Part 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jessica juga bilang, Katanya sampein maaf dia ke lo."

Dara menghela napasnya pelan. Setelah mendengar cerita Langit tentang Jessica, ia merasa sedih.

Namun, ia juga senang Jessica sadar. Tapi, yasudahlah, jika itu keputusan Jessica, Dara juga tidak bisa menahan gadis itu untuk tetap di sini.

Terlebih lagi, bukan Dara yang membiayai kehidupan Jessica, kan?

Di taman ini, keduanya sama-sama diam menatapi orang-orang yang berlalu lalang. Masih mengenakan seragam, karena mereka memang baru saja pulang.

"Mau yang dingin? Teh gelas, atau ale-ale?"

"Yang mahal dong, Bang." Dara tertawa.

Langit mengacak puncak kepala gadis itu. "Nanti dikasih yang mahal kalau kita jodoh." Langit menaik turunkan alisnya membalas candaan Dara.

Setelahnya, cowok itu memilih beranjak dan berjalan ke arah warung kecil yang ada di sana. Membeli sesuatu, dan kembali ke arah Dara dengan sekantung kresek.

Cowok itu duduk di depan Dara dan menyimpan kreseknya di tengah-tengah mereka.

Ada jajanan warung seperti ciki-cikian berbagai jenis. Ada juga minuman Teh gelas.

"Gue makan ini enggak harus jadi isteri lo dulu, kan?" Dara bertanya seraya mengambil satu dan membukanya.

"Emang mau?"

"Apa?"

"Jadi Isteri gue." Langit tertawa. Ah, ia sangat bahagia setelah tiga hari dirinya menjadi manusia galau.

Dara terlihat berpikir. Gadis itu menepuk pundak Langit. "Boleh, kalau jodoh Tapi, ya. Kalau enggak ya … masing-masing kita, Lang."

"Jangan gitu dong doanya. Lo bikin gue hilang semangat aja."

Dara menggeleng pelan. Gadis itu memilih menyantap jajanan itu seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling taman.

Mata langit menangkap seorang bapak-bapak yang tengah berjualan. Melihat Dara yang sibuk sendiri, cowok itu akhirnya beranjak dan memilih pergi ke arah sana sebentar.

Tak selang beberapa menit, ia kembali dengan sesuatu di tangannya.

Duduk di samping Dara, kemudian meraih pergelangan tangan gadis itu. "Dipake, ya. Biar inget terus." Langit memakaikan gelang bertali hitam dengan gantungan burung Merpati.

Dara menatap kaget. Ia melihat gelang itu dan juga Langit secara bergantian. "Lang?"

"Iya? Kenapa? Suka gak?" Langit tersenyum seraya mengusap lembut pipi Dara.

Dara mengangguk. Kemudian, matanya menangkap tangan Langit yang mengenakan gelang yang sama.

"Oh, beli dua 5000, beli satu 3000. Yaudah beli dua." Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kala Dara melihat ke arah gelangnya.

Dara tertawa. Jujur sekali anak ini.

"Jaga baik-baik loh, ya. Kalau gue balik, gelangnya harus ada. Kalau enggak, gue ngambek! Awas aja!"

"Eh, pulang, yuk," ajak Langit ketika melihat langit mulai mendung.

Cowok itu langsung mengajak Dara beranjak dan mengambil makanan mereka di kresek kala merasakan gerimis tiba-tiba saja terasa di tangan mereka.

Keduanya berlarian ke arah parkiran. Menaiki motor milik Dara, keduanya langsung melesat meninggalkan taman.

"Dar, kalau dipikir-pikir gue gak modal banget, ya? Masa dari awal kita ketemu sampe sekarang, kita malah lebih sering pake motor lo."

Dara mengangguk. "Iya, emang."

"Tapi ikhlas kan? Masa iya gak ikhlas sama calon suami."

Dara tertawa. Sampai mereka di rumah Langit, hujan tiba-tiba saja semakin besar.

Keduanya sudah berada di garasi rumah. Dara diam beberapa saat, apa ia pulang saja? Pikirnya.

"Ayo masuk, Dar."

"Gue pulang aja, deh." Dara menarik pergelangan tangannya dan hendak menaiki motor.

Namun, Langit kembali mencengkalnya. "Hujan, Dara."

"Lang, gue—"

"Bokap gue gak papa, kok. Ayo!"

Dara berdecak pelan. Ia tidak suka situasi begini. Namun, melihat Langit yang sepertinya kedinginan, Dara akhirnya mengangguk pasrah.

Langit tersenyum lebar, kemudian menarik Dara untuk masuk ke dalam rumahnya.

Baru saja mereka sampai di ruang tengah, Dara sudah disuguhi dengan kehadiran Ganjar yang tengah membaca koran.

"Pa, Dara," ucap Langit.

Ganjar diam. Menatap Langit dan juga Dara secara bergantian. Ia tersenyum dan mengangguk. "Di sini aja dulu, Dar. Hujan," kata Ganjar.

Dara mengerutkan alisnya. Mengapa Ganjar menjadi … baik?

"Lang, bikinin Teh Anget."

Langit mengangguk semangat. Ia meminta Dara untuk duduk terlebih dahulu. Dan dirinya langsung berjalan ke arah dapur.

Ganjar menyimpan korannya. Kemudian ia menatap Dara seraya melepas kacamata minusnya. 

"Om minta maaf sama kejadian tempo hari, Dar." Ganjar menipiskan bibirnya.

Dara mengangguk. "Gak papa, Om. Dara gak masalah kok."

"Setelah hari itu, Langit berubah jadi orang pendiem. Ternyata penyebabnya adalah kamu. Dia sedih karena kamu sama dia putus, dia marah sama saya tapi dia gak berani buat bilang. Saya bener-bener minta maaf, Dara."

Dara tersenyum dan mengangguk lagi. Ia tak ingin banyak bicara apalagi sekedar caper agar dapat perhatian dari Papanya Langit.

"Saya setuju kok kamu sama Langit. Langit pasti lebih tahu mana yang baik dan mana yang enggak buat dia."

***

Dua hari kemudian, hubungan Dara dan Langit semakin membaik. Papanya Langit tak lagi mempermasalahkan soal hubungan Dara dan Langit bagaimana.

Malam ini, di halaman belakang rumah Langit.

Dara, Melly, Pandu, Danu, Cakra, Sonya, dan juga Tora tengah berkumpul untuk bakar-bakar jagung, sekaligus menghabiskan waktu untuk terakhir kali sebelum Langit pergi.

"Jadi gini, ini jagung, ini jigong." Pandu menunjuk jagung dan juga gigi Tora.

Tora menendang tulang kering cowok itu dengan kesal. "Ribut sini!"

"Gue bilangin Emak gue, lo!" Pandu menunjuk wajah Tora.

"Tau banget gue, lo takut durhaka kan lawan orang tua? Makannya, Emak gue itu senjata yang paling mematikan. Soalnya—"

"Soalnya lo anak Emak." Danu memotong ucapan Pandu seraya memakan jagung bakar dengan satu tangan yang merangkul Melly.

Hubungan Melly dengan Danu pun semakin membaik. Melly sudah mulai menerima Danu walau belum sepenuhnya.

"Mau?" Danu menyodorkan jangungnya pada Melly.

Melly menerimanya. Danu mengacak puncak kepala gadis itu. "Pinter banget piaraan gue."

Melly menepis tangan Danu kesal. Pandu yang melihat itu tentu saja senang. Akhirnya, beban pikirannya berkurang.

Ia tak perlu lagi repot-repot memikirkan perasaan Melly pada dirinya.

"Dar, ini jagung punya kamu. Ini dari aku buat kamu." Langit memberikan jagung dan juga kalung dengan gantungan merpati pada Dara.

Aku? Kamu? Langit kesambet?

Dara mengambilnya dengan ragu. Namun, Langit menahan tangan Dara saat ia akan mengambil kalungnya. "Balikkan, yuk!"

"Hah?"

Cakra dan juga Sonya menggeleng melihat Langit yang tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.

"Iya, udah. Pokoknya kita balikan aja, ya." Langit langsung beranjak dan berjongkok di belakang Dara.

Memakaikan kalung itu, kemudian membalikan Dara agar melihat ke arahnya. "Cakep banget, sih. Kalungnya."

"Yeu! Gak ada asik-asiknya lo ngajak cewek balikkan!" ucap Pandu merasa tidak puas dengan apa yang Langit lakukan.

Langit mengedikan bahunya tak acuh. "Masalah lo apa? Terserah gue lah!"

"Lah! Enggak-enggak! Enak aja! Ulang-ulang, pake acara kechup-kechup gitu dong!" sahut Tora seraya duduk di samping Pandu.

Dara melepas sandalnya kemudian melemparnya pada Tora.

Tora mengaduh dan mengusap keningnya. "Sakit Dara!"

"Omongan lo gak difilter!"

"Ya maap, kan bercanda. Tapi kalau mau beneran, gue siap kok vidio'in buat kenang-kenangan masa tua."

Dara hendak melepas sendalnya lagi. Namun, Langit menahannya. "Tenang, Dar, tenang. Sabar, Sabar." Langit mengusap lengan Dara dengan lembut.

"Gelud, Dar! Gelud!" teriak Pandu mendukung.

Kali ini, giliran sandal milik Langit yang melayang tepat mengenai Pandu.

Pandu mengaduh. Dan sontak saja Tora tertawa puas melihat itu.

Langit dan juga Dara ikut tertawa. Tangan cowok itu menganggam tangan Dara sepanjang malam.

Jika bisa ia menghentikan waktu, ia ingin waktu berhenti untuk malam ini.

Namun, bukan hanya cinta yang Langit kejar untuk saat ini. Melainkan jalan untuk ia menuju ke masa depan juga.

Kalau mereka berjodoh, Langit yakin hubungan mereka baik-baik saja. Kalaupun tidak baik, pasti Tuhan memiliki rencana agar mereka terus bersama di tengah masalah yang ada.

***

Esoknya, Dara, Pandu, Tora, Danu, Cakra, Sonya, Melly, dan juga Ganjar berdiri di depan rumah Langit.

Hari ini Langit berangkat dan akan diantar oleh Ganjar. Karena, yang lain harus berangkat sekolah.

Langit menatap sedih ke arah teman-temannya. Walaupun keberangkatannya tidak terlalu jauh, tapi di sana Langit pelatihan. Dan otomatis, ia pasti akan menghabiskan waktu di sana.

Ia akan tinggal di asrama yang sudah disediakan. Dan Langit berharap, dia akan betah di sana dan mencoba bertahan untuk tidak kabur.

"Bang, Pa, doain Langit, ya." Langit menatap Cakra dan juga Papanya.

Ganjar mengangguk. Begitupun juga dengan Cakra. Mereka berpelukan dan tersenyum hangat. "Gue doain." Cakra menepuk pundak Langit beberapa kali.

Pelukan mereka terlepas. Pandangan Langit, kini tertuju pada Dara.

Sudut bibirnya menekuk ke bawah. Tanpa kata, ia langsung memeluk Dara dan menenggelamkan wajahnya di bahu gadis itu. "Kalau gue kangen gimana?" tanya Langit pelan namun seperti anak kecil yang merengek minta pulang.

"Maunya gimana? Gue tengokin?" tanya Dara pelan seraya tertawa. Tangannya membalas pelukan Langit dan mengusap punggungnya pelan.

"Jangan genit, harus inget gue, kalau enggak gue teror lewat mimpi," kata Langit masih enggan melepas pelukannya.

Huh! Baru saja beberapa hari yang lalu mereka bertemu. Sekarang, mereka malah akan berpisah dengan jangka waktu yang lumayan lama.

"Enggak, Langit. Kan udah ada lo."

"Janji gak, nih?" Langit menatap Dara lewat samping tanpa menjauhkan wajahnya dari bahu Dara.

"Iya, janji. Lo harus jaga kesehatan, tapinya. Kata Bokap lo, lo punya maag kan?"

Langit menghela napasnya. Cowok itu mengangguk. Akhirnya, dengan perasaan tidak rela ia menegakan tubuhnya dan menatap Dara. "Doain gue, ya."

"Pasti." Dara mengangguk dan tersenyum.

"Du, Nu, Tor, titip Dara, ya."

"Kayak barang yang, Dar. Aduh!" Pandu meringis kala tulang keringnya ditendang oleh Tora.

Cowok itu memajukan bibirnya sebal. "Jahat banget lo manusia!"

Tora mengedikan bahunya tak acuh.

Langit yang melihat itu tertawa pelan dan menggeleng. Setelah berpamitan, Langit akhirnya masuk ke dalam mobil bersama Ganjar.

Setelah mobil melaju, barulah yang lain bubar dan memilih berangkat ke sekolah.

"Ayo, Dar!" ajak mereka seraya melewati Dara dengan motornya.

Dara mengangguk. Matanya masih menatap mobil yang Langit tumpangi yang sudah mulai menjauh.

Dara tersenyum tipis. Masa remaja, bukanlah masa di mana mereka memperjuangkan cinta mereka saja. Ada masanya mereka akan berpisah karena tidak berjodoh, ada juga yang memang ditakdirkan bersama tapi harus terpisah terlebih dahulu.

Entah itu karena mengejar mimpi yang mereka inginkan, atau masa depan yang tidak pernah terduga.

Hidup bukan hanya soal rencana, kadang juga kebetulan yang hanya iseng bisa menjadi jalan hidup juga.

TBC

Gimana kesan setelah baca PART ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Cakra

Sonya

Pandu

Danu

Tora

Melly

Atau, ada yang ingin disampaikan untuk semua tokoh yang ada di sini?

Semoga suka ya!

Terimakasih udah nemenin Langit Dara dan temen-temennya selama 4 bulan ini. Dari mulai update rutin sampe ilang-ilangan dan kalian lupa alur T.T

Okee see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro