22nd Blooming

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


22nd Blooming


"Kenapa Kak Giras tiba-tiba nanya soal itu?

Memberi pertanyaan baru saat pertanyaan sebelumnya belum terjawab bisa menjadi cara seseorang untuk menolak memberikan jawaban.

Kalau ini trik yang dipakai Daisy, akan menjadi masalah saat Giras memaksakan diri untuk tetap bertanya sampai mendapatkan jawaban.

"Soal tawaran bantuan saya waktu itu ke kamu untuk menyelidiki calon date kamu nanti. Pass yang bisa kamu pake sekarang."

Daisy masih fokus mencuci piring. Sambil mendengarkannya, tentu.

"Aku nggak perlu pass untuk minta saran ke Kak Giras." Giras tidak menyangka lagi-lagi dia menerima penolakan. "Karena aku sudah dewasa dan bisa membuat keputusan sendiri."
"Kamu masih perlu saran dari orang-orang di sekeliling kamu." Daisy berhenti menyabuni piring. Dia tampak jengah.

"Kenapa orang-orang di sekelilingku selalu berpikir aku nggak bisa membuat keputusan?"

Kenyataan yang menyebalkan.

"Jangan salah mengartikan tawaranku. Aku hanya menawarkan bantuan, bukan berarti meragukan cara kamu menghadapi suatu masalah."

Tangan Daisy kembali bergerak menyabuni piring. "Apa kehidupan pribadiku adalah sebuah masalah?"

"Jangan marah dulu."

Daisy mendongak, seraya memejamkan mata.

"Aku nggak lagi marah. Aku hanya...ah lupakan saja." Daisy terlihat berusaha menyelesaikan cuci piring secepat mungkin supaya dia bisa segera pulang dan melupakan obrolan tidak berguna itu.

Giras tidak akan bertanya lagi soal kesibukan Daisy dengan aplikasi dating. Gadis itu tidak sedang dalam mood yang baik untuk berbagi cerita.

Giras bermaksud menawarkan diri untuk menggantikan Daisy mengerjakan pekerjaan itu, meskipun Giras tidak begitu suka mencuci piring. Daisy mungkin cukup lelah akhir-akhir ini, jadi dia butuh suasana menyenangkan. Giras merasa tidak berguna jika memanggil Daisy ke apartemen hanya untuk menambah beban pikirannya.

"Kalau begitu, saya berharap kamu cepat mendapatkan seseorang yang tulus menyayangi kamu."

Semoga saja.

"Terima kasih." Hanya dua kata itu yang bisa Daisy ucapkan.

***

-Daisy-

Bisa menulis lancar saat mood sedang baik adalah harapan setiap penulis.

Namun bagaimana jika berjam-jam dihabiskan hanya untuk menulis panjang lebar dan menghapusnya karena merasa kurang puas dengan hasilnya?

Daisy harus menyalahkan mood-nya yang buruk. Dia membuang waktu serta menguras tenaga hanya untuk pekerjaan sia-sia.

Sebenarnya, apa yang dia tulis? Dengan jam terbang menulis cukup, kenapa dia bisa menulis sesuatu yang dia sendiri tidak sukai?

Mengapa dia jadi payah begini?

Mbak Reski telah mengirimkan revisian dengan catatan yang cukup banyak. Untuk itu, Daisy berusaha mengumpulkan tenaga. Bekerja ekstra untuk mengedit tulisan sesuai revisi yang diminta. Belum lewat setengah jam, dia berhenti. Setelah olahraga ringan sejenak, minum air putih yang banyak, ke kamar mandi untuk buang air kecil, dia kembali melanjutkan revisi. Lagi-lagi hanya bertahan sekitar setengah jam, Daisy berhenti.

Dia tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya tidak fokus.

Sampai akhirnya, Daisy meninggalkan meja. Memilih berbaring di tempat tidur.

Langit-langit kamar dia pandangi dengan tatapan kosong hingga pandangannya seolah berbayang.

Sejak pulang dari apartemen Giras, perasaan Daisy tidak tenang.

Cara laki-laki itu berbicara padanya, tidak seperti biasa. Daisy berharap suasana siang itu bisa hangat dan nyaman. Tapi, lagi-lagi dia harus menelan kekecewaan.

Harapannya semakin kecil untuk Giras.

Dan seharusnya memang dia tidak pernah berharap.

Giras tidak pernah menyukainya.

Segala sikap baik dan perhatian yang ditunjukkan Giras, semata-mata demi menyenangkan hatinya. Layaknya sebuah pertemanan biasa di mana urusan hati tidak boleh dilibatkan.

Percuma. Dia sudah berhenti menaruh harapan.

Dia harus move on. Bagaimanapun caranya.

Giras bertanya apakah dia sudah menemukan match.

Tentu saja dia akan menemukan match. Pasangan yang cocok.

Lalu, kalau sudah cocok, siapa tahu saja bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

Siapa tahu saja.

Berharap tidak ada salahnya.

Walau terkadang, harapan bisa mengecewakan.

***

Setelah menunggu dalam waktu cukup lama, Dinda akhirnya datang. Mereka sudah janjian bertemu di sebuah kafe di dekat kantor penerbit. Tempat mereka biasa nongkrong ketika kebetulan sama-sama ada urusan penerbitan.

"Maaf ya, gue telat. Biasalah kalau lagi ada renovasi di rumah."

Daisy mencoba mengingat-ingat apakah Dinda pernah menyinggung soal renovasi. Mungkin pernah, hanya dia saja yang tidak ngeh.

"Oh. Renovasi apa?" tanya Daisy. Dia sudah siap, andaikata Dinda meledeknya pelupa.

"Renovasi dapur sama kamar mandi. Kebetulan honor nulis dari lisnulis udah masuk lagi. Mayanlah buat bantu mempercantik rumah." Dinda merapikan rambutnya setelah duduk. Dia langsung mengambil ponsel dari dalam tas. Tersenyum saat menatap layarnya.

"Wah hebat banget. Gue juga pengen se-produktif lo." Diam-diam Daisy merasa iri akan pencapaian Dinda. Perasaan baru kemarin mereka sama-sama merintis karir di dunia kepenulisan, namun langkah Dinda sudah jauh lebih maju.

"Iya, makanya mesti lebih giat nulis. Lo juga pasti bisa kok." Dinda lalu membaca sesuatu di ponselnya. Sesuatu yang membuat nyali Daisy ciut seketika. Bagaimana tidak, kata Dinda dia sudah resmi menjadi penulis eksklusif di platform tersebut, yang tentunya memberi bonus tambahan yang semakin banyak. "Walaupun capek banget dan gue hampir nggak ada waktu istirahat cukup, menurut gue sih sepadan sama hasilnya. Kalau gini sih, gue nggak perlu sibuk nyari kerjaan lain. Gue bakal fokus aja nulis. Gaji sebanyak ini udah ngalahin gaji senior manager perusahaan gede lho."

Daisy menepuk bahu Dinda pelan. "Yang penting lo selalu jaga kesehatan. Uang bisa dicari, tapi kalau sakit, bayarnya lebih mahal."

Dinda tersenyum. "Iya, pasti. Yang penting, gue mesti jaga kondisi sama banyak konsumsi vitamin. Tenang aja, gue masih sempat tidur kok kalau malam. Yaah, walau resiko mata panda juga kayak gini." Dinda menunjuk matanya yang dihiasi lingkaran hitam dan kantung mata tebal.

Mereka tergelak bersama. Sambil menunggu pesanan datang, mereka makin serius mengobrol.

"Eh, Din. Gue mau nanya."

"Soal apa?"

Daisy tidak langsung menjawab. Tapi sadar kalau dia butuh teman curhat selain Gita. Sahabatnya itu sendiri agaknya kurang suka jika Daisy bermain aplikasi dating.

"Lo tau nggak, aplikasi buat nyari pasangan gitu. Semacam aplikasi."

"Maksud lo, Tinder?"

Daisy mengangguk.

"Tau dong. Kenapa? Lo pake Tinder? Gue kira lo pernah bilang belum kepikiran buat nyari pasangan?" Dinda menunjukkan tampang penuh tanya.

"Memang sih, rencananya gitu. Tapi, gue sadar kalau...sebaiknya gue mencoba. Ya lo tau kan, gue kurang bisa bersosialisasi langsung. Siapa tau aja dengan aplikasi itu, gue bisa dengan mudah nyari...cowok." Daisy sendiri tidak yakin pada dua hal. Pada niatnya, dan pada apa yang dia katakan saat itu.

"Menurut gue, boleh aja kok. Itu kan salah satu cara juga. Cuma, mesti hati-hati. Kalau nggak gitu yakin, mending nyari langsung aja. Emang sih, nggak gampang. Gue juga udah jarang bergaul, gara-gara sibuk nulis. Kan aneh kalau gue tiba-tiba hubungin temen gue, buat nanyain apa ada temen cowok yang masih available buat dipacarin."

Dinda berpikir sejenak. Sementara Daisy tidak tahu harus menjawab apa.

"Mmm, lo emang nggak punya kenalan gitu di sekitar lo. Entah keluarga, tetangga, teman sekolah dulu, teman kuliah, atau temannya teman lo, gitu?" Dinda jadi terlihat antusias.

Daisy ragu antara ingin mengangguk atau menggeleng.

"Gimana ya? Dibilang nggak ada, ntar kesannya gue anti sosial banget. Dibilang ada, y ague juga nggak yakin." Daisy makin bingung. "Kalau keluarga...mungkin aja ada. Tapi kan gue mesti nanya ke mama dulu."

Dinda tertawa. "Kalo gitu, minta jodohin aja. Ala cerita novel gitu. Siapa tau dapet yang ganteng, baik, mapan...,"

"Itu hanya dalam cerita fiksi, Din. Mana mungkin kejadian? Lo kan tau, kita nulis fiksi hanya buat ngayal tentang sesuatu yang nggak mungkin didapetin di dunia nyata."

"Yee, lo pesimis banget deh. Bisa aja kan beneran terjadi?" Dinda menopang dagu. "Makanya setiap nulis, gue selalu ngegambarin tokoh cowok di novel gue se-perfect mungkin. Sambil berdoa, semoga gue kebagian satu."

Dinda memang sosok yang sangat optimis, hingga terkadang membuat Daisy percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tapi, prinsipnya tetap sama. Ekspektasi terlalu tinggi bisa berakibat fatal yaitu berakhir kekecewaan.

"Ya udah. Anggap aja, bakal beneran terjadi. Pertanyaannya, gimana caranya?" Kata Daisy.

Pembicaraan mereka sejenak terjeda karena pelayan telah datang membawa pesanan mereka.

"Mana gue tau?" Dinda mengangkat dua tangan sebagai tanda.

Daisy menghela napas panjang, lalu membuangnya. Sedotan kayu dipakai mengaduk minuman es teh manis yang lalu diseruput pelan-pelan. Dia memerhatikan Dinda yang tengah memotong donat topping gula, lalu menikmatinya bersama es kopi.

"Kelihatannya lo risau banget soal itu deh, Day." Ucap Dinda, mencoba menebak suasana hatinya yang sepertinya sangat transparan, sampai-sampai Dinda yang belum berapa lama bertemu dengannya, sudah bisa menebak tepat.

"Lumayan sih, Din." Kata Daisy jujur. Kembali membuang napas, Daisy lalu melanjutkan ucapan. "Bukan karena tuntutan orangtua. Tapi, sepertinya gue mulai merasa bener-bener butuh pasangan."

"Alasannya?"

Daisy melirik Dinda yang terkesan menginterogasi secara halus. Tapi sudah kepalang basah.

"Gue takut kesepian."

Spontan Dinda menyentuh punggung tangan. "Lo punya gue. Ya, maafin gue kalo akhir-akhir ini sibuk banget. Tapi kalo lo butuh temen curhat, lo hubungin aja gue."

"Makasih ya, Din?"

Dinda sudah tahu mengenai persahabatan antara Daisy dan Gita, tapi Daisy belum pernah memberitahu Dinda kalau Gita saat ini sedang berada di Jakarta.

"Sebenarnya...gue begini karena...seseorang."

Dinda mengeratkan pegangannya di punggung tangan Daisy.

"Apa salah, kalau gue suka sama cowok yang udah punya...pacar?"

***

-Giras-

"Minum, gih. Dari tadi kesedak mulu." Tegur Gita sambil menyodorkan segelas air putih yang langsung disambar Giras. Mereka tengah makan siang bersama di restoran dekat kantor. Entah sambal sotonya yang terlalu pedas atau Giras yang makan terlalu terburu-buru. Kedua matanya sampai berair karena terus batuk.

Setelah batuknya mereda, Giras kembali menyantap soto ayam.

Siang itu, Gita mengunjunginya di kantor. Katanya malas diam sendirian di apartemen. Padahal Giras sudah menyediakan saluran TV berbayar yang memiliki banyak pilihan program. Tapi kata Gita, dia lebih senang menonton kalau ada teman.

"Kamu nggak bareng Daisy?" tanya Giras.

"Nggak. Dia lagi ada janji sama teman penulis. Aku nggak mau ganggu, karena pasti bakal susah nyambung. Lagian, Daisy juga bosen bareng aku terus."

"Oh, gitu."

Gita meliriknya. "Mmm, kira-kira Daisy bakal tetap nerusin rencananya apa nggak ya?"

Giras menggeleng pelan. "Biarin aja, kenapa sih, Git? Itu haknya kalau mau nyari pasangan."

Gita mengunyah nasi dan soto dengan malas. "Iyaaa. Ini juga dibiarin. Aku nggak pernah nanya-nanya lagi soal itu. Takut Daisy tersinggung." Gita menelan makanannya pelan. "Oh, ya, Mas. Minggu depan, aku balik Surabaya."

"Hah? Kenapa mendadak?"

"Yeee...memangnya kapan aku bilang bakal lama-lama di Jakarta? Udah dua minggu di sini."

Giras berdecak. "Mau ke mana lagi?"

"Biasalah, Mas. Ada rencana mau jalan-jalan lagi. Temenku yang di Semarang udah ngajakin lagi buat explore."

"Kalau kamu pergi, pasti bakalan sepi. Daisy gimana? Dia udah tau?"

Gita menggeleng. "Belum. Emangnya dia bakal sedih kalau aku balik cepet? Katanya udah gede. Udah mandiri."

"Seminggu lagi di sini, bisa kan?" Giras sedikit menegaskan nada suaranya.

"Kenapa Mas kelihatannya khawatir banget sama Daisy? Kalau aku pergi, Mas takut dia bakal kesepian?" tanya Gita, tidak kalah menekankan perkataannya.

"Kamu kan tau dia gimana?"

Gita tersenyum.

"Kalau nggak mau Daisy kesepian, ditemenin aja. Beres kan?"

"Maksud kamu?"

Gita membuang napas, lalu menyambar sepotong bakwan jagung.

"Mas yakin, nggak punya perasaan apa-apa sama Daisy?"

Sebelum Giras menjawab, Gita kembali bersuara.

"Maaf ya, aku nggak sengaja nguping waktu Mas ngobrol sama Daisy di pantri. Aku juga merhatiin setiap interaksi kalian. Sepertinya Mas dengan Daisy sama-sama punya perasaan suka satu sama lain. Cuma nggak ada yang mau memulai."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro