Part 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pulang sekolah, Dara duduk di atas motornya sendirian. Ia malas untuk pulang ke rumah, sehingga ia masih berada di parkiran sekolahnya.

Gadis itu mengembuskan napasnya pelan. Melirik ke samping, ia berdecak kesal kala menyadari mobil Cakra masih terparkir di sebelahnya.

Itu artinya, Cakra belum pulang.

Saat Dara akan menyalakan mesin motornya, tatapannya terpaku pada Cakra yang saat ini berdiri bersama Sonya.

"Dar," panggil Cakra.

Dara tak menghiraukan panggilannya. Gadis itu memilih memundurkan motornya, kemudian tersenyum tipis ke arah Cakra. "Duluan, Kak."

'Kak' entah mengapa panggilan itu terasa begitu menyakitkan untuk Cakra. Wajar sih, Dara memanggilnya begitu.

Lagipula, Dara kan adik kelas Cakra? Tapi, Cakra lebih terbiasa mendengar Dara memanggilnya tanpa embel-embel begitu.

Motor Dara melaju meninggalkan kawasan sekolah.

Cakra mengepalkan tangannya di sisi jahitan.

"Cak, harusnya kamu kasih tahu yang sebenarnya sama Dara," kata Sonya.

"Kasih tahu kebenarannya kamu bilang? Itu cari mati namanya, kalau aku bilang yang sebenarnya, Dara bakal tambah ngejauh dari aku, Nya."

Sonya menghela napasnya, "Kalau kamu gak ngomong, Dara pasti bakal punya pendapat lain soal sikap kamu ke aku, Cak. Aku tahu kamu gak punya perasaan sama aku, tapi Dara pasti menyangka kamu—"

"Kita pulang." Cakra memilih masuk ke dalam mobilnya enggan mendengar ucapan Sonya selanjutnya.

Sonya berdecak sebal. Akhirnya, ia memilih ikut masuk ke dalam mobil bersama Cakra.

Kembali pada Dara, gadis itu saat ini melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

Jika dibilang ia sedih atau tidak berpisah dengan Cakra, tentu saja jawabannya iya. Hubungan Dara dengan Cakra sudah berjalan hampir 3 Tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar.

Rasanya ada yang kurang, masih ada yang mengganjal di hatinya. Dara masih berharap Cakra menjelaskan sesuatu pada Dara.

Dara ingin tahu untuk siapa perasaan Cakra sebenarnya.

Dara menghentikan laju kendaraannya di garasi rumahnya.

Turun dari atas motor, Dara memilih masuk ke dalam rumah. Saat langkah kakinya menginjak ruang tamu, ia melihat Ayu—Ibu Tirinya tersenyum ke arahnya.

"Dar, ganti baju, mandi, Mama udah masak buat kamu. Kita makan sama-sama, ya?"

"Papa mana?" tanya Dara tanpa membalas ucapan Ayu.

"Papa kamu sudah berangkat tadi, Dar. Katanya ada urusan mendadak, jadi berangkatnya dimajukan—"

"Yaudah." Dara memilih melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Ayu menghela napasnya pelan. Dara belum bisa menerima kehadirannya.

Saat di anak tangga terakhir, Dara berpapasan dengan Reza. Cowok itu menatap Dara dan tersenyum tipis. "Baru pulang, Dar?"

"Gak usah basa-basi sama gue." Dara menubruk bahu Reza dan memilih masuk ke dalam kamarnya.

Reza menggeleng pelan melihat kelakuan Adik tirinya itu. Yang ada di pikiran Reza soal Dara saat ini adalah, Sombong.

***

Langit duduk di teras rumahnya dengan gitar pemberian Dara. Cowok itu tersenyum mengingatnya.

Seharusnya, ini ada di tangan Cakra. Tapi salah Cakra sendiri yang enggan menerimanya. Jadi, ini milik Langit kan sekarang?

"Dar, Dar." Langit terkekeh geli membayangkan wajah judes Dara.

Ponsel Langit berdering. Cowok itu menghela napas pelan kala mendapati nama Papanya yang tertera di sana.

"Hallo, Pa?"

"Udah makan? Jangan sampai telat makan, Lang. Obatnya jangan lupa diminum, Papa izinin kamu tinggal sama Abang kamu, bukan berarti kamu bisa—"

"Iya, Pa. Bentar lagi Langit makan, Langit lagi nunggu Bang Cakra." Langit memotong ucapan Papanya.

"Kalau Abang kamu pulang sore, kamu makan duluan aja, Lang. Yaudah, Papa cuman mau mastiin aja. Papa ada kerjaan."

Langit tersenyum tipis. Papanya itu, selalu meluangkan waktunya untuk memperhatikan keadaan Langit.

Sudah makan atau belum, sudah bangun atau belum, dan sebagainya.

Semenjak Mamanya meninggal, Papanya itu menjadi lebih perhatian pada Langit. Bukan tanpa alasan, Papanya hanya takut apa yang terjadi pada Mamanya, terjadi juga pada Langit.

"Yaudah, Langit tutup, Pa. Papa jangan lupa makan."

"Iya, Salam buat Abang kamu."

Setelah itu, sambungan terputus. Langit memilih menyimpan ponselnya lagi.

"Manja, setiap saat aja lo dihubungin sama Papa kayak gitu. Kayak bocah SD."

Langit membalikan badannya. Cowok itu menatap datar ke arah Cakra yang baru saja datang.

Tatapan Cakra beralih pada gitar yang tengah Langit peluk. Matanya memicing, "Oh, Dara putusin gue karna lo? Semua aja lo rebut, Lang. Mama, Papa, Sonya, sekarang Dara. Mau lo apa, sih?"

"Gue gak pernah minta Dara putusin lo!"

"Oh iya enggak. Tapi cara lo yang deketin Dara itu, yang seolah-olah minta Dara buat tinggalin gue."

"Kelakuan lo yang bikin Dara putusin lo. Gue gak pernah rebut Mama sama Papa, karna mereka juga orang tua gue. Lo yang menjauh! Lo yang milih tinggal di sini sendirian." Langit tak terima dituduh begitu.

Cowok itu beranjak, "Satu lagi, gue gak pernah rebut Sonya dari lo." Setelah mengatakan itu, Langit memilih masuk ke dalam rumahnya.

***

Malam hari, Dara duduk di meja makan bersama Ayu dan juga Reza. Dara memilih fokus pada nasinya.

"Dar, tambah lagi. Kamu mau apa? Cobain telor balado, mau ya? Mama bawain." Ayu mengambil satu telur balado dan meletakkannya di piring Dara.

Dara menatap kaget ke arah Ayu. Ini kali pertama Dara mendapat perlakuan bagini lagi.

Namun, Dara kembali sadar, orang di depannya sekarang bukan Ibu kandungnya. Dara harus tahu diri.

"Kamu itu harus makan yang banyak, Dar. Lihat, tangan kamu kurus banget. Pokoknya, Mama janji, Mama bakal masakin yang sehat-sehat buat Dara, ya. Makan lagi, Dar."

Dara mengeratkan pegangannya pada sendok. Andai saja orang di depannya saat ini adalah Ibu kandungnya, Dara pasti akan membalas ucapan itu dengan senang hati.

Tapi, kenyataan kembali menampar Dara. Kehadiran Dara, tak pernah diinginkan. Dirinya lahir karna sebuah kesalahan, Dara harus sadar akan itu.

"Dar, besokkan gue udah mulai sekolah. Lo berangkat sama gue, ya?"

"Gue sendiri." Dara membalasnya dengan tenang.

Reza tersenyum tipis, "Yaudah, lo pakai motor lo, gue pakai motor satu lagi. Nanti kita jalannya barengan, gimana?"

Dara meletakkan sendok di piring dengan kasar. Gadis itu menatap tajam ke arah Reza. "Gue bilang, gue sendiri." Dara beranjak, kemudian ia memilih berlari menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

Reza menghela napas pelan. "Dara sombong banget, Ma," ujar Reza.

"Reza, gak boleh ngomong kayak gitu. Kamu inget gak waktu pertama kali kamu ketemu sama Papa, sikap kamu sama Dara itu persis. Tapi lambat laun, kamu bisa nerima Papa karna apa?"

"Karna Papa baik sama aku sama Mama," jawab Reza.

Ayu tersenyum dan mengusap puncak kepala Reza. "Kamu paham maksud Mama, kan?"

Reza mengangguk. Dara hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.

***

Pagi harinya, Dara sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia sudah naik ke atas motor, namun, panggilan Ayu sontak membuat Dara mengurungkan niat menyalakan mesin motornya.

"Dara, ini Mama masakin kamu buat makan siang. Makanan di sekolah kan belum tentu sehat, sini, Mama masukin ke tas kamu, ya."

Dara hanya diam saat Ayu memasukan kotak bekalnya pada kantong Dara.

Setelah itu, Ayu merapikan rambut Dara, dan mengusap pipinya dengan lembut. "Hati-hati, jangan ngebut. Masih pagi, gak akan telat. Pelan-Pelan aja, ya?"

Dara tak membalas ucapan Ayu. Lagi, ia memilih menyalakan mesin motor dan melajukannya meninggalkan rumah.

Saat di perjalanan, Dara dikejutkan dengan motor yang saat ini melaju di sampingnya.

Dara menoleh.

"Cewek, pagi-pagi udah cemberut aja. Senyum, dong. Lo tahu gak? Senyum lo itu, bikin gue semangat jalani hari-hari, tahu."

"Najis." Dara memilih mempercepat laju motornya.

Ia melirik ke arah spion, di belakang sana, Langit terlihat susah payah menyusul Dara.

Seperti apa kata Langit, si Entin gak bisa di bawa cepet-cepet, nanti mogok.

"Dara! Pelan-pelan, si Entin ngadat!" teriak Langit.

Dara memilih mengendurkan gasnya. Akhirnya, Langit berada di sebelahnya lagi. "Besok-besok gue bawa pesawat aja kali, ya?"

"Boleh, gue ikut, ya." Dara membalasnya dengan kekehan garing.

Langit mengembangkan senyumnya, "Boleh, seru kali, ya jalan berdua pakai pesawat. Kalau gitu, gue mau jadi Pilot, deh."

"Kasihan Isteri lo, dong. Pasti terus-terusan ditinggal nantinya," jawab Dara.

Langit menoleh ke samping. Dara terlihat fokus mengendarai motornya. "Emang gak mau ditinggal?"

"Hah?" Dara menatap Langit kaget.

"Ya itu, tadi … ah! Lupain."

Langit dan juga Dara menghentikan laju motornya di parkiran. Keduanya memilih turun dan membenarkan rambut masing-masing.

Mobil berhenti tepat di samping motor Langit. Dara dan juga Langit menatap ke arah mobil itu.

Cakra dan Sonya, keduanya turun bersamaan di pintu yang berbeda.

Mata Dara memanas kala Cakra tak menatapnya sama sekali. Malah, Cakra dengan santainya menggenggam tangan Sonya dan melangkah pergi meninggalkan parkiran.

"Gue tahu jawabannya sekarang," kata Dara.

"Jawaban?"

"Cakra udah gak punya perasaan sama gue. Atau bahkan, gak pernah?" Dara terkekeh pelan.

Tangan Langit terulur meraih tangan Dara. Dara sontak menatap cowok itu. "Jangan nangis. Mendingan kita ke lapang basket. Lawan gue, mau gak? Kalau lo menang, lo boleh minta gue jadi pacar lo. Gimana?"

"Dih, mendingan gue gak usah main."

"Bercanda, lo boleh minta apapun kalau misalkan lo menang lawan gue."

Dara menjabat tangan Langit. "Deal!"

***

Jessica menatap ke arah Langit dan juga Dara yang tengah sibuk bermain basket berdua. Gadis itu terkekeh miris, Dara, mengapa semua lelaki yang Jessica suka selalu saja menyukai Dara?

Melly yang saat ini tengah berdiri di samping Jessica, menatap ke arahnya. "Jessica, lo kenapa?"

"Eh, enggak. Gue gak papa, Mel. Dara sama Langit cocok, ya?"

"Dara kan sukanya sama Kak Cakra. Masa iya Dara sama Langit juga, aneh-aneh aja, lo." Melly menggeleng pelan mendengarnya.

Jessica menghela napas pelan, "Dulu waktu gue suka Kak Cakra, yang dapet malah Dara. Sekarang gue suka Langit, yang dapet perhatian Langit malah Dara."

"Jes, Dara sama Langit gak pacaran. Coba nanti lo bilang soal perasaan lo ke Langit sama Dara. Siapa tahu Dara bisa bantu lo?" Melly tersenyum.

Jessica mengangguk pelan. Ia menatap Dara dan Langit lagi.

Dara sibuk memantulkan bolanya. Kemudian, ia memasukannya ke dalam ring.

Ia melompat, "Yes! Gue menang—LANGIT!" Dara kaget saat melihat Langit yang sudah terbaring di atas lapang.

Dara membawa kepala Langit ke pahanya, tangannya menepuk pipi cowok itu dengan panik. "Lang, lo kenapa?"

"Langit, bangun!" Dara terus menerus menepuk pipi cowok itu.

Jessica dan juga melly yang melihat itu langsung berlari ke arah Dara dan juga Langit. "Dar, Langit kenapa?" tanya Jessica.

"Gue gak tahu, Jes." Dara mengedarkan pandangannya.

Matanya menangkap sosok Cakra yang tengah berjalan bersama teman-temannya.

Dara tanpa aba-aba, langsung beranjak dan berlari ke arah cowok itu. "Kak Cakra!" teriak Dara.

Cakra menghentikan langkahnya. Ia menatap Dara datar.

"Tolongin Langit! Langit pingsan!"

Cakra sontak menatap ke arah lapangan. Di sana, Langit tengah terbaring ditemani oleh Jessica dan juga Melly.

Cakra tanpa aba-aba langsung berlari ke arah Langit diikuti teman-temannya.

"Bantuin gue!" kata Cakra pada temannya.

Mereka membantu Cakra membawa Langit ke UKS.

Dara menghela napasnya pelan, andai saja ia tidak menyetujui tawaran Langit, mungkin … Langit tidak akan begini.

Tapi, masa hanya gara-gara ini Langit bisa pingsan?

"Gue emang pembawa sial," lirih Dara.

TBC

Hallo! Panjang kan? Iya dong. Btw, teruntuk Riffa aku unpublish ya, maapin T_T

Semoga suka sama part ini

Perasaannya setelah baca part Ini?

Ada yang ingin disampaikan uuntuk Dara

Langit

Cakra

Dan semuanya?

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro