Chapter 4 Laki-Laki Korindo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak tahu harus mengawali percakapan bagaimana, Enha asal berceletuk begitu saja. "Hai. Kakak ipar sudah pulang. Bagaimana perjalanannya?"

Suami Jiha terkekeh terlebih dulu, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan adik iparnya itu. "Aku pasti ceritakan semua soal perjalananku, tapi sebelum itu aku ingin mengenalkan kamu kepada seseorang."

"Dia benar-benar asli datang dari Korea, Enha. Dia oppa sungguhan." Jiha tiba-tiba ikut menyahut.

Suami Jiha lantas menyanggah sekaligus meralat perkataan sang istri. "Dia bukan oppa. Usianya saja bahkan satu tahun lebih muda dari Enha. Mana bisa dia dipanggil oppa."

Enha mengalihkan pandangan mata ke arah sosok tamu penting yang datang bersama kakak ipar. Sosok seorang laki-laki Korindo. Laki-laki Korindo itu lantas tak menyia-nyiakan waktu untuk memperkenalkan diri secara langsung.

"Halo. Apa kabar? Senang bertemu denganmu. Namaku Seol. Hanya Seol."

Di luar dugaan, Seol mengulurkan tangan kanan berniat ingin berjabat tangan dengan Enha. Enha meraih uluran tangan tersebut, lalu menjabatnya erat sambil berseru menyebut namanya lantang, "Aku ..., Enha."

Hampir sepersekian menit Enha dan Seol saling berjabat tangan dan seolah tak ingin lepas. Sejujurnya Enha ingin melepas jabat tangan tersebut, tapi Seol tampaknya tidak sadar karena masih menggenggam erat tangan Enha dengan begitu erat bahkan kencang. Laki-laki Korindo itu begitu kentara sekali menunjukkan ekspresi terbuai oleh pesona sosok seorang Enha.

Enha pun lantas melotot kepada kakak ipar, meminta bantuan suami kakak perempuannya untuk memberi tahu Seol. Kakak ipar yang langsung mengerti maksudnya itu, bergegas melakukan apa yang diminta Enha.

Kakak ipar merangkul bahu Seol, kemudian setengah berbisik kepada laki-laki Korindo itu. "Kendalikan dirimu, Bung! Kalau kamu langsung tancap beraksi begini, kamu bisa mengejutkan adik iparku."

Usaha kakak ipar berhasil. Seol pun tersadar dan cepat-cepat melepas jabat tangan Enha sambil berulang kali melontarkan permintaan maaf kepada perempuan itu. Entah disadari atau tidak, Enha sama sekali tidak mempermasalahkan soal itu.

"Astaga. Aku kenapa, ya? Harusnya aku mengomel bahkan marah usai diperlakukan begitu. Akan tetapi, kenapa aku justru meloloskan permintaan maafnya?" Ujung-ujungnya Enha jadi gerundel dalam hati.

Apa semuanya itu dipicu oleh rasa sensasi aneh yang menjalari sekujur tubuh Enha? Sewaktu Enha dan Seol saling berjabat tangan, sensasi aneh mirip tersengat aliran listrik dirasakan oleh sekujur tubuh Enha. Enha sama sekali tak mengerti apa maksudnya itu. Ketika perempuan itu larut dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba Enha menjadi tersentak kaget.

Suara kakak iparnya benar-benar sangat lantang sewaktu berseru mengeluhkan sesuatu. "Bagaimana kalau kita makan malam sekarang? Aku lapar."

Seol tak kuat menahan tawa gelinya ketika melihat tingkah polah kakak ipar Enha yang bergerak mengelus perut buncit. Seol pun turut ikut berani menyahuti. "Apa kalian tahu? Selama dalam perjalanan dia terus mengeluhkan perutnya yang lapar. Sopir dia bahkan sampai menawari mau mampir ke kedai makan, tapi dia menolak. Katanya dia ingin cepat pulang ke rumah agar bisa makan masakan istrinya. Wah, sungguh dia laki-laki yang keren!"

Mendengar apa yang dikatakan Seol, berhasil membuat hati Jiha berbunga-bunga. Tak luput tertinggal pula, seulas senyum merekah indah di wajah Jiha. Jiha lantas bertanya dengan gelagat centil. "Benarkah apa yang dikatakan olehnya, Sayang?"

"Tentu saja benar. Aku maunya cuma makan masakan kamu. Tidak mau sama yang lain," balas suami Jiha tak kalah mesra.

Pasangan suami istri itu lantas saling berangkulan pinggang. Mendapat tontonan romantis seperti itu tepat di depan kedua matanya, membuat perempuan itu tiba-tiba merasa mual.

"Aku yakin kamu pasti juga bisa mendapatkan perempuan yang jago masak seperti Jiha," ucap kakak ipar Enha kemudian kepada Seol.

"Benarkah?" Seol menimpali.

"Percayalah padaku! Enha pasti juga sama jago masaknya seperti Jiha," gumam kakak ipar Enha yang asal menggerakkan bibir.

"Itu tidak benar. Aku tidak punya kualifikasi macam itu. Kakak ipar jangan asal mengarang! Kumohon!" tandas Enha.

Terjadi jeda sejenak, sebelum akhirnya Enha buka suara kembali. "Yang benar saja. Ini cukup membuatku gila. Asal kalian tahu, sewaktu menikah dulu, yang selalu masak itu ...." Enha menghentikan kalimatnya tiba-tiba.

"Sudahlah! Maafkan aku," gumam perempuan itu lirih.

Wajahnya seketika memancarkan aura kesedihan yang sangat mendalam. Sama sekali tidak terpikirkan oleh Enha, dirinya akan menunjukkan sisi rapuh dan lemah tidak berdaya di hadapan seorang laki-laki Korindo saat itu.

Kondisi macam itu tetap masih berlanjut hingga makan malam berlangsung. Sementara Jiha, sang suami dan juga Seol menyantap makan malam mereka dengan lahap, Enha hanya tertunduk lesu sambil mengaduk-aduk nasi yang ada di piringnya tanpa disantap sama sekali.

Tak ada satu pun dari pasangan suami istri itu yang berani bersuara kepada Enha. Mereka takut kalau misal terlibat percakapan, ujung-ujungnya nanti menyerempet soal So, mantan suami Enha. Seol yang sebelum beranjak ke ruang makan sudah diperingatkan untuk tidak turut ikut bersuara kepada Enha, merasa tidak tahan lagi melihat Enha yang larut dalam kesedihan.

Laki-laki Korindo itu berinisiatif ingin melakukan sesuatu supaya Enha mau makan dan tidak melewatkan makan malamnya begitu saja. Seol lantas tiba-tiba minta tolong kepada Jiha untuk mengambilkan sebuah mangkok kecil karena tangannya tak mampu menggapai benda tersebut.

"Apa kamu mau tambah lagi lauknya?" tanya Jiha kemudian yang hanya direspons Seol dengan cengiran.

"Kalau begitu biar aku ambilkan lauknya untukmu!" lanjut Jiha.

"Tidak. Jangan! Tolong perbolehkan aku untuk mengambilnya sendiri!" pinta Seol usai protes.

Sendok sayur yang semula dibawa Jiha, kemudian beralih tangan kepada Seol. Seol bangkit dari kursi makan, mencondongkan tubuh sedikit untuk mengambil sepotong daging ayam bagian paha, kemudian menyiramkan kuah sup ke mangkok kecil yang sudah berada di genggaman tangan.

Laki-laki Korindo itu bergeser hendak beralih ke kursi makan lain yang berada tepat saling berseberangan dengan kursi makan yang diduduki Enha. Seol pun segera menyodorkan mangkok kecil yang berisi sepotong daging ayam bagian paha bercampur kuah tersebut, tepat di hadapan Enha.

Enha seketika menghentikan aksi mengaduk-aduk nasi, kemudian termenung menatap mangkok kecil yang ada di hadapannya, sebelum akhirnya menautkan pandangan ke arah Seol. Suasana hening pun menyergap. Semua orang yang ada di ruang makan saat itu dihinggapi rasa tegang, menanti respons apa yang akan ditunjukkan oleh Enha.

Perempuan itu merasakan sensasi aneh itu lagi. Sekujur tubuhnya serasa terkena sengatan aliran listrik ketika pandangan kedua mata perempuan itu masih saling bertaut dengan pandangan kedua mata laki-laki Korindo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro