22 | Peresmian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rencana Ratna gagal total. Dia harus mengakui bahwa Cakra adalah negosiator yang pandai. Cakra berhasil menahan Ratna untuk tinggal di rumahnya lebih dari tiga hari. Ratna yang awalnya mau menyewa satu unit di perumahan yang sama pun mulai melupakan agendanya. Alhasil, sudah hampir dua minggu Ratna tinggal bersama Cakra dan Raga.

Tanpa terasa Ratna mengikuti gaya hidup Cakra. Dia mulai terbiasa bangun lebih pagi untuk membantu Cakra menyiapkan sarapan. Setelah itu, mereka akan berangkat bersama ke kantor. Terkadang mereka juga pulang bareng, jika Cakra sedang tidak memiliki jadwal kerja padat. Namun, Ratna lebih sering pulang duluan. Ratna beralasan akan menjemput Raga tepat waktu di rumah Citra sebelum Arya pulang kantor.

Raga mendapat keuntungan dari hal itu. Dia mendapat teman bermain baru. Tak jarang Raga meminta bantuan Ratna untuk menemaninya belajar.

Jam kerja Ratna setelah menjadi pegawai kantoran biasa memang jarang sekali menyeleweng. Beda sekali dengan saat masih menjadi pengacara. Itulah yang membuat Ratna bisa tiba di rumah lebih dulu daripada Cakra. Tak pernah sekalipun terjadi hal sebaliknya.

Akan tetapi, malam ini berbeda. Ratna bilang dia akan pulang terlambat karena ada acara makan malam kantor. Cakra menunggui Raga belajar sambil sesekali memandangi jam dinding. Ratna tak kunjung pulang, meskipun Cakra telah mengantar putranya naik ke tempat tidur tepat pukul sembilan.

"Ratna mana, sih?" Cakra menggerutu sendiri. Rasa khawatir melanda. Cakra berusaha menghubungi nomor teleponnya, tetapi tak kunjung tersambung.

Sekitar pukul setengah sepuluh, Cakra mendengar suara mesin mobil berhenti di depan rumahnya. Cakra bergegas melongok. Dia melihat Ratna serta seorang laki-laki asing keluar dari taksi. Cakra buru-buru membuka pintu saat melihat cara jalan Ratna yang tak imbang, sampai harus dipapah.

"Biar saya saja," kata Cakra sambil menyampirkan lengan Ratna di bahunya sendiri. Dia gantian memapah Ratna menuju kursi teras.

Di bawah cahaya lampu, Cakra baru mengenali laki-laki yang ikut mengantar Ratna pulang. Dia adalah rekan kerja Ratna, yang pernah menumpahkan kopi di baju Ratna dulu. Seketika Cakra memasang wajah garang.

"Kaki kamu kenapa?" Cakra bertanya pada Ratna, tetapi tatapannya terus terarah pada pria berambut cepak.

"Tadi keserempet motor."

Sontak Cakra menoleh pada Ratna. "Kok, bisa? Sudah ke rumah sakit? Coba aku lihat!"

"Cak!" Ratna mengibaskan tangan supaya Cakra tak bersikap berlebihan. Wanita itu balik tersenyum kikuk pada rekan kerjanya. "Andre, makasih sudah mengantar. Kamu pulang aja, nanti kemalaman."

Pria bernama Andre itu tidak berlama-lama. Dia hanya berpamitan pada Ratna. Cakra terlalu seram untuk dimintai izin. Hingga Andre pergi dari pelataran rumah, Cakra sama sekali tak melepaskan atensinya dari pergelangan kaki Ratna.

"Astaga, Cakra!" Ratna menepuk bahu Cakra yang berjongkok supaya mundur. "Kamu ngapain, sih? Ini masih di teras, lho!"

Cakra menyengir. Dia lupa tempat. Saking khawatirnya, hampir saja Cakra ingin menggulung celana Ratna hingga betis untuk melihat luka.

"Minggir!" usir Ratna.

Ratna bangkit dan berjalan sendiri meski tertatih-tatih. Dia menolak bantuan Cakra. Ratna kesal karena Cakra bersikap berlebihan pada Andre, padahal Andre telah berbaik hati mengantar Ratna pulang.

Begitu balik badan mau menutup pintu kamar, Ratna memekik, "Kamu kenapa ikut masuk kamarku?"

"Nanti aja ngambeknya. Aku mau lihat luka kamu dulu," kata Cakra sambil menunjuk pinggiran dipan. "Duduk situ!"

Ratna bergeming, Cakra pun turun tangan. Dengan lembut Cakra menekan kedua bahu wanita itu supaya duduk. Dia sendiri memilih duduk melantai dan menggulung celana Ratna perlahan-lahan. Cakra meringis, walaupun Ratna-lah yang sebenarnya memiliki lebam.

"Lebay, deh!" Ratna mulai luluh. Raut mukanya tidak segarang tadi. "Itu cuma luka lecet. Kayaknya aku juga nggak terkilir terlalu parah."

"Aku bebat, ya?" Cakra mendongak untuk melihat muka Ratna. "Dulu kaki Raga pernah cedera karena latihan taekwondo. Kata dokter, harus rutin dibebat biar bengkaknya cepat hilang."

Cakra memaksa dan Ratna tidak bisa mengelak. Wanita itu sabar menunggui Cakra yang pergi ke luar kamar untuk mengambil peralatan. Ratna takjub melihat kelengkapan di dalam kotak obat. Ternyata memang benar, kalau sudah punya anak, sebagai orang tua harus siaga.

"Bagaimana ceritanya sampai kamu bisa keserempet motor?" Cakra bertanya sambil membersihkan luka. Dia letakkan kaki Ratna di atas lututnya supaya lebih mudah mengobati.

"Tadi aku lagi nunggu taksi di pinggir jalan setelah acara makan malam. Tiba-tiba aja ada motor oleng dan kena kaki aku. Jadi, yah, luka begini. Untung masih ada Andre. Dia nolongin pemotornya yang sempat jatuh, juga antar aku pulang."

"Kamu bisa telepon aku, Na," kata Cakra dengan nada terluka. Tatapannya seperti seekor anjing yang baru saja mendapat pengkhianat karena si pemilik punya peliharaan baru.

Ratna tak bisa menahan diri untuk mengusap kepala Cakra yang berada lebih rendah darinya. Rasa kesal Ratna benar-benar menguap bila Cakra menyodori sisi imutnya begini.

"Aku nggak mau buat kamu kebingungan memilih antara aku dan Raga. Nanti kayak kasus dulu itu, yang aku mabuk di klub." Ratna menarik tangan ke pangkuan. "Terima kasih, ya, sudah perhatian sejauh itu."

"Bukannya itu tugas pasangan? Nggak salah, kan, kalau aku khawatir dan perhatian?" Karena tak bisa menjangkau kening atau pipi, Cakra menanamkan kecupan di lutut Ratna. "Nggak usah kebanyakan bilang makasih. Aku nggak kayak Andre yang statusnya adalah orang asing."

"Kamu cemburu sama Andre?"

Cakra mengangguk. Namun, dia tetap menunduk sembari membebat pergelangan kaki Ratna. Cakra sungkan mengakui.

"Kenapa diam?" Cakra mendongak dan menemukan Ratna tengah tersenyum. "Kamu nggak percaya kalau aku cemburu?"

"Percaya, kok, kelihatan," balas Ratna yang sedari tadi asyik menikmati raut kesal Cakra. "Cuma … apakah cemburu boleh ada di dalam hubungan kita ini?"

"Kalau kamu lihat aku dekat sama cewek lain, memang nggak cemburu?"

"Nggak tahu." Ratna mengangkat bahu. "Aku belum pernah lihat, jadi belum pernah merasakan."

Cakra mendesah kecewa. Dia menumpukan dagu di lutut Ratna, sambil menatapnya. "Kamu mau sampai kapan menganggap hubungan ini sebagai coba-coba?"

Ratna tidak munafik. Perhatian Cakra terlalu melenakan untuk dia abaikan begitu saja. Ratna tidak bisa menghitung kebaikan apa saja yang telah Cakra berikan padanya sejauh ini.

"Sampai hari ini?" Ratna memiringkan kepala. Senyumnya belum hilang. "You fell for me first. You fell for me harder. Aku nggak boleh selama-lamanya membutakan diri, kan?"

Cakra menegakkan punggung. Senyumnya menjalar hingga ke mata. "Kalau gitu, mau bikin hubungan kita official?"

"Pacaran dulu aja. Pelan-pelan."

Cakra mengangguk semangat. Dia pindah tempat duduk jadi ke sebelah Ratna. Tanpa keraguan Cakra mendekap tubuh Ratna. 

Perasaan pria itu melimpah ruah. Akhirnya Ratna mengakui perasaan Cakra dan mau membalasnya. Bagaimana bisa Cakra tak senang? Selangkah demi selangkah mampu Cakra lewati. Dia akan bersabar untuk Ratna.

Namun, Cakra melupakan hal penting. Gangguan pesan tanpa nama masih memenuhi kotak memori ponsel Ratna. Ancaman belum benar-benar selesai. Dengan melibatkan diri sejauh ini, seharusnya Cakra siap menerima konsekuensi untuk ikut berada di dalam bahaya.

***

Tinggalkan jejak berupa like dan komen yuk! Penulis bakalan senang, lho 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro