🌸🌻Renjana🌸🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kadang rindu memang harus dibiarkan menjadi rahasia saja. Bukan untuk disampaikan tetapi hanya dikirimkan lewat doa saja.

****
Last Memory by Galuch Fema



Happy reading, jangan lupa vote.

Waktu seakan  berhenti berputar, enggan berjalan di situasi seperti ini. Keringat dingin membanjiri wajah tegang yang sedang berhadapan dengan pria paruh baya yang terus menatap ke arahnya.

"Maafkan saya, Pak."

Sepertinya Papah Derra tak cukup puas dengan permintaan maaf tentara itu. Terlihat dari garis di wajahnya yang belum mengendur alias masih tegang.

Arsha menatap sekilas kemudian memilih menunduk lagi.

"Saya tahu mungkin bapak tidak bisa memaafkan kelakuan saya terhadap Derra," gumam Arsha lirih.

"Nah, itu tahu!"

Suara barusan membuat Arsha lebih menegang. Baru pertama kali berurusan dengan orang tua cewek malah berakhir seperti ini.

"Derra—putri tunggal saya. Selama ini sebagai orang tua, kami tak pernah membuat dia susah atau menderita. Apapun kemauan dia, pasti kami akan  berikan dan penuhi. Kamu itu siapa? Baru kenal sudah membuat dia terluka dan menderita," ucap Papah dengan sinis.

Wajah Arsha serasa mendapat tamparan dari ucapan tersebut.

"Pasti ada alasan  lain kamu melakukan seperti itu?" imbuh Papah merasa belum puas atas perilaku Arsha.

"Sa-saya cuma ingin mengetes Derra saja. Apakah dia masih mau bertahan di posisi saya paling sulit sekalipun."

"Derra itu gadis modern pada umumnya. Jangan kamu tes dia dengan cara-cara militer seperti yang kamu lakukan saat tugas!"

Suasana semakin mencekam, detak jantung sudah tak bisa dikondisikan lagi untuk berdenyut seperti semula.

"Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan."

"Telat, putri saya sudah  berobat tadi pagi. Kenapa baru datang sekarang?" sindir pria paruh baya tersebut.

"Saya baru pulang dinas, Pak. Tahu Derra seperti ini juga dari sahabat Derra saat saya hendak menjemput Derra di kantor."

Arsha menghirup napas dalam-dalam. Ternyata melunakkan hati komandan jauh lebih mudah dibandingkan dengan ornag tua ini.

"Pulanglah," ucap Papah dengan nada sedikit mengusir.

"Sa-saya ingin bertemu dengan Derra sebentar saja."

"Tidak  bisa, Derra sedang istirahat."

Wanita paruh baya datang bergabung di teras dengan senyum ramah.

"Derra sedang di taman samping. Temuilah."

Sepeti mendapat angin segar, wajah Arsha langsung berseri. Walaupun sebenarnya ia mendengar dengus kesal papah Derra kepada Mamah yang sudah memberikan izin.

"Terima kasih."

Tanpa menunggu lagi atau Papah Derra berubah pikiran, Arsha langsung bergerak cepat menuju tempat yang sudah ditunjukkan. Ia menapaki batu alam yang ditata di atas rumput samping halaman rumah. Merogoh ponsel di saku yang sedari tadi panggilan terhubung sejak berada di rumah ini. Ia menempelkan di telinganya.

"Sialan kamu!" bisik Arsha langsung mematikan karena jawaban di seberang hanya suara tawa yang meledek.

Arsha kembali melangkah. Dua meter di depan sudah ada perempuan yang tengah duduk di atas ayunan yang bergerak pelan. Dengan gugup dan rasa bersalah yang teramat sangat, Arsha berjalan mengendap agar Derra tak pergi ketika dirinya mendekat.

Pikiran Arsha ternyata salah, ia melihat perempuan yang memakai piyama panjang tengah melamun. Kepalanya ia sandarkan pada besi ayunan di samping. Wajahnya terlihat berbeda karena kali ini tak ada kosmetik yang menempel di wajah mulusnya. Bibir yang tak memakai perona juga terlihat tetap berwarna merah alami.

Sepertinya Derra belum menyadari kehadiran Arsha yang sudah ada di dekatnya. Sore ini ia memakai piyama biasa dengan kerudung pashmina yang ia lilitkan asal di leher.

Pandangan Arsha tertuju pada kaki kanan yang terdapat perban elastis berwarna cokelat. Rasa bersalah semakin terasa di hati Arsha. Gadis yang menjadi korbannya adalah gadis manja anak Papah.

"Sa?"

Derra terperanjat kaget melihat siapa yang datang, tangannya langsung merapikan kerudung di bagian leher takut terlihat orang di depannya. Ia hanya menatap sekilas Arsha kemudian kembali lagi menyandarkan kembali kepalanya pada besi ayunan.

Derra bisa merasakan jika Arsha ikut duduk di sampingnya apalagi laju ayunan sekarang semakin berat karena yang duduk sekarang dua orang.

"Aku minta maaf," ucap Arsha setengah  berbisik.

Derra diam saja tak memedulikan, pandangan tetap tertuju pada aliran air di kolam di depan.

"Sa, aku minta maaf."

Suara Arsha naik sedikit agar gadis di samping mendengar tetapi hanya tatapan sekilas saja kemudian Derra kembali pada posisinya.

Arsha semakin bingung situasi didiamkan cewek seperti ini. Yang ia tahu baca dari google, tips  melunakkan hati perempuan bukan trik menghadapi perang dingin seperti ini.

"Ah, bodo amat," pikirnya dalam hati.

Ia meraih ponsel dan kemudian mengetik tips mengatasi perang dingin. Beberapa artikel langsung bermunculan  di sana, dengan gerakan cepat ia membaca satu persatu,  wajah Arsha langsung kembali cerah.

Ia melupakan sesuatu yang sudah ia siapkan di balik jaket dinasnya. Gara-gara semburan papah gadis di samping hampir saja melupakan  sesuatu. Dengan cepat membuka bungkus dan mengarahkan di depan wajah Derra.

Kepala Derra seketika langsung ke belakang, dalam hatinya sebenarnya kesal. Entah mengapa cowok ini kalau menunjukkan  apa-apa selalu dekat banget dengan wajahnya. Kemarin pipi sampai tergores kotak susu. Hampir saja barusan cokelat itu mau mencolok matanya.

Dengan kasar, Derra mengambil cokelat itu dan memakannya sampai habis daripada mata yang jadi korban.

"Mau aku belikan lagi?" tanya Arsha menyadari cokelat itu sudsh habis dimakan.

Gelengan lemah dari kepala Derra tetapi suara sama sekali belum keluar.

"Aku akan  bertangung jawab."

Derra tersentak kaget, mendengar kata tanggung jawab membuat ia merinding karena dalam kedua kata itu terkandung makna yang sangat dalam.

"Tanggung jawab apa?"

Mata Derra mendelik, menggeser tubuhnya agar lengan mereka tak bersentuhan walaupun kenyataannya menggeser tubuhnya membuat kaki di sana sangat sakit.

"Sudah membuatmu seperti ini."

"Huft, aku kira apa," keluh Derra mengembus napas lega.

"Baru menyesal sekarang kan? Setelah aku terkilir begini?" sambung Derra merasa kesal. Sepertinya kalau cuma memarahi saja tak akan sebanding dengan kejahilan Arsha kemarin.

"Mau periksa lagi ke orthopedi untuk pemeriksaan lebih detail?" tawar Arsha sambil terus melihat ke samping. Derra tampak sibuk menutup kerudung yang tertiup angin.

"Tidak perlu. Besok juga baikan. Aku sudah ditagih pekerjaan  sama Bayu?"

"Apa besok aku harus minta izin langsung sama pemilik perusahaan agar kamu diberikan cuti sehari lagi?"

Derra tersenyum seraya berucap, "Sok kenal saja."

Arsha menggaruk kepala memamerkan kebodohannya.

"Sa, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu?" Wajah Arsha kembali tegang sama seperti tadi saat berhadapan dengan orang tua Derra.

"Ada apa?"

Derra semakin penasaran, apalagi sekarang Arsha menghentikan laju ayunan yang sedari tadi berayun pelan.

"Kamu betul tak ingat aku sama sekali?"

Derra mengernyitkan keningnya kemudian menggeleng lemah.

"Apa kamu lupa? Atau jangan-jangan amnesia? Pernah jatuh karena kecelakaan?"

Arsha memberondong dengan beberapa pertanyaan.

"Aku pernah jatuh dari motor. Sampai sekarang masih trauma untuk naik motor."

"Luka?" serobot Arsha semakin menemukan teka-teki yang selama ini mengganggu pikirannya.

Tangan Derra sedikit menyingkap kerudung di yang menutupi keningnya. Ada bekas luka jahitan yang sudah tak begitu jelas di sana.

"Kapan Elsa jatuh? Apa saat aku tugas di Libanon?" Hati Arsha terus bertanya-tanya.

"Masa iya aku amnesia?" protes Derra tak paham tuduhan Arsa.

"Kita pikirkan besok saja. Masuk yuk, sebentar lagi mau hujan."

Arsha turun dari ayunan. Ia memegang besi di sana agar berhenti bergerak agar Derra bisa turun tanpa terjatuh.

Sepertinya kaki Derra sakit untuk digerakkan mengingat ayunan dengan tanah berjarak sekitar dua puluh centian. Tangan kanan terus memegang besi di samping dengan bibir terangkat menahan nyeri kaki.

"Mau aku bantuin?" tawar Arsha mengerti kesulitan Derra.

"Sepertinya kakiku kebas, kelamaan duduk di sini."

"Oke, aku bantuin ya? Kamu pegang tangan aku."

Arsha menjulurkan kedua tangan untuk menjadi tumpuan saat Derra turun di atas rerumputan.
Dengan ragu, gadis itu hendak meraih tangan kejar di depan sebelum suara lantang meneriaki mereka.

"JANGAN AMBIL KESEMPATAN MEMEGANG PUTRI SAYA!"


Sepagi ini Arsha sudah berada di pinggir jalan raya depan rumah Derra. Padahal mata ini sudah menuntut untuk meminta dipejamkan karena baru pulang  tugas dinas malam. Jika bukan karena ancaman Papah Derra ia tak akan berada di sini sepagi ini pula.

Ada rasa kembali bergidik ngeri membayangkan tatapan tajam laki-laki paruh baya tersebut saat kemarin. Ia seperti duduk di kursi pengadilan menerima eksekusi hukuman yang akan ia terima.

Ketukan pelan pintu depan membuat pemilik rumah keluar sambil tersenyum ramah. Hati Arsha sedikit lega karena yang membuka pintu bukan kemarin.

"Tante, Derra sudah mau  berangkat?" sapa Arsha canggung sambil melihat ke sekeliling. Bukan Derra yang ia cari tetapi laki-laki yang kemarin menghardiknya dikira mau menyentuh padahal hanya ingin membantu saja saat menuruni ayunan.

"Sebentar Tante panggilkan."

Baru juga berbalik arah, Derra sudah berjalan pelan dengan sepatu di tangannya. Ia mencoba duduk di kursi tamu sambil menatap Arsha yang sudah  berjanji akan mengantar berangkat kerja.

"Masih belum kapok memakai sepatu seperti itu?" sindir Arsha melihat apa yang hendak dipakai oleh Derra. Senyum manis gadis di depan membuat Arsha langsung bergegas pergi begitu saja.

Derra terpaksa menyibak tirai di belakangnya, memastikan tentara itu pergi begitu saja atau tidak. Dia menepati janjinya karena datang lagi ke ruangan ini dengan sebuah kotak di tangannya. Berjongkok di depan Derra sambil membuka kotak tersebut.

Sepasang sepatu flat shoes warna cokelat susu tengah ia pamerkan kepada Derra. Netra gadis itu mengamati sepatu di hadapannya dan ia tak suka dengan sepatu alas rata seperti itu.

"Aku tak suka sepatu seperti itu."

Nada bicara Derra terdengar jelas jika benda di depan bukan  keinginannya.

"Pakai saja dulu, sebelum kamu sembuh total."

"Seperti anak kampus saja sepatu seperti itu."

"Jangan banyak omong, cepat pakai," paksa Arsha sambil terus menyodorkan sepatu di depan kaki Derra yang tertutup kaos kaki. Mau tak mau dan malas debat, akhirnya dengan terpaksa Derra memakai sepatu yang ukurannya terasa pas di kakinya. Toh untuk hari ini saja, besok pasti bisa memakai sepatu favoritnya.

"Sengaja beli atau—"

"Sepatu bekas mantan aku," jawab Arsha sambil mengulum senyum.

Derra langsung melepas kembali dengan wajah yang cemberut dan menyingkirkan sepatu itu agar jauh darinya.

"Aku tak mau pakai!"

Arsha kembali lagi menyodorkan sambil berucap, " Kamu percaya kalau aku punya mantan? Perempuan satu-satunya yang aku kenal itu cuma kamu."

Derra masih tak percaya dan enggan memakai kembali.

"Nih, aku baru beli kemarin."

Arsha menyodorkan nota pembelanjaan sepatu tersebut. Dengan menahan malu, Derra langsung memakainya.

"Ayo berangkat keburu telat. Papah kamu?"

"Sudah kembali berangkat dinas."

"Akhirnya," bisik lirih Arsha sambil mengusap dada.

"Kenapa?" tanya Derra curiga. Ia melangkah menuju depan sementara dengan sigap laki-laki itu membawa tas kerja miliknya.

"Enggak, ayo  berangkat."

Arsha semakin salah tingkah, ia bergegas berjalan di belakang Derra yang tampak berjalan sangat pelan.

"Motor mana?"

Derra celingukan mencari motor yang biasa dipakai Arsha.

"Naik mobil saja dulu. Kondisi kaki kamu masih seperti ini."

Pintu mobil bagian pengemudi terbuka, Arsha menyuruh Derra untuk segera masuk.

"Mobil siapa?" desak penuh penasaran.

"Rental."

Mobil mulai melaju keluar dari kompleks perumahan Derra tinggal.

Wajah Derra kembali gondok karena melihat sesuatu di depannya.

"Yakin rental?" Jari Derra menunjuk sebuah kartu identitas laki-laki di samping yang tergeletak begitu saja di atas dashboard.

"Eh, maaf."

Lagi-lagi dia ketahuan berbohong. Apalagi raut wajah Derra semakin ditekuk.

"Kenapa kamu terus berbohong?"

"Maaf. Namun, untuk urusan hati dan perasaan aku tak pernah berbohong. Jika aku suka sama kamu ya tetep suka, tidak akan ada yang bisa mengubahnya."

Bibir Derra sedikit terangkat karena pagi-pagi sudah sarapan gombalan dari satu-satunya laki-laki yang berani bertatap muka dengan papahnya.

Sayangnya, mereka tak mengetahui jika ada sebuah mobil yang sudah mengintai mereka dari jauh. Laki-laki yang memegang kemudinya hanya bisa tersenyum sambil memikirkan ide untuk pertemuan selanjutnya.


Ada yang mau tebak-tebakkan tidak? Siapa yang jawabannya mendekati sempurna nanti dapat pulsa. Pengumuman pemenang saat part selanjutnya publish yaaa


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro