Eighteenth Planting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Eighteenth Planting


-Daisy-

Berjalan-jalan di Taman Nasional sekitar dua jam lebih, ditambah matahari terik, sebenarnya tidak begitu menguras tenaga. Namanya juga acara santai yang diisi dengan kegiatan seperti mengobrol, melihat-lihat pemandangan, hingga mengambil gambar.

Katakan saja begitu, andaikan Giras tidak sedang berada di sana.

Daisy tidak mengatakan liburan ini adalah sesuatu yang tidak mesti dia lakukan dan tidak dia sukai. Dia sangat menikmatinya, tapi berada di sana bersama Giras, sepertinya bukan ide yang baik.

Ide yang sangat tidak baik untuk jantungnya.

Dia juga jadi bingung, mengapa sepanjang perjalanan hari itu, Giras seolah-seolah selalu mencoba berada di dekatnya?

Perasaannya bisa saja salah.

Ya, anggap saja salah.

Giras tidak mungkin mau dekat-dekat dengannya.

"Mau makan apa kita?" tanya Gita sambil mengibas-ngibas wajahnya dengan topi. Suhu udara siang itu benar-benar panas.

"Daisy mau apa?" tanya Giras.

"Nasi rames aja." Jawab Daisy sambil memegangi dadanya tanpa sadar. Dia jadi sering terkejut setiap Giras berbicara kepadanya.

"Pesenin sana, Mas. Minumnya yang dingin-dingin, pokoknya." Pinta Gita sebelum Giras berjalan menuju salah satu pelayan di meja kasir.

Daisy menggunakan waktu untuk mengatur napas. Dia memejamkan mata sejenak sambil mengisi oksigen ke dalam paru-paru.

"Lo lagi ngapain? Semedi?" tanya Gita masih sambil mengipas wajah.

"Nggak." Daisy menghentikan aktivitasnya, lalu pura-pura melihat ke sekeliling. Rumah makan tempat mereka berada kini, lumayan ramai. Kata Giras tadi, indikasi rumah makan yang recommended kalau tempatnya ramai. Kalau dari menu makanan, sama saja dengan rumah makan lain di sekitar situ. Selain menu nasi beserta pelengkap, aneka seafood juga tersedia. Dia sudah makan seafood semalam, kalau siang ini makan seafood lagi, kolesterol bisa naik drastis.

Saat Giras kembali, Daisy sudah menyiapkan diri untuk bermain ponsel. Laki-laki itu akan mengajak ngobrol Gita kalau melihatnya sibuk dengan hal lain.

"Tadi mama nelepon, nanyain kita lagi di mana. Dikiranya kita udah balik ke Jakarta." Kata Gita kepada Giras.

"Kamu bilang kan kita masih di sini." Jawab Giras.

"Iya, udah. Mama bilang malah pengen jalan ke Bora-Bora. Nggak tau, dia dapat referensi dari mana." Kata Gita.

"Biasanya mama dengar dari orang. Dari teman arisan, mungkin?" Giras membuka botol air mineral. Ya, Daisy tidak sengaja memerhatikan aktivitas laki-laki itu.

Sial banget. Karena kini Giras menawarkan air mineral kepadanya.

"Ganti yang tadi pagi."

Daisy tahu kalau ucapan itu untuk dirinya.

Sebenarnya, Giras tidak usah repot-repot. Daisy bisa beli dan ambil sendiri kalau mau.

Malah segel botolnya sudah dibukakan.

"Mungkin. Akhir-akhir ini, anggota arisan jadi pada demen liburan."

"Bukannya kamu yang sering ngasih liat ke mama, trus jadinya mama yang ngasih liat ke teman-teman arisannya?" simpul Giras.

"Mama bangga melihat prestasi putrinya yang suka keluyuran." Gita berkata sarkas. "Beda sama anak-anak teman arisannya yang rata-rata seperti putri keraton. Mana lulusan luar negeri juga."

"Tapi mama nggak pernah bandingin kamu sama anak-anak lain. Kamu harus bersyukur dikasih kebebasan." Giras mengingatkan.

"Iya, makanya aku sayang banget sama mama, sama papa. Nggak maksain keinginan sama anak-anaknya." Gita terdengar bangga sekaligus bahagia. Mendapat dukungan dari orangtua adalah impian setiap anak.

Mereka bahkan dibebaskan untuk urusan jodoh. Kata Gita, orangtuanya masih sesekali mengingatkan dia dan Giras soal mencari pasangan. Mamanya juga menawarkan anak dari relasi untuk dikenalkan ke Giras, tapi hanya sebatas itu. Giras tidak pernah dipaksa bertemu, apalagi sampai diminta bertunangan.

"Masih jomlo gini juga hanya didoain dapet pasangan. Baik banget kan?" Gita memberitahunya dengan rasa bangga. Daisy juga ikut senang karena meskipun mama dan papa masih punya harapan lain untuk urusan pekerjaan, soal jodoh, mereka tidak memberi paksaan.

"Memang hidup harusnya dinikmati." Ucap Giras. "Dikasih hidup hanya sekali, jadi harus digunakan sebaik mungkin. Salah satunya dengan menikmati hidup."

Cara menikmati hidup bagi setiap orang, berbeda. Atau katakanlah, cara menjalani hidup.

Daisy menjalani kehidupannya selama ini, nyaris tanpa target. Dia menyukai pekerjaannya, mensyukuri apa yang telah dia miliki. Meski untuk satu hal, yaitu urusan hati, dia masih menunggu.

Apa iya, seorang perempuan harus mencari? Ditambah dengan sikapnya yang begitu tertutup selama ini, bisa dipastikan dia akan sulit mendapatkan pasangan. Dia tidak berusaha mencoba.

Oke, mungkin dia telah mencoba. Tapi selalu gagal. Dan dia merasa tidak ingin mencoba lagi. Setidaknya dalam waktu dekat.

Menunggu, kedengarannya lebih masuk akal.

"Menikmati hidup dengan seseorang yang istimewa, maksudnya?" Gita menambahkan.

"Bisa juga." Giras melihat ke arah Gita. "Ah, ya. Memang seharusnya begitu. Hidup sendiri tanpa pasangan rasanya pasti kesepian."

"Nggak juga. Aku tanpa pasangan juga bisa bahagia. Nggak kesepian. Hampir setiap hari aku ketemu banyak orang. Ngobrol, berbagi." Gita menyanggah ucapan kakaknya.

"Katakanlah, keinginan setiap orang berbeda-beda. Jika salah satu sumber kebahagiaanmu tidak butuh pasangan atau hubungan, maka ada orang, dan aku yakin pasti banyak, yang membutuhkan pasangan untuk merasakan kebahagiaan bersama. Seperti yang kamu maksud, berbagi. Berbagi kebahagiaan dengan pasangan. Konsepnya juga bisa seperti itu. Nggak hanya berbagi kebahagiaan. Berbagi kesusahan juga."

"Punya pasangan buat berbagi susah, buat apa? Gimana kalau dia-nya lebih susah dari aku? Aku sudah senang dan bahagia hidup sendiri, ngapain harus berbagi sama orang lain yang aku yakin punya kehidupan lebih susah dari aku? Ini nggak berlaku buat teman atau sahabat ya, karena jujur saja, aku senang nolongin orang." Gita berucap panjang lebar. Kedengaran logis, namun di saat bersamaan terasa hampa. Sebagai penganut paham "hidup butuh pasangan", Daisy tidak bisa membayangkan menghabiskan hidup dalam kesendirian. Dia mungkin akan kesulitan mendapatkan pasangan, tapi bukan berarti dia tidak menginginkannya.

"Kalau begitu, konsep hidup kamu masih seputar diri kamu sendiri. Nggak salah juga, kalau hal itu yang membuat kamu senang. Tapi ketika menjalani prosesnya, kamu akan memahami sendiri. Tanpa perlu dijelaskan." Giras menandaskan ucapan, tepat ketika pelayan datang, menurunkan piring berisi nasi rames satu-persatu sambil mengatakan kalau tadi, ayamnya baru digoreng, jadi mereka menunggu sedikit lebih lama.

"Kalau gitu, kita tunggu aja, siapa jodohnya." Gita mengangkat bahu.

"Ntar, tau-tau Gita yang duluan nikah." Kata Giras saat sedang mengaduk nasi dan sayur.

"Nggak deh. Mas aja duluan."

***

-Giras-

Balik ke kamar setelah makan siang untuk ngadem sejenak sebelum jalan-jalan sore adalah satu hal yang terpikirkan oleh Giras begitu selesai makan. Matahari semakin terik, sudah jalan sejak pagi, kini hal terbaik yang dilakukan adalah berbaring santai.

Layar ponsel di tangannya masih menampilkan beranda Facebook. Deretan status serta share tautan dibacanya satu-persatu. Kadang ada yang menimbulkan tawa, terkadang tidak menarik hingga cepat-cepat iaskip. Sebagai pengguna Facebook yang tidak begitu aktif, dia tidak pernah memberi tanggapan di setiap postingan di beranda, entah itu sekadar memberi like apalagi comment.

Giras tidak sedang ingin berinteraksi. Dia hanya mengecek akunnya, masih bisa terbuka atau tidak, berhubung dia tidak begitu ingat password-nya. Saat akhirnya bisa terbuka, sekalian saja dia iseng jalan-jalan di sana.

Ada postingan Gita di sana. Kata Gita, Facebook-nya juga sudah jarang dibuka, tapi karena masih terhubung Facebook, setiap postingan Instagram-nya otomatis akan masuk ke Facebook. For real, kalau adiknya itu tidak menuliskan nama akun menggunakan namanya, orang-orang bisa berpikir bahwa Gita adalah akun publik sejenis MTMA atau Jejak Petualang. Hasil jepretannya mungkin tidak sebaik fotografer profesional, tapi Gita jelas punya bakat sebagai penjelajah sekaligus fotografer amatiran.

Sebagai seorang kakak, Giras merasa bangga. Gita terlihat bahagia dan sangat menikmati pekerjaannya.

Karena bosan di Facebook, Giras beralih membuka akun Instagram. Postingan Gita masih terhitung baru dalam hitungan menit. Dia bermaksud melihat-lihat foto-foto yang diposting di Instagram.

"BFF @Daisy_08." Gumam Giras di foto terbaru yang diposting. Foto itu menampilkan Gita dan Daisy saling merangkul dan sama-sama tersenyum lebar.

Lalu di foto berikut. Fotonya berdua dengan Daisy, juga diberi caption yang...ehm. Provokatif.

Ini BFF apa BF? wkwk @Daisy_08 @ggg_gearus?

Giras tertawa sendiri. Gita memang senang memancing keributan.

Jadi ingin tahu reaksi Daisy. Mengklik akun Daisy yang kena tag, ternyata dikunci.

Balik ke postingan tadi, Giras menemukan di kolom komentar sudah mulai bermunculan komentar dari para netijen. Dia mengenali beberapa akun teman Instagramnya yang juga mem-follow Gita.

Cie cie

BF, kali ah! @ggg_g.rush

Long time no see @ggg_g.rush

Akun smpt deactive bro? @ggg_g.rush

Honeymoon? bro kkk @ggg_g.rush

Pulau pramuka y? eh iya, ada lokasinya

Komentar kiriman ini sudah dibatasi

Pintar juga Gita. Dia sengaja memosting foto, membiarkan beberapa komentar masuk, baru kemudian mengunci kolom komentar. Kalau Daisy meminta menutup kolom komentar, Gita mungkin lebih memilih menghapus postingan itu sekalian.

***

-Daisy-

Apa yang bisa Daisy lakukan ketika fotonya bersama Giras sudah terlanjur diposting oleh Gita?

Jika dia menyuruh Gita menghapusnya, pasti efeknya berlebihan. Dia tidak mau menjelaskan bahwa dia merasa tidak nyaman dengan postingan itu.

Walaupun, Gita kemudian memilih menutup kolom komentar.

"Fotonya bagus, makanya gue posting. Nggak apa-apa kan, Day?"

Daisy mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Santai aja. Nggak ada yang bakal percaya juga."

"Kenapa? Kalian di foto ini kelihatan serasi, kok." Gita tersenyum. "Tapi kalau lo nggak suka, bisa gue hapus."

Ponsel milik Gita tiba-tiba berdering.

Gita menatap layar ponsel sambil tersenyum.

"Halo, Ma."

Daisy beringsut dari duduk untuk mengambil botol air minum di atas meja.

"Iya, itu Daisy tetangga kita dulu di Jakarta. Anaknya tante Rose." Gita meliriknya sambil tertawa. "Nggak, Ma. Itu iseng doang. Iya, beneran. Sumpah."

Daisy berusaha untuk tidak menguping, tapi karena Gita menyebut-nyebut namanya, tidak salah dong kalau dia jadi kepingin tahu apa yang sedang dibicarakan Gita dengan mamanya.

"Tapi kalau beneran juga, nggak masalah kan, Ma?" Gita nampak tertawa lagi. "Iya, Ma. Iya. Nanti diajak ke Surabaya."

Sekitar lima menit kemudian, Gita menutup telepon. Merasa perlu memberi penjelasan, dia menghampiri Daisy yang tengah duduk di depan jendela. Menikmati hembusan angin laut.

"Itu tadi Mama telepon. Kebetulan ngeliat foto di Instagram. Mama ngira lo sama Mas Giras pacaran."

"Tante Gendis main Instagram?" Daisy terkejut.

"Kebetulan aja main, karena gue memang berteman di Instagram. Bener-bener keisengan gue, malah jadi melebar kemana-mana. Gue nggak nyangka lho mama bakal ngeliat foto itu. Lagian, gimana mama bisa tau arti caption di foto?"

"Bisa aja kan Tante Gendis nanya artinya apa?" Daisy sebetulnya tidak mau memikirkan soal foto itu. Dia tahu, Gita tidak punya maksud lain selain iseng.

"Mm, entah Mama nanya ke siapa." Gita melihat lagi foto di Instagram. "Oh, ya. Mama nitip pesan, kapan-kapan main ke Surabaya. Tiket pesawat sama akomodasi selama lo di sana, itu ditanggung sama mama. Mama penasaran sama Daisy, si anak manis yang udah beranjak dewasa, katanya. Inget dulu kan, lo sering bantu mama masak, karena gue males banget masuk dapur?"

Daisy tidak mungkin melupakan setiap kenangan ketika keluarga Gita masih tinggal di rumah sebelah. Kesukaannya tinggal di rumah, menekuni setiap pekerjaan rumah, ternyata masih diingat oleh Tante Gendis. Dulu, mama dan Tante Gendis juga kerap membuat kue bersama. Tante Gendis yang tidak begitu mahir memasak, belajar banyak dari mama. Kehidupan mereka di Jakarta terlihat begitu sederhana, padahal di Surabaya, keluarga besar Gita tergolong keluarga pengusaha kaya. Mereka hanya lebih memilih menyembunyikan hal tersebut saat mereka menetap di Jakarta.

"Git. Itu... nggak pa-pa kalau Helen ngeliat foto itu?"

Gita nampak santai mendengar pertanyaan Daisy.

"Tenang aja. Gue nggak temenan kok sama dia." Gita menambahkan. "Lagian, kalau Helen tau, juga nggak masalah."

***

Hai teman-teman. Terima kasih kalian masih membaca cerita ini setelah sempat mandek. Dukung terus ya, kasih like dan ramein kolom komentar. Aku berharap banget bisa menyelesaikan cerita ini dengan hasil yang baik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro