23 | Efek Samping

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cakra, Ratna, dan Raga akan makan malam di kediaman Citra. Cakra memasak kepiting saus padang, ikan bakar, dan sate kerang. Karena ini hari spesial kakak kesayangan, Cakra bersedia repot memasak banyak menu kesukaan Citra. Pukul setengah tujuh, rombongan Cakra berduyun-duyun menuju rumah seberang membawa kotak makan isi lauk-pauk.

Perayaan ulang tahun Citra tidak dirayakan dengan kue dan acara tiup lilin. Citra memintanya sendiri. Katanya, dia sadar umur. Citra juga tidak suka jadi pusat perhatian. Maka dari itu, suasana di meja makan tidak ada bedanya dengan hari biasa, kecuali menu pilihan lauknya.

Citra dan Ratna menata piring-piring sedemikian rupa. Cakra bertugas memanaskan makanan. Di sisi lain, Arya tengah mengasuh putri kecilnya. Ketika semua persiapan selesai, orang-orang mulai berkumpul di meja makan. Citra dan Arya duduk mengapit Lintang di sisi meja bagian kiri, sedangkan Ratna, Raga, dan Cakra duduk di sisi meja yang berseberangan.

"Selamat ulang tahun, ya, Budhe. Selamat tambah tua!"

Kalimat Raga menyegarkan suasana di meja makan. Orang-orang dewasa tergelak. Lintang yang tengah memukul-mukul cangkang kepiting menggunakan sendok kecilnya tertawa belakangan.

"Pasti diajarin Cakra, nih!" tuduh Citra. Wanita itu menggeleng kecil, lantas mengerling pada Ratna. "Ajarin Cakra, tuh, Na! Bilangin, haram hukumnya bahas usia dan berat badan cewek."

"Aku nggak sepicik itu, ya, Mbak. Raga belajar sendiri."

"Kalau ulang tahun, bukannya memang tambah tua?" Raga yang polos malah ikut nimbrung dalam candaan orang tua. "Aku mau, lho, tambah tua."

"Biar apa?" Ratna yang duduk di samping Raga menanggapi.

"Biar aku bisa kayak Ayah," sahutnya bangga. "Orang yang sudah tua itu keren. Ayah kerja membela keadilan, kayak superhero."

Setelah mendapat pujian seperti itu, Cakra tertawa. Dia mengelus rambut Raga. Sejujurnya, Cakra tidak merasakan efek heroik berlebihan dari pekerjaannya. Namun, Cakra tak memungkiri bahwa dia tersanjung ketika putranya sendiri yang berkata demikian.

"Oh ya, sebentar lagi Raga ulang tahun, kan?" Citra menoleh pada Cakra seakan meminta konfirmasi kebenaran. "Tanggal lahir Raga nggak jauh sama Budhe, lho."

"Memang iya, Yah?" Raga ikut-ikutan melihat Cakra.

"Iya." Cakra menarik tisu dan membersihkan bibirnya, kemudian kembali bicara pada sang putra. "Raga mau minta hadiah ulang tahun apa?"

Raga berhenti mengunyah. Bocah itu berpikir sambil memicingkan mata, seolah-olah jawaban dari pertanyaan barusan sangatlah susah. Kedua belah tangan Raga saling menepuk setelah semenit berlalu.

"Aku mau ibu."

Sahutan Raga bagaikan genderang ribut yang membuat ayahnya kalang kabut. Tiga kata yang terlontar dalam cara bicara kekanakan menyerang telak ego Cakra. Cakra benar-benar terkejut. Tak terkecuali orang-orang dewasa di meja makan itu.

"Ayah pernah bilang aku punya ibu di tempat yang jauh. Tapi, aku, kan, anak baik. Ayah cukup cari ibu di tempat yang dekat-dekat aja, biar mudah."

Tawa Cakra sangat sumbang. Dia kikuk menimpali, "Cari ibu di tempat yang dekat juga nggak mudah, Raga."

"Gitu, ya?" Raga mengedip-ngedipkan mata. "Tapi, Ikal bisa dapat ibu baru. Bagaimana caranya, tuh, Yah?"

Kalau bisa, Cakra juga ingin menanyakan hal serupa. Pasalnya, dia tak punya jawaban.

"Raga mintanya pakai doa." Ratna turun tangan membantu Cakra yang kebingungan.

"Oh, ternyata bukan minta ke Ayah." Raga kembali mengambil tusuk sate dari piring saji. Santai sekali. Dia mendongak menatap Cakra yang tengah melihat Ratna. "Pantas Ayah kayaknya bingung."

Cakra tersenyum simpul sembari mengusap lembut rambut Raga. Dia menyuruh putranya melanjutkan makan. Diam-diam Cakra memberi tatapan penuh arti pada Ratna, sebelum kembali mengangkat sendok dan garpu.

***

"Ini piring terakhir? Kalau gitu, kamu bantu Mbak lap piring-piring di rak," kata Citra berusaha menahan adiknya di dapur.

Untungnya, Cakra menurut tanpa banyak alasan. Kakak beradik itu bahu-membahu membereskan peralatan makan, sementara pasangan mereka masing-masing sedang mengantar anak-anak tidur. Ratna dan Raga sudah lebih dulu pulang.

"Bagaimana hubunganmu sama Ratna?"

Cakra sudah menduga. Kakaknya pasti akan membahas sesuatu setelah mendengar balasan Ratna atas pertanyaan Raga saat makan malam tadi.

"Baik, Mbak," balas Cakra.

"Kamu bikin masalah sama Ratna? Masih belum ada kejelasan kapan kalian mau lanjut ke tahap berikutnya?" tanya Citra penasaran.

Cakra hampir lupa bahwa sejak awal kakaknya menangkap informasi yang salah. Citra tahunya Cakra dan Ratna akan bertunangan, padahal kenyataannya Cakra dan Ratna memulai hubungan dari tahap minus satu, alias dari masa percobaan. Tentu perjalanan mereka terasa lebih panjang.

"Ratna baru bercerai, Mbak. Tolong kasih dia waktu," balas Cakra.

"Mbak bukannya mau memburu-buru. Tapi, nggak bagus juga kalau kalian terlalu lama tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Mbak masih belum ngomong apa-apa sama mama dan papa. Kalau tahu, kayaknya mereka bakal sport jantung."

Cakra mendesah pelan. Sesungguhnya, dia tidak merasa ada yang salah dengan hal itu. Cakra bisa menahan hasratnya untuk tidak menyentuh Ratna selama ini. Sejak tinggal bersama, mereka bahkan tak pernah berciuman lagi.

Pada akhirnya, Cakra tak bisa menjanjikan apa pun pada Citra. Dia tidak ingin terlalu menekan Ratna, terlebih mereka baru berusaha saling mengenal selama satu bulan. Salah-salah, Ratna malah tak nyaman. Dia tidak ingin Ratna buru-buru keluar dari rumahnya.

"Sudah pulang?" sapa Ratna yang sedang menuruni tangga saat Cakra menutup pintu depan. "Raga barusan tidur. Jangan berisik, ya!"

"Na," Cakra menahan pergelangan tangan kekasihnya sebelum beralih masuk ke kamar, "malam ini mau pacaran? Movie date?"

Ratna menepuk punggung tangan Cakra. Dia bisa melihat kekalutan menghiasi wajah pria itu. Cakra sedang butuh hiburan. Ratna pun menyanggupi. Selagi Cakra membersihkan diri, Ratna menata ruang TV menjadi tempat kencan yang apik.

"Ini film tentang apa?" Cakra menjatuhkan diri di sofa. Dia menarik bahu Ratna supaya mendekat.

"Tentang pernikahan kontrak warga sipil sama tentara," kata Ratna menjelaskan. Dia menyetel volume suara agar tidak terlalu keras. "Aku asal milih, sih, soalnya kamu nggak ada permintaan. Di Netflix, ini lagi trending."

Cakra tidak mengeluh. Tujuan utamanya bukanlah menonton, tetapi menikmati waktu bersama Ratna. Setelah kena ceramah kakaknya, yang akhirnya bikin pikiran ke mana-mana, Cakra kelelahan.

Ratna asyik menonton sambil bersandar di bahu Cakra. Namun, jalan cerita tersebut tidak cukup memuaskan Cakra. Alih-alih menyaksikan film, Cakra justru asyik memintal rambut Ratna main-main. Cakra baru tertarik ketika muncul adegan ranjang di layar televisi.

Cakra merutuk dalam hati, bisa-bisanya dia panas dingin cuma karena adegan saling mencium sambil meremas. Darahnya berdesir ke satu area di perut bawah. Setelah mengingat kapan terakhir kali mengeluarkan mani, Cakra segera tersadar. Untuk laki-laki muda yang masih bugar, seminggu adalah waktu yang terlalu lama untuk menahan diri.

"Na, angkat kepala, dong!" Cakra mendorong Ratna supaya tidak bersandar di bahunya. Cakra khawatir tidak bisa mengontrol diri.

Ratna merasa terganggu. Matanya meninggalkan layar televisi untuk menatap Cakra. "Kenapa?"

Cakra menggeleng. Dia menyuruh Ratna menikmati film. Namun, Ratna menyadari bagaimana pria itu berusaha menutupi area selangkangan dengan bantal sofa. Kegelisahan menyelimutinya.

"Kamu terangsang?" tanya Ratna berhati-hati. Matanya berhenti berkedip melihat warna merah menjalari wajah Cakra hingga batas leher.

"Kamu lanjut nonton aja. Aku pamit ke kamar duluan."

Ratna benar-benar bingung, sekaligus malu. Selama ini dia hanya pernah berhubungan badan dengan mantan suaminya. Saat itu Ratna menjadi pihak pasif. Jadi, Ratna tak tahu harus berbuat apa ketika seorang pria tengah terangsang. Bermanja-manja dan bermanis-manis ria sama sekali tidak ada di agenda pada beberapa tahun terakhir Ratna menjabat sebagai istri.

Ratna dan Cakra tidak memiliki hubungan seperti itu. Namun, mereka pernah berciuman sebelumnya. Jujur saja, Ratna menikmati. Untuk tidur bersama rasanya agak salah, tetapi Ratna tak mau kesempatan langka ini berlalu begitu saja.

"Bukannya kamu yang mau pacaran?" Ratna agak gagu saat menahan Cakra dengan pertanyaan. 

Usaha Cakra untuk melindungi justru membuat Ratna lebih berani. Terlebih, Ratna pernah berjanji pada diri sendiri untuk memahami Cakra. Ratna seakan ikut terbakar oleh gairah kekasihnya.

Cakra menyipitkan mata. Dia agak tak percaya dengan Ratna yang membiarkan Cakra berada di sebelahnya meski tahu bisa meledak sewaktu-waktu. 

"Seriusan nggak apa-apa?" tanya Cakra ragu.

Ratna mengangguk sembari menggigit bibir bawah. "Tapi, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Maksudku, ini pertama kalinya kita bakal having sex. Aku nggak tahu kamu sukanya seperti apa."

Cakra terbatuk-batuk. Demi apa pun, Ratna sungguh mengejutkan. Ratna terdengar seperti menawarkan diri. Ketidaktahuan Ratna bagaikan minyak yang membuat kobaran Cakra membesar. Sisi dominan Cakra menggebu-gebu ingin menguasai keseluruhan tubuh Ratna.

"Kita mulai dari yang paling dasar," kata Cakra. Suaranya memberat, tatapannya menggelap. Dia menyingkirkan bantal dari pangkuan dan bergerak mendekati Ratna. "Sisanya biar tubuh kita yang bicara."

***

Selamat datang pembaca baru! 👋🏻

Nggak usah malu-malu. Buatlah lapak ini ramai dengan vote dan komentar. Aku suka lihat notifku jebol 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro