Part 43

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara mengerutkan alisnya melihat pesan masuk dari Langit. Sudah lama sekali, dan sekarang pesan itu sudah muncul kembali.

Ia duduk di tepi kasur seraya memastikan apakah benar pesan itu dari Langit?

Dara menghela napasnya. Berkali-kali ia refresh akun instagramnya, dan benar pesan itu dari Langit.

Dara akhirnya memilih membalasnya. Yasudahlah, lagipula, hubungan mereka berakhir sudah beberapa bulan yang lalu, kan?

DaraRra_ : Baik

Dara memilih diam beberapa saat. Kakinya ia naikkan ke atas kasur kemudian, ia merebahkan tubuhnya.

Setelah menemani Danu beberapa jam lamanya, akhirnya cowok itu memilih pulang karena lapar.

Dia juga sadar, katanya, selama ini dia yang terlalu memaksa Melly. Dia yang menganggap Melly kekasihnya, padahal tidak pernah sekalipun mereka meresmikan hubungan mereka.

Selama ini, Danu yang terlalu berharap.

Tak lama, notifikasi kembali muncul. Dara menatap pesan itu lama. Ia berkedip beberapa kali.

LangitCalva_ : Lo ada waktu luang? Bisa kita ketemu?

Dara berdecak sebal. Ia tidak suka situasi begini.

Bertemu dengan mantan, mengobrol berdua? Ah, mana bisa jika mereka hanya berdua.

Mau menolak, tapi dia penasaran dengan tujuan Langit yang tiba-tiba mengajaknya bertemu begini.

Mau menerima, Dara tidak yakin kalau dirinya bisa bertahan lebih lama dengan rasa canggung nantinya.

Ingin mengajak Pandu, Dara tidak enak pada Melly. Dara tidak mau jika nantinya malah menimbulkan masalah baru.

Mau mengajak Danu, selain cowok itu tengah patah hati, bagaimanapun juga Danu dan Melly baru saja berakhir. Tidak lucu kalau Dara dicap tukang tikung. Lagipula, Dara yakin Danu sudah membenci Langit. Yang ada, malah memancing keributan nantinya.

Mengajak Reza? Sepertinya itu bukan ide bagus. Reza dan Cakra sudah menjadi satu paket sekarang. Di mana Ada Reza, di situ harus ada Cakra. Masa iya Dara harus menghadapi dua mantan kekasihnya sekaligus?

"Tora?" Dara menggumamkan salah satu sahabatnya.

Iya, hanya Tora yang tidak memilki masalah. Tidak ada gadis terdekat Dara yang suka pada Tora, dia juga tidak emosian seperti Danu.

Tapi … buat apa dia bawa orang? Dia kan bukan mau mukulin orang?

Dara berdecak sebal kala ponselnya lagi dan lagi berdering.

LangitCalva_ : Gak bisa, ya?

Setelah mempertimbangkan semuanya, Dara akhirnya menerima ajakan Langit.

Yasudahlah, mereka tidak ada hubungan apa-apa lagi. Cukup datang sebagai teman, tanpa harus melibatkan masa lalu. Beres.

DaraRra_ : oke, di mana?

LangitCalva_ : Warung bakso ya, Dar. Besok jam 10 pagi

Dara menelan salivanya susah payah. Apa tidak ada tempat lain?

Kenapa harus di sana, sih? Dara melempar ponselnya ke samping. Ia memilih mengusap wajahnya kasar.

***

Esok pagi sekitar jam 8, Dara sudah siap dengan style biasanya. Baju dilapisi jaket, dan celana jeans sobek di bagian lutut.

Ia menatap ke arah Ragil yang tengah bermanja-manja pada Ayu.

Ayu tengah hamil, dan sekarang adalah bulannya. Selama itu juga, Ragil sering mengalami muntah-muntah, ngidam, dan juga manja seperti sekarang.

Lucu juga melihat Papanya begitu. Padahal, Papanya itu tipe orang yang cuek dan tidak banyak tingkah.

Dia juga tidak pernah menunjukan keromantisannya pada anak-anaknya.

Tapi selama hampir 9 bulan ini, Ragil tidak pernah absen untuk sekedar tiduran di paha Ayu dan menciumi perut Isterinya itu.

"Reza mana, Ma, Pa?" tanya Dara seraya duduk di sofa lain.

"Tadi sih bilangnya mau lari pagi. Paling juga sebentar lagi pulang, Dar," kata Ayu.

Dara mengangguk-anggukan kepalanya. Ia memilih bersandar pada sofa seraya memainkan ponselnya berusaha mengabaikan Mama dan Papanya yang masih asik berpacaran itu.

Ponsel Dara berdering menunjukan panggilan vidio masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Alisnya berkerut. Gadis itu memilih beranjak dan pindah ke meja makan sebelum akhirnya, ia mengangkatnya.

"Hai! Gue baru bangun, ganteng gak?"

Dara memasang wajah datar ketika ponselnya menampakan wajah Saddam dengan rambut acak-acakan tengah berbaring miring di atas kasur dengan selimut yang masih menutupi sampai leher.

Dia menguap tanpa malu. "Mau ke mana lo? Udah cakep aja. Ngajak weekend bareng?"

"Lo dapet nomor gue dari siapa?" Dara menatap cowok itu tajam.

"Dari Anara. Gue yang maksa, jangan dimarahin loh, ya."

Dara berdecak kesal. Gadis itu memilih mematikan sambungannya.

Cowok enggak ada kerjaan ya kayak Saddam begini. Baru bertemu kemarin, sudah berani meminta nomor Dara dari orang, maksa lagi!

Mana pagi begini malah menghubungi Dara di saat dia baru bangun tidur begitu.

Tring!

087xxxxxxxx : Gue kosong nih, sama hati gue juga kosong. Jalan yuk?

Dara : Ajak aja kaki lo jalan. Ngapain ngajak gue?

(Anda telah memblokir kontak ini)

Dara mematikan ponselnya dan menyimpannya di atas meja.

Saddam itu mantannya Anara. Dara tidak mau timbul gosip yang macam-macam jika Dara berdekatan dengan Saddam.

Kemarin saja saat di mini market tiba-tiba viral begitu. Memang dasar netizen saja yang melebih-lebihkan.

"Nih, bubur."

Dara menatap ke arah Reza yang baru saja datang dan sudah melepas baju bagian atasnya.

Wajah sampai tubuhnya berkeringat. Namun, sebelah tangannya mengelap keringat menggunakan bajunya yang tadinya ia pakai.

Kalau di tanya badan Reza bentukannya bagus atau tidak, sudah pasti jawabannya iya. Dia kan rajin olahraga, biarpun badannya ceking, tapi dia punya kotak-kotak perut yang diidam-idamkan kaum hawa, kok.

Ia duduk di samping Dara dengan baju yang ia sampirkan pada bahu kiri.

"Ngapain lihatin gue? Naksir? Janganlah, gue gak akan bisa bales perasaan lo," ujar Reza saat Dara menatapnya.

Dara berdecak kesal. Dasar ngaco!

Dia memilih beranjak dan mengambil mangkuk dan kembali duduk di samping Reza.

Tangannya mengambil bubur yang Reza beri, kemudian memindahkannya pada mangkuk. "Kerupuknya dikit amat," komentar Dara.

"Kalau mau banyak, lo beli kerupuk jangan beli bubur."

"Gue gak beli, lo yang beliin."

Reza mencubit pipi Dara dengan gemas. Cowok itu beranjak kemudian merangkul bahu Dara. "Nah, makan bubur rasa ketek."

"Reza!" Dara mendorong Reza dengan kesal.

Reza tertawa terbahak-bahak. Cowok itu langsung berjalan ke arah kamar mandi.

***

Jam 10 pagi, Dara menepati janjinya untuk datang ke warung bakso. Gadis itu saat ini sudah duduk di depan Langit yang tengah menatapnya dengan entah pandangan apa.

Yang jelas, Dara merasa risih dengan itu.

"Dar, mau makan dulu?" tanya Langit.

"Enggak, gue dibungkus aja. Lagian gue udah makan. Lo ada apa ngajak ketemu? Di sini pula, gak takut ada yang lihat?" tanya Dara.

Langit menghela napasnya. Cowok itu menggeleng. "Gue lagi gak ada project apa-apa kok, Dar. Kalaupun ada yang lihat yaudahlah, biarin aja."

"Lo sehat, Dar? Reza? Mama sama Papa lo gimana?"

"Sehat. Cakra juga sering kok ke rumah," jawab Dara.

Langit diam beberapa saat. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, dia sekarang satu paket ya sama Reza? Gue juga sering ketemu Reza di rumah. Tapi gak pernah ngobrol, kayaknya dia masih benci sama gue."

"Usaha sablon lo gimana, Dar? Lancar?"

"Allhamdulillah." Dara tersenyum tipis.

Keduanya bungkam. Merasa canggung dengan keadaan.

Langit tak lagi bertanya, Dara juga tidak niat untuk memulai pembicaraan.

Lantas, untuk apa mereka bertemu jika hanya begini? Jika saja Dara tahu hanya begini-begini saja, dia memilih diam saja di rumah bersama Reza, Mama, dan Papanya.

"Kemarin malem Anara cerita, katanya … Saddam minta nomor lo. Kalian lagi deket?"

Langit meruntuki dirinya sendiri yang dengan lancangnya bertanya begitu.

Ya terserah Daralah mau dekat dengan siapapun. Dara kan sudah tidak ada hubungan dengan Langit. Mengapa dia malah bertanya begitu?

"Enggak sedekat itu. Kemarin emang gak sengaja ketemu. Gak tau kenapa tiba-tiba viral." Dara menghela napasnya pelan.

Dia mulai tak nyaman berhadapan dengan Langit begini.

Dara sebenarnya sudah mulai move on. Tapi ya, mau bagaimana lagi, namanya juga wanita, kan? Sekali di sapa hai, langsung ambyar!

"Dar, sori, gak maksud nanya kayak gitu. Gue … gak sopan, ya?" tanya Langit tak enak.

"Enggak papa." Dara mengetuk jarinya pada meja seraya menatap ke arah sekitar.

Langit diam. Ia harus bicara apa lagi? Padahal, Langit sudah menantikan momen di mana dirinya bertemu kembali dengan Dara.

Setelah bertemu, dia malah bingung mau membahas apa.

"Dar, soal waktu itu … gue minta maaf."

Dara menoleh, dia menatap wajah Langit. Bayangan di mana Langit dan Dara berbicara di rumah sakit sampai hubungan mereka berakhir, langsung berputar kembali di kepalanya.

Gadis itu membuang arah pandangnya. Dia mengangguk. "Lupain aja, udah lama juga," jawab Dara.

"Gue udah gak ada kesempatan ya, Dar?" Langit menatap Dara dengan tatapan berharap.

Dara diam, tidak tahu.

Dara masih Sayang Langit, tapi dia takut jika hubungan mereka seperti kemarin. Terlalu banyak resiko jika Dara menjalin hubungan dengan Langit lagi.

Sebentar lagi dia akan ujian, masuk kuliah, dan mengejar mimpinya. Ya kalau hubungan mereka baik-baik saja, Dara tidak masalah jika harus kembali bersama. Jika seperti kemarin? Dara cari penyakit namanya.

"Kita bisa temenan. Sama kayak gue dan Cakra sekarang. Gue lagi gak mau jalin hubungan sama siapapun, Lang."

"Lo nolak gue, karena lo udah gak percaya sama gue kan, Dar?" tanya Langit sadar diri.

Cowok itu tersenyum tipis. "Gue ngerti kok, gue emang bego banget waktu itu."

"Semuanya udah lewat, Lang. Gak usah diinget-inget lagi. Jadiin pelajaran aja, lo gak boleh perlakukan cewek lo, atau isteri lo suatu hari nanti kayak apa yang lo lakuin ke gue," kata Dara seraya tersenyum.

Langit menghela napasnya lagi. Ini, Dara benar tidak mau memberi Langit kesempatan, atau sebenarnya ingin Langit perjuangkan?

Karna biasanya, cewek bilang enggak, padahal iya. Langit bingung, mau maju, takutnya dibilang tidak tahu diri. Mau mundur, dia seperti pengecut.

"Dar, kalau gue bilang gue masih sayang sama lo, lo gimana?"

"Lo maunya gue gimana, Lang?" tanya Dara.

Langit menghela napasnya. Dia maunya, Dara bilang jika dia juga masih sayang Langit. Dan Langit akan memperjuangkan kepercayaan gadis itu lagi.

Tidak perlu jadian. Yang penting Dara percaya lagi pada Langit, itu lebih daripada cukup.

"Gue gak bisa bohong, perasaan gue masih sama. Sebenernya, kemarin udah agak move on sih, cuman ya gara-gara lo kirim pesan gue jadi keinget lagi."

Langit mendongak. Ia menatap Dara dengan pandangan kaget. Setelah apa yang Langit lakukan pada Dara? Dia masih menyayangi Langit?

"Masa sih? Gue kan brengsek, Dar?" tanya Langit dengan tampang bodohnya.

"Perasaan mana bisa dicegah sih, Lang." Dara menghela napas kasar.

Langit tersenyum lebar. Dia menatap Dara dengan pandangan berbinar. "Berarti, gue ada kesempatan buat perbaiki semuanya? Buat lo percaya lagi sama gue? Gue gak minta kita pacaran kok kalau lo gak mau, gue—"

"Semuanya udah berakhir, Lang."

Langit bungkam. Binar senangnya, mendadak jadi sendu kala mendengar kalimat itu.

"Jangankan hubungan, film aja kalau kita puter secara berulang-ulang, ujung-ujungnya bosen juga. Semuanya bakal gitu-gitu aja, gak akan berubah."

"Dar—"

"Udah ya, Lang. Gue udah ditunggu sama Papa." Dara beranjak, ia memilih memesan bakso untuk dia bungkus dan di bawa pulang ke rumah.

Langit beranjak, dia berdiri di belakang Dara. "Dar, gue janji endingnya gak akan kayak kemarin. Kasih gue kesempatan, ya?"

Apa susahnya sih tinggal jalanin, buktiin, bukan mohon-mohon kayak gini?!

Fiks! Dara mulai labil. Mulut bilang tidak, otak bilang jangan, hati bilang ingin.

Astaga,  rumit sekali masalah asmara begini. Padahal, saat putus dengan Cakra tidak begini banget!

"Dar, mau ya? Sekali aja." Langit masih berdiri di belakang Dara.

"Berapa, Mang?" tanya Dara saat Penjual bakso itu memberikan pesanannya.

"Empat bungkus, empat puluh ribu, Neng."

Langit mengambil uangnya di saku celana. Kemudian, memberikannya pada tukang bakso dengan cepat.

Dara membalikkan badannya menatap Langit. "Apa, sih?"

"Kasih, ya? Satu aja, please." Langit menatap Dara dengan tatapan memohon.

Dara memilih pergi meninggalkan Langit. Langit masih mengejarnya.

Saat Dara menggantungkan kresek bakso pada motor, Langit langsung naik ke atas motor Dara dan duduk di jok belakang dengan tangan yang melingkar pada leher Dara dari belakang. "Ya, Dar, ya?"

Dara menghela napasnya. "Turun, Lang."

"Enggak sebelum lo bilang iya."

"Enggak! Turun cepetan!"

"Aduh, sakit!" Langit menyentuh dadanya.

Dara sontak berbalik dan menatap ke arah Langit. "Kenapa?"

"Hati gue, sakit! Aduh!"

Dara diam. Sosok Langit yang begini, malah mengingatkan Dara pada Langit yang pertama kali Dara temui.

Dara membuang arah pandangnya. Matanya tiba-tiba saja memanas.

Langit yang melihat Dara diam begitu, langsung menatapnya dengan perasaan bersalah. "Maaf, gue maksa banget, ya?" tanya Langit.

"Turun, Lang. Gue mau pulang."

Langit menghela napasnya. Cowok itu memilih turun dan berdiri di samping motor Dara.

Gadis itu menatap Langit. Langit tersenyum lebar, "Hati-hati, ya! Lain kali, kita jalan-jalan ke sini sama si Entin."

"Dah, Dara!" Langit melambaikan tangannya.

Dara menghela napas kasar. Gadis itu memilih mengundurkan motornya dan pergi meninggalkan Langit.

Senyuman Langit mendadak luntur. Tangan yang tadinya terangkat, kini turun ke bawah.

Langit akan memperjuangkan Dara lagi. Dan Langit janji, jika kali ini dia gagal lagi, dia akan berhenti dan membiarkan Dara bahagia dengan orang lain.

Tapi Langit akan berusaha agar dirinya tidak gagal dan tidak menyakiti Dara lagi.

TBC

Ku menangiss, membayangkan~

Gimana? Suka gak? Triple up lah, masa iya gak suka T.T

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Reza

Saddam

Spam Next di sini yuk!

900 komentar next besok yuk!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro