🌻🌸Abdi Negara🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Sebuah rasa tidak dapat  berubah karena dipaksa. Namun, bisa berubah karena terbiasa~

****
Last Memory by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Minimarket hari ini terasa lengang karena suasana masih sangat pagi. Derra sengaja berangkat pagi karena kemarin setelah melayat sama sekali tak kembali ke kantor. Malam harinya, ia mendapat teguran dari Bayu karena untuk sementara urusan di perusahaan laki-laki itu.

Derra  bergerak leluasa di dalam minimarket. Mengambil sesuatu yang diinginkan bukan yang dibutuhkan.

"Heh, niat naruh barang gak sih?" gerutu Derra sambil berjinjit mengambil susu kotak yang ukurannya agak besar. Sayangnya benda tersebut  ada di rak paling atas.

"Sial, masih saja belum bisa."

Tatapan mata tertuju pada kanan dan kiri berharap menemukan pelayan yang sedang melintas di area ini. Sayang  sekali tak ada orang di sana.

Terpaksa ia sedikit berjinjit sambil melompat hendak meraih kotak susu tersebut. Namun, yang ada roti di tangannya terjatuh. Buru-buru Derra mengambil roti yang masih dalam kemasan sehingga walau terjatuh tak akan rusak ataupun kena debu.

Ketika menengadah ke atas tiba-tiba benda apa yang diinginkan sudah ada di depan wajahnya. ata sedikit terkejut karena kotak itu tak mungkin melayang sendiri melainkan  berada di tangan seseorang.

"Ambillah!" perintah orang tersebut dengan suara datar tetapi masih terkesan lembut di telinga  Derra.

"U-untuk ak-aku."

Derra gugup setengah mati melihat paras wajah tampan di depan yang tengah tersenyum kepadanya. Laki-laki kulit sawo matang dengan tinggi sekitar sepuluh centi di atasnya. Memakai kaos dinasnya yang terasa sesak sehingga menamapakkan tubuhnya yang atletis.

Sebenarnya bukan sekali ini saja, Derra bertemu dengan prajurit negara seperti ini tetapi untuk detik ini terasa sangat berbeda karena degup jantungnya yang sudah berdetak seperti saat ia berlari.

"Ambillah," ulang laki-laki itu sambil mendekatkan lagi pada wajah Derra. Bahkan ujung kotak susu tersebut menyentuh pipi gadis itu sehingga tersadar dari lamunannya.

Sentuhan ujung kotak susu membuat wajah Derra seperti terkena sengatan listrik, ia lalu meraba pipinya.

"Eh, maaf," seru laki-laki itu hendak menyentuh pipi mulus milik Derra. Untung saja gadis itu berhasil mundur satu langkah. Seburuk sifat dirinya tak mungkin membiarkan laki-laki menyentuh ujung kuku atau kulitnya sekalipun.

Derra memang terkesan matre karena  sering meminta sesuatu pada orang yang sedang mendekatinya tetapi ia tetap bisa menjaga diri karena yang akan menyentuh dan memeluknya hanyalah kekasih halalnya.

"Kulit kamu?"

"Tidak apa-apa," ujar Derra sambil mengibaskan tangan kanannya sebagai isyarat laki-laki itu tak boleh menyentuhnya. Padahal dalam hati Derra berpikir keras bagaimana menghilangkan warna merah di pipinya. Mungkin dengan tambahan blush on yang sedikit tebal dapat menyamarkan pipinya

"Ak-aku—"

"Tidak apa-apa," sahut Derra sambil mengambil kotak susu itu berjalan begitu saja meninggalkan laki-laki yang tak dikenalnya.

Derra mendengkus kesal, seandainya saja tak ada kejadian tadi mungkin sudah berada di urutan kasir paling depan. Ia melirik arloji berwarna keemasan di pergelangan tangannya. Sama saja bohong, ia datang tempat kerja seperti biasanya.

Untung saja urutan paling depan  berbelanja dengan jumlah tak banyak sehingga sekarang Derra sudah berdiri samping kasir.

Sebuah tangan merebut barang yang ada di tangan Derra diikuti suara berbisik di telinga membuat bulu kuduk seketika langsung berdiri.

"Biar ikut belanjaan saya saja."

Derra menatap ke atas, laki-laki yang sama tengah tersenyum ke arahnya.

"Aku bisa—"

"Anggap saja menebus ketidaksengajaan kejadian tadi," ungkap laki-laki itu dengan raut wajah menyesal. Apalagi goresan merah masih ada di sana.

Dalam hati, Derra mendengkus kesal. Ia melihat sebungkus roti dan kotak susu sesudah bergabung dengan parfum yang dibeli laki-laki itu. Lebih baik ia menunggu di pintu keluar, toh hanya roti dan susu saja yang dibayar. Bukan makanan  mewah seperti yang ia minta kepada mantan-mantan pacarnya.

"Ini!"

Sebuah keresek warna putih sudah  berada di depan wajahnya. Cuma sekarang agak jauh mungkin saja takut melukai pipi Derra. Dengan gerakan cepat Derra mengambil keresek itu sambil mengucapkan terima kasih dan langsung pergi menuju ke tempat parkir.

"Siapa nama kamu?"

Derra yang sibuk mengambil kunci mobil tak menatap ke belakang.  Pertemuan kali ini cukup mengingat pemilik suara itu.

"Untuk apa?"

Derra tetap masuk dan duduk di jok mobil. Sayangnya ia telat menutup pintu sehingga tangan di samping menahan agar tak tertutup.

"Buat permintaan maaf."

Wajah Derra berubah kesal, seharusnya ia bisa pergi secepatnya.

"Saya sudah memaafkan, Pak Tentara," cibir Derra menatap sekilas wajah di samping yang tengah menunduk sambil tersenyum.

Manis. Satu kata terlontar di hati Derra. Ia lalu membuang tatapannya ke depan sambil kedua tangan memegang setir mobil. Ia tak mau jatuh cinta pada laki-laki ini. Dia bukan tipenya. Derra lebih menyukai laki-laki mapan yang tak terikat dinas seperti dia. Susah kalau dimintai tolong ternyata doi lagi tugas luar kota, bahkan luar provinsi. Tidak? Derra bergidik ngeri.

"Enak saja dikatain bapak-bapak. Kenalkan nama saya Rafka Arsha Fathan. Panggil saja Arsha."

"Namanya gak cocok dengan pekerjaannya," gumam Derra lirih.

"Aku mau berangkat," keluh Derra berharap dia tak menahan pintu mobilnya.

"Nama kamu?"

"Panggil saja Derra."

Arsha tersenyum manis sambil mengeluarkan dari balik jaketnya dan menjulurkan pada Derra yang sedang menatap dengan raut muka terkejutnya. Setahu Derra, dia hanya membeli parfum tak ada tambahan lain macam cokelat.

"Terima permintaan maafku, Elsa Derra."

"Kenapa kamu bisa tahu namaku," sungut Derra terkejut sambil menahan rasa penasarannya. Ia sama sekali tak menerima cokelat itu padahal jelas-jelas itu camilan favoritnya.

"Aku tahu semua tentang kamu."

Derra semakin bergidik ngeri, ia lalu menutup pintu mobil dengan sekuat tenaga. Cokelat itu sudah mendarat di pangkuannya karena Arsha sudah melemparkan saat pintu hendak tertutup.

Lebih baik, ia dekat-dekat pergi karena layar ponselnya sudah berdering menampilkan nama Bayu. Ia bakal marah besar karena kemarin sudah membolos dan sekarang sudah terlambat.

Arsha hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia sendiri jijik mengingat dirinya bisa sekonyol itu menggoda perempuan.

"Target sudah masuk jebakan."

Ia memasukan kembali ponsel setelah mengirim pesan pada seseorang.




Derra tampak berjalan dengan anggun dan luwes memasuki lobi bawah. Siapa yang tak terpana melihat siapa yang datang, mungkin sebagian rekan kerja perempuan akan iri melihat perempuan yang digandrungi oleh kaum adam di perusahaan  ini.

"Tap...tap...."

Suara langkah sepatu Derra sekarang beradu dengan lantai marmer lantai dua tempatnya menghabiskan setengah harinya di sini.

"Hari ini kita bebas?" teriak Arindra menyambut kedatangan sahabatnya. Mereka ber-tos ria merayakan hari-hari yang terlepas dari tekanan atasan.

Derra tersenyum kecil, gemuruh di dada masih terasa sampai sekarang. Padahal pertemuan mereka sudah sepuluh menit yang lalu. Namun, rasa tegang itu masih ada.

"Kenapa?"

Arindra mengamati perubahan wajah Derra yang tak biasa seperti menyimpan sesuatu. Gelengan lemah kepala gadis berkerudung itu membuat Arindra semakin yakin jika Derra sedang tak baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa. Kepikiran sama pekerjaanku masih menumpuk banyak."

"Oke," sahut Arindra sudah bersiap-siap pergi. Namun, ia mengurungkan karena melihat goresan kecil di pipi sahabatnya.

"Pipi kamu? Jangan-jangan kamu habis cakar-cakaran karena ketahuan jalan sama cowok lain?"

"Apaan sih," usir Derra sambil mengayunkan tangannya agar sahabatnya pergi karena ia ingin sendiri.

Derra mengambil keresek putih tadi dari dalam tas. Mengeluarkan kotak susu yang membuat dirinya berurusan dengan tentara itu. Lagi-lagi imajinasi langsung terlintas sosok Arsha.

"Heh, apaan sih?"

Tangan langsung menuang susu ke dalam gelas kosong yang sudah disediakan office boy.

"Tring!!!"

Sebuah pesan masuk dari layar ponselnya. Ia menyipitkan kedua matanya untuk memperjelas rentetan nomor baru.

"Siapa, ya?"

Dengan gerak cepat langsung membuka pesan di aplikasi whatsapp. Matanya melotot melihat satu pesan bersama gambar selfi pemilik nomor tersebut.


"Jangan lupa diminum susunya, biar sehat. Sepulang kerja aku jemput, siapa tahu mau ke salon buat dempul pipi✌"

Derra melempar ponselnya ke atas tumpukan berkas di meja dengan wajah yang sangat kesal.

"Siapa sih dia."

Di pelataran parkir sepasang manusia tengah berdebat dengan wajah yang sangat serius.

"Ayolah, cepat selesaikan tugas kamu. Aku harus membuat laporan secepatnya."

"Aku belum bisa, Bay."

Bayu mendengkus, susah sekali dengan anak buahnya satu ini. Pantas Om yang sudah almarhum sering bnaik pitam menghadapai karyawan seperti ini.

"Aku sudah ditunggu sama istri Bos."

Derra menggigit bibir merahnya, jujur setelah menerima foto tentara tadi pagi, semangat untuk kerja langsung menurun drastis.

"Kamu mikirin apa sih? Hubungan kita tidak usah dipikirkan?" canda Bayu meledek Derra yang sebentar lagi pasti akan emosi.

Bayu sadar diri, entah ke berapa kali cintanya selalu ditolak oleh gadis ini.

"Apaan sih. Aku kerjain di rumah saja, ini aku sudah membawa laptop," tunjuk Derra sambil mendekap benda di pelukannya dan bergegas menuju mobil hitam.

"Hati-hati. Jangan lupa besok!" peringat Bayu sambil menahan sabar. Entah alasan apalagi selain kemarin dan hari ini.

"Sudah siap pulang sekarang."

Bayu dan Derra langsung menengok suara yang datang. Keduanya sama-sama syok, apalagi untuk Derra. Laki-laki yang baru datang benar-benar menepati ucapannya.

"Ak-aku mau pulang sama Bayu."

Derra berbalik dan berjalan menuju Bayu yang masih kaget sama seperti dirinya. Ia memegang ujung kemeja biru milik Bayu.

Arsha hanya tersenyum sedikit kecewa melihat Derra memilih laki-laki lain. Ia mempersilakan  dua orang itu pergi dan ia memilih naik kembali motornya sendiri. Menelan bulat-bulat rasa itu sendirian. Baru dua kali bertemu tetapi nama Derra sudah di hati Arsha.


-Tbc-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro