Part 42

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari demi hari, dan bulan demi bulan telah Dara lalui. Setelah hari itu, Langit tak pernah menampakkan dirinya di depan Dara.

Terkecuali, ketika ia muncul di layar televisi secara tiba-tiba. Entah itu berita gosip, ataupun iklan yang ia bintangi.

Jika dilihat-lihat, nama Langit semakin sini semakin naik saja. Followersnya sudah pasti nambah, belum lagi, wajah Langit yang tidak bisa dibilang biasa saja, membuat kebanyakan kaum hawa yang menggemarinya.

Dara sudah menginjak kelas 12 SMA semester 2 sekarang. Sedangkan Reza, dia kuliah di salah satu universitas di Jakarta, katanya, dia juga satu universitas dengan Cakra.

Sonya sendiri, dia memilih kuliah di Belanda. Sebelum berangkat ke sana, dia juga sempat berpamitan pada Dara dan meminta maaf atas apa yang pernah ia lakukan.

Cakra sering main ke rumah sekedar mampir, atau bermain bersama Reza. Mereka benar-benar menjadi seorang sahabat sekarang.

Dara juga sudah terbiasa hidup tanpa Langit. Tanpa gangguan cowok itu, dan tanpa merasa sakit hati ketika Langit digosipkan dengan gadis mana saja.

Pernah di salah satu acara talk show, saat ditanya oleh pembawa acara, apakah Langit punya pacar atau tidak? Dia menjawab, enggak.

Terus, Langit juga dijebak menjawab siapa gadis-gadis yang mereka tunjukan, yang katanya pernah dikabarkan dekat dengan Langit.

Yang pertama Anara, Langit menjawab bahwa dirinya dan Anara hanyalah sahabat. Dia juga sudah menganggap Anara sebagai adiknya sendiri.

Langsung, Shani, Langit menjawab bahwa dirinya memang pernah baper karena Shani termasuk tipenya. Namun, Langit menjawab dengan lantang bahwa dirinya dan Shani tidak memiliki hubungan spesial.

Sampai foto ketiga, adalah foto Dara. Langit terlihat diam, dia tersenyum tiba-tiba dan berkata bahwa dia adalah mantan terindah Langit.

Kalau terindah gak akan jadi mantan!

Dara menghela napasnya. Gadis itu memilih berjalan membeli mie instan dan juga makanan ringan untuknya.

Ia mengitari mini market ini dengan keranjang yang ia jinjing. Berdiri di depan rak berisikan banyak mie instan, Dara terlihat memilih-milih.

"Yang ini enak, loh."

Dara menoleh ketika seseorang menunjuk salah satu bungkus mie instan pada Dara. "Itu juga kalau lo suka pedes. Gue sering makan yang ini, sih. Tapi udahnya, gue sakit perut." Cowok itu tertawa.

Dia memakai hoodie, memakai topi putih, dan tudung hoodie yang ia pakai. Belum lagi, dia memakai masker dan juga kacamata hitam.

"Gue udah pernah nyoba, sih. Emang enak." Dara meraih mie instan itu dan memilih memasukkannya ke dalam keranjang.

"Lo Dara, kan?" tanya orang itu.

Dara mengangguk. "Lo tahu?"

"Gue sering lihat foto lo sama Anara. Gue kira ini bukan lo, ternyata gue bener. Lo lebih cantik aslinya, ya?" ucap Cowok itu.

Ya, Dara dan Anara memang dekat sekarang. Biar bagaimanapun, tanpa Anara, Dara enggak akan pernah tahu sebrengsek apa manusia bernama Langit itu.

Mereka sering bertemu, menghabiskan waktu berdua, kadang juga Dara main ke rumah Anara, atau Anara yang main ke rumah Dara.

Anara tidak semenyebalkan pertama bertemu. Dia baik, cerewet, yang pasti dia cantik, dan itu tidak diragukan.

Merasa dicueki oleh Dara, karena gadis itu memilih berjalan ke arah rak lain, dia mengikuti langkah Dara.

"Gue Saddam." Cowok itu memperkenalkan dirinya ketika Dara tengah mengambil beberapa cemilan.

Barulah Dara menoleh. Gadis itu memicingkan matanya terlihat tak percaya.

Cowok bernama Saddam itu membuka kacamata dan maskernya. Barulah Dara percaya kalau cowok itu adalah mantannya Anara.

Katanya, mereka putus karena keluarga Anara tidak merestui hubungan mereka.

Dara rasa, Saddam sama seperti Dara. Memilih melepaskan, daripada pasangannya menentang orang tuanya.

"Oh, mantannya Anara?" tanya Dara.

"Iya." Saddam tertawa pelan.

Saddam memang tampan. Jika dibandingkan dengan Langit, sudah pasti pemenangnya Saddam.

Wajahnya putih bersih, bulu matanya lentik, alis tebal, dan telinganya mengenakan anting berwarna hitam.

Kalau rambutnya … Dara tidak tahu. Dia memakai topi. Tapi setahu Dara, dia memiliki rambut tebal berwarna hitam pekat yang sisinya dibuat tipis.

"Lo belanja sendirian? Gak takut dikejar sama fans lo gitu?" tanya Dara heran.

"Manager gue sakit. Yaudah gue ke sini sendirian, niatnya mau beli rokok, eh malah lihat lo. Yaudah gue samperin."

"Lo gak kenal sama gue. Ngapain nyamperin gue, gak ada kerjaan." Dara melanjutkan langkahnya menuju tempat es krim.

Sedangkan Saddam masih mengikutinya dari samping. "Ya kan, biar kenal. Makannya gue samperin."

"Mau eskrim?" tanya Dara seraya mengangkat satu bungkus pada Saddam.

"Dibayarin, nih?"

"Kalau lo mau." Dara memasukan dua bungkus.

Saddam tertawa. Ternyata, Dara tidak secuek itu.

Pantas saja si Langit-Langit yang katanya mantan pacar Dara itu menganggap Dara adalah mantan terindahnya.

Keduanya sampai di kasir. Dara menyerahkan belanjaannya. Kemudian, si kasir mulai menghitung dan menyebut harga yang harus Dara bayar.

Saddam masih mengikuti Dara sampai Dara berhenti di depan motornya.

"Oh, ini." Dara mengambil es krim yang dia janjikan pada Saddam.

Saddam menerimanya. "Makasih. Lo pulang sendiri?"

"Pertanyaan lo ada yang lain? Gue rasa, tanpa gue jawab lo tahu jawabannya apa." Dara berdecak pelan memilih menggantungkan kresek di motornya.

Saddam tertawa. Ia mengangguk. "Yaudah, gue juga mau balik. Mumpung masih sepi, kalau udah rame kan berabe kalau dikejar-kejar. Btw, makasih es krimnya!"

***

Langit menatap ponselnya dengan kesal. Banyak orang-orang yang menandai dirinya.

Di sana, Dara tengah berada di super market bersama Saddam. Posisinya sedang di kasir.

Ada dua foto. Yang pertama dia mengharap ke kasir, dan yang kedua, mereka terlihat tengah mengobrol di depan motor.

Pertanyaannya, Dara kenal Saddam dari mana? Anara? Langit tahu betul kalau Anara sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan Saddam.

Dia juga sudah punya pacar.

Apa jangan-jangan, mereka memang sudah dekat? PDKT? Pacaran? Astaga!

Langit melempar ponselnya ke samping. Cowok itu menatap ke arah gitar pemberian Dara yang menggantung di tembok.

"Mau sampai kapan sih gue jadi pengecut kayak gini?"

Setelah dibuat babak belur oleh Danu, pulangnya dia ketahuan oleh Cakra.

Saat ditanya kenapa? Langit menjawab yang sejujur-jujurnya pada Cakra. Dan benar saja, Cakra malah menambah luka di wajah Langit.

Pukulannya hanya sekali, namun pukulan Cakra mana bisa diragukan, sih?

Reza juga sepertinya diberitahu Danu. Dia tidak ikut memukul karena tidak tega melihat wajah Langit. Tapi dia memberi peringatan sama seperti Danu.

Jangan bertemu Dara jika masih berniat menyakiti gadis itu.

Dan sekarang, sudah 8 bulan berlalu. Namun Langit masih belum siap menampakan dirinya di depan Dara.

Dia takut menyakiti gadis itu lagi.

Langit kembali meraih ponselnya.

Langit melihat-lihat sosial media Dara. Gadis itu tak pernah mengunggah foto terbaru. Yang dia unggah kebanyakan baju-baju sablonan yang dia jual bersama Pandu.

Anara, hanya gadis itu yang sering mengunggah foto bersama Dara.

Langit menghela napasnya pelan. Jempol tangannya terulur memencet tombol direct, dan mengetikkan pesan pada Dara.

LangitCalva_ : Dara?

LangitCalva_ : Apa kabar?

Langit menelan salivanya susah payah. Satu menit, sampai setengah jam berlalu, tak ada jawaban apapun karena akun instagram gadis itu memang tidak aktif.

Dara mengganti nomor whatsapp, nomornya yang dulu sudah tidak aktif. Order baju sablon ke Dara, memang ada nomor untuk memesan. Tapi sayangnya itu nomor Pandu.

Langit pasrah, akhirnya dia memilih melempar ponselnya ke samping.

***

Dara baru saja sampai di rumah Pandu. Di sana sudah ada Danu dan juga Melly.

Namun, ada yang aneh. Danu terlihat kesal, tangan cowok itu terkepal di sisi jaitan. Sedangkan Melly tengah mendunduk dengan air mata yang menetes.

"Nu, Mel? Kenapa?" Dara mengerutkan alisnya melihat mereka yang tidak biasanya begitu.

Danu tidak menjawab. Dia memilih duduk di kursi enggan menatap ke arah Melly.

"Nu—" Melly menatap Danu takut.

Sedangkan Danu menghela napasnya kasar. "Kita putus aja deh, Mel!"

Dara membelakkan matanya. "Lo kenapa sih, Nu?" tanya Dara heran.

Danu masih tidak mau menjawab. Sedangkan Melly masih menangis. "Danu—"

"Apaan, sih? Satu tahun setengah, Mel! Sia-sia banget perjuangan gue. Lo mau apa aja gue turutin. Kurang gue apa, sih? Semua gue kasih ke lo!"

Dara yakin ada yang tidak beres di sini. Dia menatap Melly dan mengusap bahunya. "Kenapa, Mel?" tanya Dara.

"Gue …."

"Dia masih suka sama Pandu," jawab Danu. Namun Dara yakin, Danu terlihat menahan emosi menjawabnya.

Ya siapa yang enggak emosi jika sudah berjuang selama itu dan berujung sia-sia begini?

Melly menunduk. "Maaf."

Jadi, benar?

"Gue gak bisa paksain perasaan gue, Dar. Gue cemburu lihat Pandu deket sama lo—"

"Dan Danu lo jadiin pelarian? Harusnya lo bilang sama gue, Mel. Gue kira, lo nerima Danu karena emang enggak ada perasaan lagi sama Pandu." Dara menghela napasnya pelan.

Melly menunduk. "Maafin gue, Dara."

"Gue yang minta maaf, Mel."

Andai saja Dara peka dengan perasaan Melly, mungkin, dia akan menjaga jarak dengan Pandu. Dan mungkin, Danu juga tidak akan menjadi korban begini.

Dara tahu bagaimana tulusnya Danu jika sudah mencintai seseorang.

Danu itu bukan cowok yang suka main-main. Sekali suka ya suka, kalau udah benci jangan harap bisa suka lagi.

"Danu, gue minta maaf." Melly menatap nanar ke arah Danu yang masih membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

"Nu," panggil Dara.

Danu menghela napasnya. "Gue balik." Danu memilih beranjak dari duduknya.

Tak lama, Pandu keluar dengan air dan beberapa cemilan yang dia bawa. Cowok itu mengerutkan alisnya melihat Danu yang sudah memakai helm dan duduk di atas motor. "Woi! Mau ke mana?" tanya Pandu.

Danu tidak menjawab. Dia memilih pergi meninggalkan rumah Pandu begitu saja.

Pandu melirik Dara dan juga Melly secara bergantian. "Kenapa, sih?"

"Gue susul Danu dulu. Tora mana?"

"Di dalem, lagi disuruh potong buncis sama Emak," jawab Pandu.

Tangan Dara terulur menepuk pundak Melly. "Lo pulang sama Tora, ya? Gue susul Danu dulu."

Dara memilih naik ke atas motornya. Kemudian, ia melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata untuk menyusul Danu.

Motornya perlahan memelan ketika ia melihat sosok Danu yang duduk di halte bus dengan tangan yang memijat kepalanya sendiri.

Dara turun, gadis itu berjalan ke arah Danu dan duduk di sampingnya. "Nu," panggil Dara.

"Gue lebay banget ya, Dar?" tanya Danu tanpa melihat ke arah Dara.

Dara menggeleng. Tangannya terulur mengusap bahu Danu dengan lembut. "Nu, gak ada yang lebay kalau urusannya udah bikin sakit hati. Lo emang gak inget gimana nangisnya gue waktu putus sama Langit?"

"Kasus kita sama pula," sambung Dara.

Iya, sama-sama disakiti padahal sudah mencoba bertahan tanpa mendengar apa kata orang.

Danu menghela napasnya. Cowok itu bersandar dan menatap lurus ke arah jalanan. "Semuanya gue kasih sama dia, Dar. Gue kira, perlakuan baik dia ke gue itu karena dia udah bisa nerima gue. Ternyata enggak. Dia cuman kasihan dan ngerasa gak enak sama gue."

"Gue ngemis cinta banget ya kesannya?" Danu terkekeh pelan.

"Bukan jodoh kali. Yaudahlah." Danu membuang napas kasar.

Dara tersenyum tipis. Sepertinya, meminta Danu untuk berbicara dengan Melly bukan saat yang tepat untuk sekarang.

Karena, Danu tipe orang emosian. Harus tunggu sampai dingin dulu, baru diajak diskusi.

"Lo gak mau balik lagi ke rumah Pandu?" tanya Dara.

"Enggak. Gue mau di sini dulu."

Dara mengangguk. "Yaudah, gue temenin, ya?"

TBC

Double up, nih

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Danu

Melly

Langit

Saddam

Pandu

Spam komen di sini yuk!

800 komentar kita next besok!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro