mesin ke Pandu," celetuk Langit yang membuat seisi kelas tertawa.

Pandu mendengkus kesal. "Padahal kata Emak gue, gue handsome."

"Melly pacar gue! Gak usah ngarang lo, Jes! Mana mau Melly sama Pandu!" teriak Danu yang sudah terlihat sangat kesal.

Seisi kelas jelas saja kaget dengan ucapan Danu. Danu terlihat tak acuh, ia memilih beranjak dan berjalan ke arah bangku Melly. Kemudian, ia menarik tangan gadis itu dan membawanya ke luar.

"Lagian, Jes. Lo apaan sih? Temen sendiri kok dijelekin, padahal lo sendiri kemarin kasih saran ke Langit buat kasih Dara udang, padahal lo tahu sendiri Dara alergi udang," sahut Tora yang mengingat soal obrolan mereka kemarin.

Dara sontak menatap ke arah Jessica. Jessica terlihat kikuk ketika seisi kelas terlihat jelas membicarakannya.

"Lo ada masalah apa sama gue, Jes?" tanya Dara heran.

"Gue …."

"Halah! Udah biasa itu, Dar. Temen gak semuanya baik. Salah satu di antaranya, pasti ada musuh berkedok teman. Ya kayak si Jessica itu!" sahut salah satu teman kelas Dara.

Dara menepuk pundak Jessica beberapa kali. "Kalau ada masalah sama gue ngomong, gak usah main belakang. Kita bisa selesaikan semuanya baik-baik, Kalau lo gak mau, pake cara kekerasan sekalipun gue ladenin. Daripada lo ngomong di belakang gue, hasut orang-orang terdekat gue sampai berbusa pun, lo gak akan puas kalau gak jatuhin gue pake tangan lo sendiri. Dan lihat pake mata lo secara langsung."

Dara beranjak, gadis itu memilih pergi meninggalkan Jessica.

***

Sepulang sekolah, Langit berjalan memasuki rumah Dara dengan jarak yang lumayan berjauhan.

Cowok itu sesekali melirik ke arah Dara. Saat Dara melihat ke arahnya, langit pura-pura bersiul dan memperhatikan isi rumah.

"Pandu cuman minta bantuan gue buat bilang sama Melly, kalau dia gak suka sama Melly. Dia peluk gue cuman karen dia seneng karena gue mau bantu, tapi dia langsung gue dorong." Dara tahu Langit cemburu. Dara juga tahu Langit ingin bertanya, namun takut Dara tersinggung.

Padahal, Dara bukan tipe cewek begitu.

"Peluk." Langit merentangkan tangannya pada Dara seolah tak ikhlas kekasihnya sudah dipeluk oleh lelaki lain.

Dara menggeleng pelan. Gadis itu langsung mendekat dan melingkarkan lengannya pada Punggung cowok itu.

Langit membalas pelukan Dara dan menyandarkan pipinya pada puncak kepala gadis itu. "Gue takut tahu, Dar."

"Takut kenapa?"

"Takut kehilangan cewek yang gue Sayang lagi. Takut cewek yang gue Sayang direbut sama orang terdekat gue lagi." Langit semakin mengeratkan pelukannya.

Dara melepas pelukannya. Gadis itu menatap Langit. "Waktu kehilangan Sonya … lo sedih?"

"Sama kayak perasaan lo waktu putus sama Bang Cakra, Dar," jawab Langit.

"Berarti kita sama-sama paham, Lang. Kita berdua pernah kehilangan orang yang kita Sayang, karena mereka selingkuh di belakang kita. Itu artinya, lo atau pun gue jangan pernah main belakang. Atau, kita bakal kembali kehilangan."

TBC

Hallo! Kembali lagi sama Langit Dara.

setelah ini, mau gengsi dong 3 dulu, atau Kala : Pertaruhan dulu?

Minal aidzin walfaidzin semuanya<3

maaf banget baru sempet up, dan udah jarang banget update. Belakangan ini emang lagi banyak banget urusan di RL yang gak bisa ditinggal.

Tapi insyaallah, aku bakal usahain buat sering update lagi kayak dulu.

ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

cakra

Jessica

melly

danu

Pandu

see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro