23rd Blooming

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


23rd Blooming


-Giras-

"Maksud kamu?"

Gita hanya tersenyum ketika Giras bertanya. Karena dia memang tidak paham akan "tuduhan" itu. Adiknya tahu dari mana? Apa dia semacam cenayang yang bisa menebak isi hati seseorang? Okelah kalau gerak-geriknya terlalu kentara, tapi perasaan Giras juga bisa dibilang masih netral. Rasanya masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan.

"Maksud aku, Mas Giras suka sama Daisy." Gita tidak perlu repot-repot memutar-mutar kalimat.

Giras melirik Gita sebelum melanjutkan makan. Sambil mengunyah, otaknya mulai bekerja.

Mungkin Gita benar.

Selama ini, Giras kelihatannya mudah tertarik kepada setiap perempuan yang dia anggap menarik. Mudah baginya mengajak perempuan yang disukainya untuk jalan bareng.

Tapi sejauh ini belum ada yang spesial baginya.

"Anggap saja dugaan kamu tepat." Giras tidak mau terkesan menyanggah. Pikirannya masih sambil jalan, seiring mulutnya yang juga terus mengunyah makanan. Dia sadar, waktu makan siang hampir berakhir, jadi dia harus menyelesaikan obrolan dan makan siang sebelum beristirahat sejenak dan kembali bekerja. "Tapi, Mas hanya sekedar suka karena...yaah mungkin Daisy itu perempuan yang manis dan baik. Dia juga nggak bersikap aneh dan berlebihan. Lagian, dia juga lagi usaha buat punya hubungan dengan kenalan baru. Kamu, bukannya juga nggak mau sahabat kamu itu didekati sama Mas?"

"Didekati kalau Mas janji bakal serius." Gita menopang dagu. "Trus Helen gimana? Dia memang belum jadi pacar Mas, kan? Apa kalian udah jadian?"

"Mau tau aja." Giras membuang napas. Kenapa saat mendengar nama Helen disebut, dia jadi kehilangan nafsu makan.

"Ya harus tau dong." Gita lantas menandaskan bakwan dalam satu potongan kecil. "Sebagai adik Mas satu-satunya yang paling perhatian dan paling cantik...,"

"Nggak usah muji diri sendiri." Tegur Giras, lalu dibalas Gita dengan cengiran diikuti ekspresi masam.

"Nggak usah dekat-dekat Daisy kalau gitu."

Giras hanya memasang senyum palsu kemudian meneguk air mineral yang dituangkan ke gelas.

"Pastikan aja kamu pantau terus sahabat kamu itu. Jangan nyusahin dirinya kalau nggak yakin sama rencananya sendiri."

***

-Daisy-

Pintu pagar yang berderit nyaring saat didorong rupanya membuat Daisy terkaget sendiri.

Apa dia terlalu larut dengan lamunan sampai-sampai bunyi yang semestinya sudah terasa familiar, malah terasa ingin membuat jantungnya copot. Daisy menggelengkan kepalanya keras-keras sambil terus berjalan sampai ke teras. Tidak lama setelah membunyikan bel, mama muncul di depannya, masih memegang daun pintu.

"Mama kira kamu mau balik sore?" tanya Mama yang rupanya mendengar sewaktu Daisy mengatakan akan pulang sore. Mama sedang sibuk membereskan lemari penyimpanan barang keperluan dapur saat Daisy pamit.

"Mm, nggak jadi, Ma. Daisy baru inget mesti cepet beresin revisi."

Padahal Daisy sudah membawa laptop untuk mengerjakan revisi di kafe. Tapi perasaannya jadi tidak tenang setelah curhat kepada Dinda. Jadi dia memilih lekas pulang. Dinda juga sedang sibuk dengan naskah, jadi Daisy pikir akan lebih baik kalau dia pulang saja. Entahlah, padahal mereka bisa saja nongkrong lebih lama di kafe.

"Day."

Daisy baru saja hendak naik tangga ketika mama memanggilnya.

"Iya, Ma?"

"Kalau kamu ada waktu besok sore, kamu temenin Mama arisan di rumah Tante Jihan. Sekalian acara pindahan rumah."

Tumben mama mau ditemani. Biasanya juga pergi sendiri.

"Biasanya juga Mama ke sananya sendiri." Daisy mengingatkan.

"Ya kan sekali-kali. Biar kamu kenal juga sama keluarga yang lain. Mama malu sering ditanyain kenapa kamu nggak pernah ikut acara keluarga."

Daisy yang memang tertutup sejak dulu, tentu tidak betah berada di luar rumah, apalagi untuk acara-acara yang menurutnya hanya formalitas. Dia bukan seseorang yang mudah memulai obrolan. Sepupu-sepupu yang perempuan juga tidak ada yang sebaya dengannya. Tidak mungkin kan dia mengobrol dengan sepupunya yang laki-laki?

"Mama kan tau, aku nggak betah sama acara keluarga. Ntar juga paling yang ditanyain pertanyaan yang sama. Males jawabnya."

Apalagi kalau bukan pertanyaan soal kapan dia akan menikah?

"Ya jawab aja seadanya, Day. Maksud Mama ngajak kamu, biar kamu bisa terbiasa bersosialisasi. Gitu. Kamu nggak bosen di rumah aja terus?"

"Nggak kok, Ma. Karena di rumah, banyak yang bisa dikerjain."

"Tuh kan, kamu selalu aja punya alasan. Apa Mama ngajak Lily aja? Kamu kan tau, adik kamu itu yang paling sibuk ngurusin nenek. Harusnya kamu sebagai anak yang paling tua tuh bisa lebih banyak belajar bergaul. Mandiri. Suatu saat kalau kamu udah nikah, nggak mungkin ngurung diri aja di rumah. Masa suami kamu yang disuruh-suruh ke acara keluarga?"

Ada benarnya juga. Semoga saja besok, mood Daisy bisa membaik sebelum berangkat ke acara besok.

Daisy menghela napas pasrah. Dia mengiyakan saja sebelum ucapan mama semakin panjang lebar. Bisa-bisa dia tertahan di sana sebelum masuk ke dalam kamar.

"Iya, Ma. Iyaaa. Nanti aku temenin. Sekarang, Daisy mau ke kamar dulu."

"Nah gitu dong." Mama memanggilnya lagi ketika Daisy sudah separuh jalan menaiki tangga. "Eh, kamu simpen tas dulu, trus bantuin Mama buat puding buat dibawa ke rumah Tante Jihan. Biar nanti pudingnya dimasukkan kulkas semalaman, biar lebih enak. Mama mau coba resep Tante Elis."

Daisy mengerutkan kening. Dia sudah melihat dan mencicipi aneka kue yang dibuat Tante Elis. Makanya dia penasaran, puding jenis apa yang hendak dibuat Mama.

"Oke deh, Ma."

Setelah bersih-bersih, Daisy turun kembali ke dapur. Di atas meja, semua bahan puding sudah disiapkan dan tertata sesuai takaran. Kalau melihat dari bahan yang ada, sepertinya puding yang dibuat tidak terlalu sulit. Selain agar-agar bubuk dan bahan seperti susu, telur dan pelengkap lain, Mama juga menyiapkan buah-buahan segar seperti strawberry dan mangga.

"Puding buah ya, Ma?"

"Iya. Tapi nanti buahnya selain dipotong-potong untuk adonan, juga dijadiin hiasan."

Setidaknya dia punya kesibukan lain sebelum mengurung diri di kamar.

Bekerja di dapur selalu menjadi kesibukan menyenangkan. Sejak kecil, Daisy sudah gemar membantu Mama di dapur. Berbeda dengan Lily yang lebih suka pekerjaan lain selain masuk dapur.

Jendela dapur yang terbuka lebar menyajikan pemandangan halaman samping. Mau tidak mau, Daisy melihat ke halaman dan rumah sebelah. Sepi, hanya seekor kucing putih tengah bergelung tidur di atas rerumputan.

"Gita ke mana, Day?" tanya Mama saat memasukkan bahan-bahan puding ke dalam panci.

Daisy mengambil kayu pengaduk bertangkai panjang, mengaduk campuran agar tidak menggumpal sebelum dimasak.

"Di apartemen Mas Giras." Jawab Daisy singkat. Mengingat obrolan bersama Dinda, napasnya mendadak jadi tidak beraturan.

Mengapa di saat dia semakin mencoba mengabaikan tentang perasaannya, yang terjadi justru malah sebaliknya?

Perasaan yang benar-benar salah harus segera disingkirkan.

"Kemarin yang waktu kamu bantuin beres-beres itu ya? Yang sama Gita?"

"Iya, Ma."

"Pasti bagus ya apartemennya?"

Lagi-lagi Daisy mengiyakan. Ukuran apartemen tersebut cukup ideal untuk ditempati sekitar dua sampai tiga orang. Penggunaan warna netral dan penataan artistik, menjadikan desainnya terlihat menarik.

"Kalau nanti punya rejeki, kamu mau beli apartemen atau rumah?" tanya mama.

"Belum mikirin sih, Ma. Duitnya juga belum kekumpul. Palingan buat ngontrak." Daisy selalu terbuka mengenai penghasilan yang didapat dari menulis. Jumlah dua digit yang ditabungnya, jelas tidak akan cukup untuk membeli asset. Mereka pernah membahas rencana Daisy ke depan ketika memutuskan menikah. Rumah itu jelas bukan pilihan Daisy untuk tinggal bersama suami. Dia ingin hidup mandiri.

"Nanti Papa sama Mama bantuin. Semoga usaha toko Papamu bisa makin maju biar bisa nyediain asset buat kamu sama Lily."

Daisy tersenyum. "Nggak usah dipikirin soal aku. Aku nggak mau ngerepotin papa sama mama."

"Itu kan udah kewajiban Papa sama Mama. Kamu sama Lily itu masih tanggungjawab kami."

"Tapi nggak usah dipikirin soal asset. Papa nikmatin aja kerjaannya. Aku juga masih berusaha biar sukses dan punya penghasilan tetap dari pekerjaanku sekarang." Daisy lantas bercanda. "Kalau punya suami kaya, aku nggak perlu capek kerja."

Mama meliriknya. "Kamu itu ya? Bercanda aja kan kamu, Day? Jangan keliatan matre."

Daisy tergelak. "Realistis dong, Ma."

Mama mengangguk. "Iya, iya. Cari suami jangan yang mau ngajak kamu susah. Ingat aja pesan Papa sama Mama."

***

-Giras-

Pandangan Giras pada monitor laptop yang menyajikan desain karakter dari bagian produksi, terinterupsi oleh deringan ponsel. Saat mengambil ponsel, nomor baru tertera pada layar. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengabaikan nomor baru.

Giras mengecilkan tampilan layar, mengabaikan sampai ponselnya berhenti berdering.

Masuk ke galeri foto yang sudah dipindahkan dari ponsel ke memori laptop.

Giras terus mengklik sampai menemukan foto-foto saat liburan singkat di Pulau Pramuka.

"Apa iya gue beneran suka sama Daisy?"

Giras sampai bolak-balik melihat foto-foto di mana Daisy ada di dalamnya.

Sejak dulu, dia tidak pernah memusatkan perhatiannya kepada gadis itu. Dia selalu menganggap Daisy hanya seperti adiknya, sama seperti Gita. Kalaupun sekarang perasaannya sedikit berubah, dia menganggapnya sebagai proses. Perasaan kagum itu biasa.

Gadis itu terlihat sederhana. Biasa saja. Tidak ada yang spesial.

Dia tidak tahu persis jika Daisy naksir kepadanya. Mungkin memang sinyalnya sudah diberikan, tapi lagi-lagi dia berusaha mengabaikan.

Karena Giras masih merasa hal ini aneh.

"We'll see." Giras mengelus-elus dagunya. "Damn. Kayaknya aku yang mulai aneh."

***

Snippet 24th Blooming

"Maksud Mama? Mama mau jodohin aku sama Riza?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro