🌻🌸Pengakuan Arsha🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Belajarlah rendah hati, rendahkan hatimu serendah-rendahnya hingga tidak ada seorangpun yang bisa merendahkanmu."

***
Last Memory by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa untuk vote

“Siapa dia sebenarnya?” bisik Arindra mengambil cokelat yang diletakkan Derra di atas meja kafe tempat di mana mereka berkumpul.

Derra hanya bisa berpikir keras mengingat satu persatu laki-laki yang pernah dekat dengan dirinya. Sosok Arsha sepertinya baru ia kenal tetapi kenapa dia tahu apa yang menjadi favoritny. Bahkan nama panjang atau tempat di mana kerja. Tanpa memberi tahu ternyata Arsha sudah ada di hadapannya saat sore tadi.

“Arsha,” bisik lirih Derra sambil kembali mengingat.

“Stok kamu kebanyakan,  sampai lupa sama nama itu,” sindir Arindra yang sudah mengunyah cokelat milik Derra.

Sementara Bayu menyesap kopi hangat sambil memikirkan pekerjaan esok hari. Bukannya mereka pada menyelesaikan kerjaan yang menumpuk tetapi  malah pada nongkrong di kafe.

“Aku gak pernah dekat sama laki-laki yang namanya Arsha,” kilah Derra meyakinkan kedua temannya. Es krim di depan dibiarkan lumer begitu saja karena pemiliknya sama sekali belum menyentuhnya.

“Lupa kali.”

Derra menggeleng seraya berucap, “Dari dulu aku tidak pernah menyukai laki-laki dengan profesi itu.”

“Kenapa?” pekik Arindra dan Bayu bersamaan.

“Ogah ditinggal tugas terus.”

Bayu tertawa keras sehingga kedua temannya langsung saling menatap melihat sesuatu yang aneh.

“Berarti kamu suka sama cowok macam aku,” sahut Bayu dengan penuh percaya diri.

Sebuah bungkus  cokelat melayang di wajah Bayu.

“Kamu tidak selevel dengan Derra, Bay,” kikik Arindra sambil menutup mulutnya agar tawa tak lepas begitu saja.

“Memang laki-laki seperti apa yang bisa berdampingan dengan kamu? Haruskah yang kaya raya atau mempunyai mobil mewah? Atau laki-laki yang mempunyai jabatan tinggi baru bisa membuatmu bertekuk lutut?”

Suasana malah menjadi kaku, mungkin ini kesempatan Bayu untuk mendapatkan jawaban atas penolakannya selama ini.

"Pasti kamu belum bisa move on sama yang terakhir sehingga kamu selalu menganggap mereka mainan saja?" tuduh Arindra.

“Heh, kenapa malah seperti ini? Fokus pada siapa Arsha? Bukan malah mikir siapa saja mantan aku?”

“Kamu suka sama Arsha?” Arindra kembali ke topik utama.

Derra menggeleng cepat tanda penolakan.
“Aku tidak suka sama cowok profesi seperti itu."
Ini untuk kedua kalinya Derra membantah keras tudingan Arindra.

"Jangan katakan seperti itu? Nanti malah buat bumerang kamu sendiri."

Suara yang datang tiba-tiba muncul membuat ketiga orang itu langsung mendongak ke atas. Derra terpekur kaget mendapati lagi-lagi Arsha mendapati dirinya sedang berkumpul di sini. Bayu lebih memilih menunduk karena ia tak mungkin saingan dengan laki-laki seperti itu untuk mendapatkan Derra. Arindra terpukau melihat siapa yang datang.

"Dia tentara itu?" bisik Arindra di dekat telinga Derra.

"Hemm."

Hanya deheman lirih keluar dari bibir Derra karena Arsha sudah menempati kursi di sampingnya.

"Ganteng banget," bisik Arindra sekali lagi tanpa berkedip melihat tentara itu.

"Sejak kapan suka es krim?"

Arsha merebut es krim yang sudah meleleh, mengaduk dan menyendok ke mulutnya.

"Es krim ak...."

Sia-sia saja, es krim milik Derra sudah disantap Arsha. Gadis itu hanya menelan ludah bersama rasa kecewanya.

Tak lama kemudian datang pelayan membawa jus stroberi  dalam ukuran gelas lumayan besar. Arsha meletakkan gelas tersebut di meja dekat Derra.

"Bukannya kamu lebih menyukai minuman ini dibandingkan es krim?"

Derra terhenyak, lagi-lagi Arsha tahu apa minuman favoritnya. Sebenarnya tadi ia asal memilih minuman, pilihan  jatuh pada es krim siapa tahu bisa mendinginkan pikirannya. Namun sekarang tidak hanya pikiran saja yang dingin tetapi suasana mendadak kaku sejak kehadiran laki-laki yang tak diundang.

"Boleh meminta waktunya sebentar bersama Derra," pinta Arsha dengan sopan pada kedua rekan Derra.

Bayu berdiri dan menggandeng tangan Arindra mengajaknya untuk pergi. Sementara Derra berharap kedua temannya tak akan meninggalkan dirinya bersama laki-laki yang baru dikenal sembilan jam yang lalu. Namun sayang kedua temannya sudah pergi dengan meninggalkan senyuman tanpa salah.

"Minumlah!" perintah Arsha sambil mendekatkan gelas tersebut pada bibir Derra tetapi gadis itu menolak.

Arsha tertawa lirih. "Tenang saja, enggak aku kasih racun kok."

Mata Derra membeliak semakin kesal.

"Siapa kamu sebenarnya?" tuduh Derra sambil mengamati wajah di samping. Siapa tahu ia bisa mengingat.

Lengkungan senyum di bibir Arsha membuat Derra mengalihkan tatapannya. Pantas saja Arindra tak pernah berkedip melihat laki-laki ini.

"Masa depan kamu."

Derra mendelik. Ucapan barusan sangat mengena di hatinya sehingga jantungnya sekarang berdebar sangat cepat. Ia meraih tas di atas meja hendak bangkit dan berlalu pergi. Namun gerakannya kalah cepat karena Arsha lebih dulu mengambil tas milik Derra.

"Setidaknya kalau pembicaraan belum selesai, jangan pergi dulu. Aku tidak suka kamu selalu begitu. Dari dulu kamu tidak pernah berubah."

Sorot mata Arsha terkesan tegas tetapi masih terasa lembut membuat Derra langsung kembali ke tempat duduknya.

"Minumlah setidaknya kamu lebih tenang."

Tangan Derra meraih gelas tersebut tapi ketika hendak menyeruput dari sedotan, ia kembali menatap wajah yang tengah memperhatikannya.

"Tenang, enggak ada racun, kok," kekeh Arsha seperti paham yang di pikirkan Derra.

Gadis itu seketika langsung meminum jus tersebut, ia butuh asupan untuk tenggorokannya yang kering, apalagi untuk situasi yang sangat benci seperti ini.

Selama ini ia bisa berdekatan dengan laki-laki manapun tanpa melibatkan perasaanya. Namun,  sekarang?

"Kamu siapa?" tanya Derra sekali lagi, ia masih belum puas dengan sebutan nama saja dari laki-laki itu.

Arsha merogoh celana dinasnya, mengeluarkan sebuah dompet untuk mengambil dua kartu identitas dari sana. Meletakkan di samping gelas yang isinya sekarang tinggal separuh.

Derra  langsung meraih benda pipih di sana. Sebuah kartu tanda penduduk dan satu lagi kartu anggota identitas abdi negara.

Mata mengamati satu persatu kata yang tertera di kartu itu. Bahkan Derra sempat mengulangi lagi untuk memastikannya.

"Ada urusan apa mendekatiku seperti ini?"

Lagi-lagi Derra mengalihkan lagi tatapannya karena senyum itu hendak membius dan menyeret hatinya untuk bertekuk lutut pada kisah cinta.

"Aku cuma ingin kamu, tidak lebih."

Laki-laki itu setengah berbisik tetapi cukup membuat Derra tersentak.

"Segitu mudahnya kamu jatuh cinta pada seorang perempuan? Jangan-jangan segitu gampangnya kamu mengucapkan pisah jika sudah bosan?" tuduh gadis itu merasa tidak suka.

"Aku bukan laki-laki seperti itu."

"Tapi aku menganggap kamu adalah bagian dari laki-laki hidung belang dengan gampangnya mengucapkan apa itu cinta."

Arsha tersenyum.

"Terserah kamu mau berpikiran buruk tentang aku seperti apa. Tapi perasaan aku tetap sama dan tidak berubah."

Derra menghirup napas dalam-dalam, dadanya sesak karena pasokan oksigen di tubuhnya hampir musnah bersama gombalan laki-laki di samping.

"Aku mau pulang."

Derra berdiri, mungkin berpamitan dan berjauhan dengan Arsha akan membuat denyut jantung berdetak normal tak seperti sekarang.

"Yakin kamu akan menyudahi hari ini berlalu begitu saja tanpa memberikan kepastian yang jelas untuk aku?" paksa Arsha.

"Aku bukan perempuan yang dengan mudahnya menitipkan hati pada laki-laki."

"Dan juga bukan perempuan yang dengan gampangnya melupakan masa lalunya?" imbuh Arsha dengan mantap.

Derra mendelik pada Arsha, memasang tatapan tidak suka karena selalu dipojokkan  seperti ini.

“Tunggu, aku minta maaf,” tukas Arsha berlari agar langkahnya bisa menyamakan dengan Derra yang sudah berjalan di depan.

Please, jauhi aku,” pinta Derra sambil terus melangkah menuju mobil yang diparkir samping kafe. Ia mencari ke sekeliling untuk menemukan sahabatnya.

“Mereka sudah pergi,  aku yang sengaja menyuruhnya,” sahut Arsha dengan memasang tanpa bersalah.

“Bagus, setidaknya aku bukan menjadi sopir mereka.”

Setelah menekan tombol kunci otomatis, Derra langsung menuju dalam untuk bersiap-siap menjalankan mobilnya. Lagi-lagi ia kalah karena dengan gerakan cepat , Arsha sudah mengambil kunci mobil dari tangannya.

“Kamu harus mengantar aku ke tempat dinas!” serunya dengan perasaan bahagia, apalagi sekarang laki-laki itu sudah duduk di kursi depan kemudi.

“Apalagi ini? Aku tak suka cara-cara seperti ini. Aku juga tidak suka tentara,” kilah Derra sambil berkacak pinggang.

“Cepatlah sebelum magrib!” perintah Arsha yang sudah menyalakan mesin mobil milik Derra.

Terpaksa Derra berjalan mengitari separuh badan mobil untuk dapat duduk di kursi samping pengemudi dengan wajah ditekuk. Biasanya laki-laki lain akan bertekuk pada dirinya tetapi sekarang malah semuanya menjadi terbalik.

“Derra?”

Gadis yang merasa di panggil berdehem lirih sambil terus memainkan ponselnya. Di chat whatsapp dia bersumpah serapah pada Arindra yang sudah meninggalkan dirinya sehingga dirinya terjebak dengan seseorang macam Arsha.

“Tidak apa-apa kamu tidak suka tentara. Setidaknya jangan membenci orangnya.”

Arsha hanya bisa mengulum senyum di mulutnya, ia sendiri jijik bukan main bisa bertindak segila ini pada Derra.

Sedangkan kepala Derra sudah pecah karena emosi sudah ada puncaknya. Ia ingin sekali memukul orang itu agar keluar dari mobilnya.

Mobil terus melaju berlomba dengan senja yang berganti malam, jalanan semakin  ramai karena banyak orang yang pulang menuju rumah. Merehatkan tubuhnya setelah lelah bekerja.
Mobil berhenti bukan pada tempat dinas Arsha melainkan pelataran masjid yang di sana sudah terdengar suara azan berkumandang.

“Loh, kok?” protes Derra dengan wajah tak suka.

“Salat dulu, magrib waktunya pendek. Memang kenapa? Keberatan?”

Arsha langsung menuruni mobil tetapi belum menutup pintu karena masih tertuju pada gadis yang wajahnya masih ditekuk.

“Salat!”

“Ak-aku lagi—“

“Jangan kebanyakan alasan, cepat turun!”

Derra membuka pintu sambil  berpikir keras. Bukannya masuk ke dalam masjid karena sudah ditunggu Arsha dekat tempat wudu, yang ada ia mengitari mobil dan menuju kursi pengemudi. Ia langsung tancap gas pergi begitu saja dibarengi gelengan Arsha di sana. Laki-laki itu mengeluarkan gawainya untuk menghubungi seseorang.

“Dia pulang tetapi sebentar lagi akan masuk jebakan kita.”


Matahari pagi bersinar sangat terik menyusup kaca jendela ruang keluarga . Derra sudah berpakaian rapi, di depannya layar laptop sudah menyala. Jika bukan teror dari Bayu, mungkin ia tak bangun pagi dengan alasan mengerjakan tugas.

“Derra!”

Wajah Mamah panik sambil menggoyangkan tubuh putrinya yang masih fokus  dengan laporannya.

“Ada apa sih, Mah?” kilah Derra serasa terusik karena diganggu.

“Ada yang jemput kamu?”

“Jemput? Derra kan bawa mobil sendiri,” tukasnya sambil  beranjak dari tempat duduknya.

“Iya, pakai baju tentara!” seru Mamah kegirangan dan wajah berseri tetapi tidak dengan Derra yang panik setengah mati.

“ARSHA?”

"Siapa dia? Pacar baru?"

Derra berlari membuka tirai pintu ruang tengah, membuka sedikit dan melihat dia sudah ada di sana. Masih memakai baju seperti kemarin, entah belum ganti atau memang bajunya itu-itu saja, ia tak paham.

"Bukan, Mah. Kita baru—"

"Cepat temui dia? Kasihan, tampaknya dia mau berangkat dinas," potong Mama menyela ucapan putrinya.

Dengan langkah malas, Derra terpaksa menuju ruang tamu menemui Arsha yang terus memperhatikannya. Dengan memasang wajah kesal, gadis itu duduk dan melempar bantal kursi pada Arsha. Namun, laki-laki itu dengan sigap menerima bantal itu sehingga tak mengena wajahnya. Senyum manis menghias bibir laki-laki itu.

"Kenapa kemari?" tukas Derra semakin kesal. Ia paling tidak suka ada cowok datang ke rumah, pastinya Mamah Papah akan bertanya macam-macam. Untung saja hari ini, Papah sedang keluar kota.

"Derra tak baik berlaku tak sopan seperti itu?"

Kelakuan Derra tak luput dari perhatian Mamah yang ikut bergabung di ruang tamu. Perempuan paruh baya itu duduk di samping Derra sambil terus menatap teman Derra.

"Teman Derra?" tanya Mamah penasaran karena sejauh ini putrinya tak pernah dekat dengan laki-laki dengan profesi seperti ini.

"Iya, Tante. Untuk sekarang baru teman. Jika Tante sama Om merestui mungkin saya menginginkan  hubungan dengan Derra lebih dari sekedar teman."

Derra melotot pada Arsha, suaranya langsung meninggi sambil dibarengi berdiri dari sofa.

"ARSHA!"

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro