🌻🌸Sandiwara Arsha🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Dia yang memberikan kenangan akan kalah dengan yang membawa kepastian~

****
Last Memory by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa untuk vote

Derra melangkah cepat-cepat walaupun alas kaki yang dipakai terasa menyiksanya. Setelah mendapatkan senyuman  dan sindiran dari beberapa orang yang berpakaian seperti Arsha di tepi lapangan tadi membuat wajah Derra bersemu merah menahan malu.

Bagaimana tidak, ada seorang laki-laki paruh baya dengan tampang wibawa tengah tersenyum ke arah Derra gara-gara ucapan Arsha.

Suara motor di belakang semakin mendekat dan sekarang berjalan sejajar dengan Derra yang masih menatap ke depan.

"Ayo naik!"

Suara Arsha jelas terdengar tetapi Derra masih belum melihat ke samping. Ia terus berjalan tanpa memedulikan sorak sorai rekan Arsha saat berlatih Young Moo Doo.

"Derra?"

Suara samping terdengar semakin lantang sama seperti tadi saat memimpin kegiatan tadi.

"Jangan permalukan aku seperti ini," gerutu Derra yang sudah menahan kesal bercampur malu.

"Aku tak mempermalukan kamu. Itu tadi respek saja."

"Sama saja."

Gerbang utama masuk batalyon sudsh terlihat di depan mata, Derra langsung mempercepat langkahnya beberapa detik walaupun pada akhirnya ia kalah karena Arsha sudah memarkir persis di depan Derra.

Mata merah Derra langsung menatap laki-laki yang turun dari motor. Meraih helm di sana dan berjalan mendekatinya. Semakin dekat dan dengan pelan, helm itu ia pakaian di atas kepala Derra tertutup kerudung, seketika tubuh gadis itu membeku atas perlakuan seperti ini tetapi tangan laki-laki sama sekali tak menyentuh wajahnya.

"Cepat naik!"

Derra yang masih melamun menatap samping, ada rasa ragu ketika harus bersama Arsha. Namun, ia tak mungkin pulang sendirian. Mau tak mau duduk di belakang Arsha yang tengah menyembunyikan senyumnya.

"Langsung pulang, kan?"

Derra bertanya agar tak di bawa lagi ke tempat tanpa sepengetahuan ia lagi.

"Maunya?"

Arsha masih mengulum senyum sambil melirik lewat kaca spion.

"Pulanglah?" ujar Derra sedikit menaikkan nada suaranya.

"Baik, tuan putri," candanya sambil melakukan motor.

Derra lebih baik diam karena malas menanggapi ucapan barusan, bisa-bisa nanti semakin panjang. Mungkin  hari ini ia terpaksa mengalah, tetapi tidak untuk esok karena tidak akan mengulang kesalahan hari ini yaitu memberikan waktu bersama Arsha.

Baru beberapa menit, tiba-tiba motor berhenti padahal belum sampai rumah Derra. Terpaksa gadis itu turun dari motor dan menatap Arsha yang tengah cengengesan tidak jelas.

"Kenapa?" tuduh Derra mencium sesuatu yang tidak mengenakkan.

"Maaf."

"Jangan bilang kalau motor kamu bocor atau—"

"Bensin habis," ujarnya memotong ucapan Derra. Tubuh laki-laki tegap itu langsung sigap turun dari motornya dan langsung mendorong sebelum  Derra mengeluarkan sumpah serapah.

Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang sambil memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Mulut yang sudah kering enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Ia membayangkan jika nanti setelah sampai rumah, Mamah akan memijat kakinya efek heels yang sangat menyiksa.

Arsha menatap belakang melihat Derra yang tengah berjalan di belakangnya.  Ia terlihat menunduk sambil menatap ke bawah. Arsha semakin merasa bersalah tetapi mau gimana lagi.  Ia kembali lagi menuntun motornya.

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti mendadak di persis di depan motor Arsha. Untung saja laju motor yang di dorong kecepatannya tak seperti saat melaju. Motor langsung berhenti, jika tidak dalam  beberapa senti akan menggores body mobil.

Arsha menatap belakang karena ia tak mengenal mobil itu. Siapa tahu itu adalah mobil Derra yang lain atau temannya. Pintu mobil langsung terbuka dan menampakkan sebuah sepatu hitam dan celana kain warna senada. Setelah melihat sampai atas, Arsha bisa melihat laki-laki sepantaran dirinya tengah menuruni mobil tersebut. Tatapan laki-laki yang baru datang langsung tertuju pada gadis di belakangnya.

"Derra?" sapanya dengan lembut sambil terus mendekat.

Derra yang tengah memeluk tas kerja langsung menatap dan mengetahui siapa yang mendekatinya.

"Ridho?"

"Kenapa jalan kaki seperti itu?" tanya Ridho sambil menatap Derra kemudian menatap laki-laki yang memakai jaket tentara yang masih memegang sebuah motor.

"Mogok."

Derra mengusap peluh yang sudah menghiasi dahinya. Ia menatap Arsha yang tengah mengawasinya.

"Siapa dia?"

Kening Ridho berkerut sambil terus mengamati Arsha dari atas sampai bawah.

"Bukan siapa-siapa."

Derra agak canggung mengucapkan barusan, pada kenyataannya ia sama Arsha tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mungkin saja mereka adalah orang lain yang baru dipertemukan 2x24 jam.

"Pulang bareng sama aku!" perintah Ridho sambil berjalan menuju mobil dan membuka pintu bagian samping untuk Derra.

Gadis itu tertegun dan bimbang. Bersama Ridho mungkin ia tak akan kelelahan lagi, duduk di dalam mobil sambil menikmati udara AC yang dingin tak perlu berpeluh-peluh karena harus melawan sinar matahari sore.

Namun, ada rasa iba jika harus meninggalkan Arsha sendirian menuntun motornya. Derra bisa menangkap jika Arsha masih terus mengawasi dirinya tanpa berkedip. Ia hanya membalas tatapan mata itu sekilas. Berjalan pelan sambil menuju pintu yang terbuka. Ridho tersenyum puas ketika gadis itu memilih pulang bersamanya dibandingkan dengan tentara itu.

Tangan Derra sudah memegang pintu mobil.
Mata menatap lagi ke arah Arsha yang wajahnya sudah berubah kecewa terlihat dari ujung bibir laki-laki itu.

Suara mobil tertutup dengan bunyi yang membuat Arsha tersentak kaget. Ridho berjalan menaiki kursi pengemudi dan menutupnya dengan setengah membanting. Kaca jendela ia turunkan dan melihat orang yang masih  berdiri di luar mobil.

"Aku tak mengira jika akhirnya kamu memilih laki-laki kere dibandingkan aku," ucapnya sambil menahan marah sambil menatap tajam pada tentara yang tengah tersenyum pada pengemudi mobil.

Dalam hitungan detik, mobil itu pun melaju dengan kasar dan suara yang meraung-raung sehingga asap hitam keluar dari knalpot mobil.

Arsha mendekati Derra dan membiarkan motor terparkir di pinggir jalan. Mereka sekarang saling berhadapan.

"Sa?"

Derra mengangkat wajahnya. Ia mengingat satu nama yang selalu memanggil namanya dengan nama itu. Tangan kanan memegang pelipis kanan yang sudah berkeringat dingin. Tiba-tiba nyeri itu datang lagi, ia menguatkan kedua kakinya untuk menopang tubuhnya agar tidak limbung. Sayangnya keringat dingin  bukan menghilang karena terpaan angin sore tetapi semakin menjadi karena wajah Derra semakin memucat.

"Sa, kamu tidak apa-apa?" tanya Arsha ketakutan karena perubahan di wajah Derra.

"Ak-aku?"

Arsha langsung memegang lengan Derra dan menuntun ke arah warung di tepi jalan. Menyuruh gadis yang masih memijat dahinya agar segera duduk di bangku kayu.

"Bu, air putih hangat!" pekik Arsha pada pemilik warung.  Tak lama kemudian datanglah wanita paruh baya sambil menyodorkan gelas berisi air hangat.

"Sa, minumlah!"

Arsha menyodorkan gelas tersebut pada bibir yang sudah gemetar. Dengan gerakan cepat, Derra langsung meminum daripada nantinya pingsan di tempat yang tidak layak seperti ini. Ia ingin jika terjadi sesuatu pada dirinya ditempat yang aman, kasur misalnya. Jadi tidak ada orang direpotkan.

Air hangat seketika masuk ke dalam tubuh membuat ada tenaga itu hadir kembali sebelum hilang.

"Sa, kamu tidak apa- apa?"

Raut wajah Arsha masih sangat panik. Ia tak mau kehilangan sendetik pun menatap Derra yang tengah menahan nyeri di kepalanya.

"Kita ke rumah sakit sekarang? Di depan ada rumah sakit DKT. Aku biasa cek kesehatan di sana."

"Tidak usah," elak Derra sambil menangkis satu tangan yang hendak mendekat ke arahnya.

"Jaga tangan kamu!" imbuh Derra geregetan. Di saat seperti ini masih saja ada yang mengambil kesempatan. Makanya ia ingin jika terjadi sesuatu mending di kasur.

"Maaf. Ak-aku khawatir saja, tidak ada maksud lain," sanggah Arsha dengan bingung. Tatapan tajam mata Derra terasa sampai di hatinya.

"Aku tidak apa-apa. Kalau kecapekan  pasti selalu seperti ini."

Terpaksa Derra berbohong agar Arsha tak menginterogasi dirinya terus menerus.

"Habiskan  minumannya selagi hangat. Setelah ini ada yang aku mau sampaikan."

Mata Arsha menyiratkan tatapan  penuh harap ketika mengucapkan seperti itu.

"A-apa?"

Derra tak kuat melihat sorot mata di depan apalagi posisi Arsha sekarang tengah berjongkok dengan posisi tangan di bangku kayu di antara tubuh Derra yang tengah duduk.

"Habiskan dulu."

Minuman yang ada di genggaman tangan lebih baik ia habiskan daripada mendapatkan tatapan seperti itu.

Arsha tengah mengamati Derra yang tengah menghabiskan minuman di gelas, entah kehausan atau memang risih mendapatkan perhatian darinya.

"Apa?"

Suara Derra memecah karena tentara itu masih pada posisi semula.

"Aku mau minta maaf."

Derra mengernyitkan keningnya sambil menatap penasaran pada Arsha yang sekarang sudah berdiri.

"Maaf untuk apa?"

Arsha melangkah menuju motor seraya berucap, "Nanti juga kamu tahu. Ayo kita pulang."

Setelah meletakkan gelas, Derra berdiri sambil mengumpulkan tenaga lagi untuk kembali berjalan menuju SPBU yang sudah tampak di depan.

Suara mesin motor dinyalakan membuat Derra tersentak kaget, mata yang tadi sayu karena hampir saja pingsan tiba-tiba sekarang terbelalak kaget. Jelas-jelas Arsha hendak menjalankan motor yang sedari tadi dituntunnya.

"Motor?" tunjuk Derra pada motor yang dinaiki Arsha.

Dua jari Arsha acungkan ke atas sambil tersenyum tak bersalah, raut wajah Derra kembali merah padam. Seketika tonjokkan mengenai lengan Arsha. Laki-laki itu hanya bisa nyengir karena pukulan dari Derra belum apa-apa dibandingkan saat latihan.

"Jahat banget kamu, ya?"

Arsha kembali panik ketika mata Derra sudah sembab karena hampir menangis.

"Aku kan sudah minta maaf."

Derra pura-pura menatap langit sore, ia menahan bulir bening yang hampir saja jatuh tetapi akhirnya lolos juga. Cepat-cepat ia mengusap dengan punggung tangannya karena ia tak mau mengukir sejarah dengan menangis di tepi jalan raya.

"Aku cuma mengetes saja, ternyata kamu masih bisa  bertahan di situasi sulit seperti tadi. Apalagi ada seseorang yang mengajak balik tetapi kamu masih bertahan sama aku di sini."

Derra semakin meradang, jadi motor mogok tadi hanya sandiwara semata. Ia lalu melangkah dan cepat-cepat naik duduk di belakang Arsha.

"CEPAT ANTARKAN AKU PULANG!!!

Bagai mendapat komando dari atasan, secepat kilat Arsha melakukan motornya sebelum genderang perang ditabuh.


Seorang laki-laki tampak menunggu di depan sebuah gedung. Dari postur tubuhnya yang selalu bergerak terlihat jelas jika ia senang khawatir karena yang ditunggu-tunggu tak muncul juga. Padahal ia berdiri di sini hampir satu jam. Ia meraih gawai dan menatap layar kemudian mengembalikan lagi pada pada satu jaketnya. Percuma saja menelepon, nomor saja tidak punya.

"Hey, kamu?"

Laki-laki itu mencari suara yang tengah memanggilnya. Senyum kembali mengembang karena melihat seorang perempuan tengah berjalan ke arahnya.

"Apa kabar?"

"Baik," sahut Arindra mencari sesuatu yang ganjil di depannya.

"Ada apa ke kantor?" sambungnya daripada penasaran.

"Derra?"

Arindra terkejut sambil menatap laki-laki yang selalu memakai jaket tentara.

"Memang kamu tidak tahu kalau dia tidak masuk karena sakit?"

Sekarang gantian Arsha yang kaget setengah mati. Ia memang tidak menjemput saat berangkat karena masih tertahan di tempat dinasnya karena memang jam kerja.

"Sakit apa?"

"Kaki dia bengkak karena kemarin sama kamu suruh jakan kaki, iya kan? Sudah tahu dia pakai heels tinggi," seloroh Arindra tidak suka.

Arsha langsung tancap gas menuju rumah Derra. Arindra hanya bisa menggelengkan kepala melihat ulah laki-laki yang tergila-gila pada sahabatnya.

Rumah yang identik dengan warna hijau muda dengan pohon kecil di sana membuat suasana nyaman  bagi siapa yang menempati. Namun, tidak untuk Arsha yang sudah memarkir motor di tepi jalan raya. Niat hati untuk mengunjungi Derra tiba-tiba menciut ketika melihat sosok laki-laki paruh baya yang tengah duduk di teras sambil membaca koran.

Antara setengah niat dan ragu akhirnya Arsha memantapkan hatinya untuk ke rumah itu. Ia akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan kepada Derra.

"Assamualaikum," sapa Arsha dengan hati dan detak jantung seperti habis lari mengelilingi lapangan.

Raut wajah yang  tersembunyi di balik koran muncul membuat tubuh Arsha semakin tegang.

"Waalaikumsalam."

Papah Derra menurunkan koran yang ia baca kemudian menatap tamu yang datang.

"Silakan duduk. Kedatangan saudara ke sini dalam rangka apa ya?" sahut papah dengan bingung.  Perasaanya langsung panik ketika kedatangan tamu dengan  berpakaian dinas seperti ini.

"Saya Arsha, hendak bertemu dengan Elsa," sahut  Arsha sesopan mungkin.

"Arsha," sahut papah sambil mengangguk dan mengingat satu nama yang disebutkan istrinya tadi.

"Kamu Arsha yang sudah membuat putri saya kakinya sakit?"

Suara Papah berubah meninggi sambil terus menatap pemuda yang tengah menunduk dan tak berani menatap ke arahnya.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro