🌻🌸Persaingan Sengit🌸🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Beritahu caranya menghilang tanpa kabar dan aku akan beritahu bagaimana bertahan dengan sabar~

***
Last Memory by Galuch Fema

Tubuh Derra lemas mendapatkan permintaan yang sangat berat dan sepertinya tak dapat ia kabulkan. Mengingat kedekatan dengan Mamah Farhan dulu membuat Derra tak bisa bisa berkutik, melihat dua mata sayu yang menatap dirinya membuat Derra tak tega melihat apalagi sudah menyangkut hidup seseorang yang tinggal menghitung hari.

"Kamu mau kan mengabulkan permintaan Mamah?" pinta Farhan ikut menambah Derra tak bisa berkutik.

Tatapan Derra tertuju pada Farhan yang tengah tersenyum ke arahnya membuat Derra jengah dan muak, andai saja tidak di depan mamah Farhan mungkin sudah menampar mulut itu atau pergi begitu saja tetapi untuk detik ini Derra ibarat manusia lemah yang tak bisa berbuat apa-apa dan Farhan memanfaatkan kesempatan ini.

"Kita lihat saja nanti," beliak Derra menahan amarah.

Ia berjalan mendekati Mamah Farhan yang tak ada habisnya tersenyum ke arahnya. Derra benci sekali situasi seperti ini yang membuatnya semakin terpojok. Tangan Derra membelai ujung kepala wanita itu dengan sangat hati-hati. Namun, tetap saja beberapa helai rambut ada yang sudah menempel di tangannya. Segera meraih tangan yang tak tersambung saluran infus dan mengecupnya sambil berpamitan untuk pergi.

"Jangan lupa besok datang lagi."

Derra yang sudah berada di ambang pintu seketika langsung terdiam, menengok ke belakang dengan sangat berat. Entah itu permintaan  atau bisa jadi wasiat. Gadis itu tak membalas hanya bisa tersenyum dan buru-buru melangkah pergi secepatnya.

Panggilan dari Farhan yang menyuruhnya berhenti sama sekali tak dihiraukan, ia terus melangkah bahkan setengah berlari yang penting pulang tidak bersama laki-laki itu.

Di depan rumah sakit, Derra terus menengok ke arah samping kanan kiri untuk mencari taksi kosong yang lewat karena tak sempat membuka aplikasi online di ponselnya.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya, ada rasa lega karena ketika melihat ke belakang terlihat Farhan yang bersusah payah tengah mengejarnya.

"Jalan!" pekik Derra ketika sudah masuk dan memasang seat belt melingkar di tubuhnya.

Mobil pun melesat cepat, sang sopir sempat melihat wajah di luar tengah emosi yang luar biasa, apalagi batu kecil di atas tanah ikut menjadi sasaran tendangan Farhan.

"Aku barusan jemput di  kantor dan katanya kamu sedang pergi," ujar laki-laki itu sambil fokus ke depan. Ia berusaha menata deru jantung yang sudah tidak beraturan saat melihat kekasihnya bersama laki-laki lain.

"Kata siapa?" Derra menyipitkan netranya sambil mencurigai siapa yang ditemui oleh Arsha. Jangan-jangan sahabatnya yang memberi tahu jika dirinya pergi dengan Farhan.

"Ak-aku bertanya dengan satpam di lobi," jawab Arsha dengan gugup. Ia baru pernah mendapat tatapan mencurigakan dari Derra. Ia tidak mau hubungan dengan Arindra diketahui oleh kekasihnya.

Derra kembali lagi menatap depan dan mencoba menghibur hatinya agar percaya omongan Arsha.

"Kamu kenapa? Sepertinya panik begitu?"

Sekarang lagi-lagi Derra terpojok. Arsha memanfaatkan juga kesempatan ini, dalam hatinya ingin tahu apakah Derra bahagia jika bersama Farhan atau tidak. Pasalnya keberadaan Derra di rumah sakit membuat hati Arsha harus  dipatahkan berkali-kali.

"Ak-aku tidak apa-apa," tukas Derra sambil pura-pura merapikan kerudung yang sedikit tak rapi akibat tadi berlarian  di koridor rumah sakit.

"Terus kenapa kamu ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Apa jangan-jangan kamu sendiri yang berobat ke sini?" tanya Arsha bertubi-tubi.

Tubuh Derra sudah menegang, belum kedua telapak tangan yang mendadak dingin ibarat dihujani es batu. Derra bisa menebak jika Arsha tidak suka jika dirinya berdekatan dengan Farhan.

Sambil berpikir cepat untuk memberikan jawaban itu, Derra menatap pemandangan di luar.

"Sakit? Hatiku yang sakit saat kamu tadi pagi bersama Arindra," jerit Derra dalam hati.

"Teman aku yang sakit," ucap Derra menyembunyikan rasa gundah gulana di hatinya.  Ia paling lemah untuk urusan berbohong, apalagi berbohong di depan Farhan kalau rasa itu masih ada untuk dia walaupun sangat kecil tak seperti cintanya pada laki-laki di samping.

"Bukankah masih jam kerja? Kok bisa keluar seenaknya? Bukankah bos kamu terkesan galak?"

Arsha hanya ingin menguji kejujuran Derra apakah gadis ini akan berkata sebenarnya atau tidak.

"Rekan kerja aku yang sakit kebetulan teman satu tim marketing. Tidak enak sudah seminggu opname di rumah sakit dan aku baru bisa menengok."

Arsha mengangguk, ia pura-pura percaya dengan jawaban bohong Derra. Ingin sekali lagi menanyakan hubungan dengan Farhan tetapi ia urungkan secara dirinya sendiri terlibat hubungan tidak jelas bersama Arindra.

"Mau makan?" tawar Arsha mencoba membuat hubungan dengan Derra agar lebih dekat lagi. Lagian masih ada tiga jam sebelum berangkat dinas.

Derra mengangguk cepat sambil memberikan senyum termanisnya dengan lesung pipit di wajah putih bersih itu. Arsha tersenyum biasa, melihat lesung pipit itu membuat dirinya kembali teringat dengan Farhan yang juga memiliki lesung pipit. Arsha menggigit bibirnya untuk mengurangi kekesalannya.

Sialnya ketika melihat spion ternyata ada mobil milik laki-laki itu. Sepertinya dari tadi menguntit di belakang mengingat mobilnya berbelok dan ia juga ikut berbelok. Arsha mencengkeram erat setir mobil karena hidupnya selalu diganggu oleh Farhan.

Restoran yang dipilih terletak di tengah kota, suasana cukup ramai tetapi masih ada tempat kosong untuk mereka berdua. Ekor mata Arsha masih saja melirik ke arah bangku yang tak jauh darinya membuat rahang laki-laki itu mengeras. Farhan dengan santai menyesap kopi sendirian di mejanya.

"Ada masalah?" tanya Derra karena sedari tadi melihat Arsha tak memakan hidangan yang sudah tersedia di depan meja.

Arsha menggeleng lemah, ia mulai mengaduk makanan tetapi selera sudah hilang karena kehadiran laki-laki itu. Namun, Derra sepertinya mengetahui arah yang membuat Arsha berubah. Ekor mata Derra terbelalak karena mendapati pimpinannya tengah berada di meja samping bahkan menatapnya dengan santai kemudian fokus kembali layar ponsel yang di pegang laki-laki itu.

"Far—"

Arsha menyentuh dagu Derra dan menariknya pelan menuju arah makanan di atas meja. Kedua mata Arsha seperti menjelaskan semua akan baik-baik saja. Bahkan Arsha menyendok makanan miliknya dan mengarahkan ke arah mulut Derra. Gadis itu lumayan kaget mendapatkan perhatian dari kekasihnya, mau tak mau membuka mulut menerima suapan dari Arsha.

"Enak?" tanya Arsha sambil tersenyum. Sepertinya sekarang saatnya yang tepat membuat laki-laki di sana panas meradang.

Derra mengangguk sambil tersenyum, jarinya hendak mengusap ujung bibir yang terkena kuah makanan tetapi dengan sigap Arsha mengambil tisu dan mengelap bibir Derra dengan hati-hati takut merusak riasan wajah Derra.

Benar saja, Farhan meradang menikmati pemandangan romantis di hadapannya, ingin sekali membanting gelas kopi yang ada di tangannya tetapi ia urungkan karena yang ada sorot mata pengunjung sini akan mengarah padanya. Segera menghabiskan kopi itu yang terasa sangat pahit seperti hidupnya.

Dering ponsel menampilkan pesan dari perawat yang ia percaya selama tidak ada yang menjaga Mamah. Ia buru-buru menyudahi kudapannya dan menuju mobil tepatnya di belakang dua sejoli yang juga telah menyelesaikan kencan romantisnya.


Arsha membuka pintu samping untuk Derra dan menutup kembali pintu, sayangnya senggolan yang sangat keras mengenai bahu membuat Arsha kaget setengah mati  dan menatap ke belakang.

Derra yang sudah di dalam mobil pun ikut menegang karena dari kaca mobil menatap dua laki-laki yang berhadapan dengan sorot mata penuh dendam dan emosi.

"Semoga tidak terjadi sesuatu," lirih Dera sambil meremas jarinya mengurangi rasa panik, ia sendiri ragu untuk turun dan menyuruh Arsha untuk naik mobil.

"Ada apa?" tanya Arsha dengan wajah tidak bersahabat. Ingin sekali lagi tangannya berakhir di wajah itu.

"Balik ke rumah sakit!" perintah Farhan dengan nada ketus.

Arsha menatap tajam ke arah Farhan, laki-laki itu seenaknya saja menyuruh. Derra semakin panik, sayangnya ia tak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Bukankah sedari tadi aku di rumah sakit? Tidak seperti kamu yang datang hanya memamerkan kemesraan," sindir Arsha dengan geram.

"Kemesraan? Aku melakukan itu karena permintaan Mamah yang ingin aku dan Elsa segera menikah." Farhan berbicara seperti itu dengan sombong dan bangga karena selangkah lebih maju karena sudah berhasil membawa Derra ke hadapan Mamahnya.

"Jangan mimpi!" cetus Arsha berjalan dan menabrak bahu Farhan membuat laki-laki itu terhuyung dan jatuh terduduk.

Farhan merutuki kesialan hari ini, entah lagi-lagi dirinya kalah atau mengalah. Hanya bisa mendesis melihat mobil hitam itu pergi belum tatapan bayang-bayang perempuan di mobil terus mengarahnya.

Rumah sakit menjadi tempat kedua Farhan, lagi-lagi mamah tak sadarkan diri karena tubuhnya terus melemah. Padahal ia tampak ceria saat kehadiran Elsa.

Suara pintu dibuka, Farhan menduga yang datang pasti bukan paramedis tetapi laki-laki sialan itu. Buru-buru ia bangkit dari sofa. Penampilan hari ini terlihat amburadul, kemeja yang dikeluarkan dari celana, lengan yang tergulung sampai siku, belum dasi yang ia longgarkan.  Padahal harus ke kantor lagi mengingat berkas masih di sana.

Baru beberapa langkah lengannya sudah dicekal oleh Arsha membuat Farhan langsung menatap tajam ke arah rivalnya.

"Ada apa?" tanyanya dengan ketus dan nada kasar hendak melanjutkan kembali pertikaian tadi di depan resto.

"Aku mau dinas, kamu tidak bisa seenaknya seperti itu," ujar Arsha dengan geram. Padahal sedari siang tadi ia sudah menunggu bahkan merelakan waktu istirahatnya.

"Terserah, bukan urusan aku."

Farhan melenggang hendak mencapai pintu yang tinggal beberapa langkah lagi. Dengan cekatan, Arsha menarik paksa bahu Farhan sehingga lengan belakang menyentuh daun pintu menyebabkan nyeri di sana.

"SIALAN KAMU!" pekik Farhan dengan suara sangat keras.

Di ujung sana beberapa perawat sudah berdiri dari balik meja melihat suara membahana di lorong yang seharusnya sepi.

"Mamah kamu lagi sakit dan seenaknya saja main kabur!" tuduh Arsha merasa tak suka apalagi di wajah Farhan tampak tak ada rasa bersalah sama sekali.

"Bukan urusan aku," sahutnya sambil mengangkat kedua bahu membuat tentara itu ingin menonjok bibir di sana.

"Aku sudah lama merawat saat di luar negeri. Sekarang gantian kamu," imbuh Farhan melenggang pergi begitu saja.

Mau tak mau Arsha kembali lagi menuju ranjang dan menarik kursi dengan kasar menimbulkan derit di sana. Sepertinya malam ini harus calling perawat itu lagi untuk menjaga selama ditinggal dinas.

"Berantem lagi?"

Dua kata keluar dari bibir pasien yang masih berbaring lemas. Arsha menatap sekilas mata yang sedari tadi menutup, pasti mendengar apa yang ia ributkan barusan.

"Kapan terakhir ke makam bapakmu?" tanya kembali Mamah Farhan membuat Arsha semakin sakit hati. Bukankah bapak itu.... Ah, sudahlah.

"Besok."

Wanita itu mendesis pelan tetapi cukup terdengar di telinga Arsha.

"Kamu suka sama Elsa?"

Mata hitam langsung menatap wanita itu, siapa lagi kalau bukan Farhan yang memberi tahu masalah ini.

Lagi-lagi Arsha terdiam, melirik ke arah arloji yang sebentar lagi berbunyi alarm pengingat jika dirinya harus berada di batalyon.

"Biarkan Farhan sama Elsa, kamu jangan ganggu mereka," nasihat Mamah Farhan menatap mata yang selalu menghindari tatapannya.

"Apa salah jika saya juga mencintai Elsa?" Arsha memberanikan diri bertanya.

"Jelas salah karena Elsa adalah milik Farhan."

Ucapan barusan sangat melukai hati Arsha, laki-laki itu pun bangkit karena merasa tersakiti dan juga sudah jatahnya berangkat.

Baru juga hampir keluar tiba-tiba dari dalam masih ada suara lagi memanggilnya.

"Jauhi Elsa, sebentar lagi mereka akan menikah. Mungkin ini permintaan saya yang terakhir sebelum benar-benar dipanggil sama Allah."

Arsha enggan menatap ke belakang lagi, ia kembali melangkah walaupun langkah semakin berat belum beban pikiran yang membuat kepalanya menjadi panas.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''To be continue''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro