Seventh Attempt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vote dan comment-nya. Untuk update lancar :)

Konflik masih disimpen2 dulu. Berhubung cerita ini juga cukup ringan.

Targetnya bisa selesai dalam 3 bulan. Semangat buatku dan buat kalian :)


Seventh Attempt


Giras menguap lebar-lebar sambil merenggangkan tubuh. Jam meja menunjukkan angka 12 lewat dan pekerjaannya mengecek kembali desain aplikasi yang dibuat tim, belum juga selesai. Sebenarnya tinggal sedikit lagi, kalau pekerjaannya tidak disambi menonton re-run serial Netflix. Kebetulan besok hari Minggu, dia bisa molor sampai siang.

Gelas yang semula berisi air putih dingin sudah tandas, jadi Giras beranjak dari meja kerja kecil di kamar untuk mengambil minum di dapur. Segelas es teh dingin atau sirup terlintas di benaknya. Mungkin lebih nikmat kalau ada cemilan. Sementara bunyi jangkrik dari halaman, terdengar bersahutan makin liar.

"Lampu kamarnya masih nyala." Giras melihat keadaan rumah sebelah. Tepat di depan kamarnya adalah kamar Daisy. Dia mendapat kepastian jika itu kamar Daisy sewaktu gadis itu membuka jendela, sore tadi. Secara tidak sengaja.

Daisy mungkin tidak berekspektasi seseorang akan memerhatikannya dari jauh.

Dan orang itu adalah Giras sendiri.

Satupun chat-nya tidak ada yang dibalas. Padahal Giras sungguh yakin kalau Daisy tahu nomor itu adalah nomornya, tanpa perlu konfirmasi.

Apa gadis itu lebih butuh konfrontasi langsung?

Sejak memutuskan pindah ke Jakarta, Gita sudah mewanti-wanti supaya Giras memerlakukan Daisy dengan baik. Tapi yang namanya kebiasaan usil, sulit diubah.

Si gadis pemalu telah naik tingkat menjadi si gadis pemarah.

Ketika kembali ke kamar, Giras mengecek ponsel. Mengalihkan sejenak perhatian ke arah laptop kemudian menyisir deretan chat, baik yang telah terbalas maupun tidak, karena beraneka alasan. Liz dan Rena sama-sama mengirimkan chat berbunyi hampir sama, yang menanyakan kabar. Tapi sekarang, Giras tidak sedang berada dalam mode buaya. Dua-duanya sudah resmi jadi mantan, dan dia masih belum berniat membuka diri untuk hubungan baru. Dia belum bisa serius, sementara dua perempuan itu, menginginkan hal sebaliknya.

"Memangnya ada perempuan yang dipacari untuk dimainin, Mas?"

"Adalah, Git. Perempuan yang nggak tertarik berumahtangga karena merasa nggak mampu mengurus suami dan anak. Tapi nggak dimainin juga. Kenal konsep just for fun doang?"

"Aku nggak mau Mas Giras jadi cowok bajingan ya."

"Aku milih-milih juga kali yang bisa diseriusin sama yang buat senang-senang."

Adiknya, Gita adalah salah satu perempuan paling protektif di muka bumi. Protektif terhadap kakak satu-satunya yang agak bandel ini, dan protektif pada perempuan-perempuan lain yang kemungkinan jadi sasaran just for fun-nya Giras. Apalagi Daisy. Gita sudah memberikan ultimatum, kalau Giras tidak boleh macam-macam terhadap sahabatnya.

"She's not my type, Git. Santai aja."

Yang artinya, Giras memang tidak punya intensi apa-apa ke Daisy selain menganggapnya sebagai adik yang harus dia jaga dari dirinya dan dari laki-laki lain yang bermaksud mendekati hanya untuk main-main.

But now what? He just started playin around with her. Ngirim-ngirim chat Whatsapp yang nggak guna itu dengan dalih main-main. Giras tidak tahu seberapa besar impact omongan isengnya, makanya dia minta maaf. Tapi malah didiamkan. Tidak ada respon.

Memang susah ya, mengontrol mulut isengnya. Padahal Mas Bambang itu kalau dipikir juga nggak payah-payah amat. Dia baik, perhatian, sopan, royal. Soal penampilan, juga masih bisa di-make over. Hubungan age gap, juga udah biasa.

Ya, walaupun kalau dipikir-pikir lagi, Daisy bisa dapat pasangan yang sesuai dengan seleranya. Laki-laki yang memang dia suka.

Dan yang pasti, bukan laki-laki buaya.

***

Daisy mematut dirinya di depan cermin. Pagi itu, dia berniat jogging sekalian mencari sarapan bubur ayam. Kemeja Converse hitam, sweat pants putih, rambut pendek yang diikat, juga handuk kecil untuk mengelap keringat. Botol air minum, sepasang running shoes New Balance yang dia beli karena IU menjadi BA-nya. Dia melakukan pemanasan kecil, menunggu Lily yang masih mencari kaus kaki.

Pagi masih terlalu buta untuk beraktivitas. Tapi Daisy ngotot melakukan dua putaran kompleks sebelum mencari sarapan. Jika Daisy butuh olahraga ringan untuk menjaga kondisi tubuh, Lily membutuhkan olahraga untuk menurunkan berat badan. Wajahnya masih chubby lucu, tapi Lily masih ingin menurunkan tiga sampai empat kilo lagi. Karena dia tidak ingin ada lipatan di bawah leher, perut dan lengan yang bergelambir.

"Nggak ngajak Mas Giras sekalian?" tanya Lily sambil memasang sepatu.

"Ngapain?" balas Daisy ketus.

"Ya kali biar olahraganya jadi semangat."

Daisy memutar bola mata. Adiknya ini, kecil-kecil sudah pintar flirting.

Lagian, Giras pasti masih bergelung di dalam selimut. Tipe cowok malas, yang selalu bangun siang karena tidur terlalu larut.

Daisy melirik ke halaman rumah sebelah. Pintu depan ternyata sudah terbuka, menyisakan pemandangan ruang tamu yang terang benderang oleh nyala lampu. Tante Elis biasanya sudah berada di halaman pada jam segini. Entah, menyapu halaman atau memeriksa bunga satu-persatu.

"Mau olahraga, Day?" Tante Elis berbasa-basi. Dikatakan basa-basi, karena nggak mungkin juga Daisy memakai pakaian olahraga untuk gaya-gayaan keliling kompleks, apalagi untuk iseng bertamu.

"Iya, Tan. Cuma jogging keliling kompleks aja."

Kalau saat ini hubungannya dan Giras baik-baik saja, Daisy mungkin sudah iseng menanyakan di mana Giras.

Tapi sepertinya Daisy tidak perlu repot-repot bertanya.

"Giras masih tidur. Semalaman begadang." Tante Elis tersenyum, mungkin berpikir informasi tersebut sangat penting. Padahal Daisy tidak peduli. Mau dia tidur, mau ngapain juga, itu bukan urusannya.

"Duluan ya, Tante."

"Oke."

Daisy mulai berlari-lari kecil bersama Lily. Sesekali mereka menguap karena masih ngantuk.

Beberapa penghuni kompleks juga ikut jogging. Suasana pagi jadi makin semarak.

"Kak, minggu depan jalan ke Senayan yuk?"

"Naik motor?"

"Iyalah. Kecuali Kakak kuat jalan kaki ke sana." Lily cengengesan setelah Daisy menoyor kepalanya. "Kangen makan bubur."

"Emang bubur Mas Tarjo belum cukup?"

"Bedaaa. Di Senayan, banyak jajanan."

"Bukannya kamu mau kurus. Ke Senayan kok mikirin jajanan?"

"Sesekali doang. Kan ada Kakak yang bantu ngabisin? Pengen icip-icip doang. Ya? Ya?"

Mereka sama-sama tidak begitu menyukai jajanan. Bukan tipe anak jajan yang setiap saat update di tempat makan baru yang sedang viral.

Lily baru bisa tenang setelah Daisy mengiyakan. Sudah lama juga mereka tidak menghabiskan waktu jalan-jalan bersama di luar. Nongkrong beneran, bukan sekadar pergi jogging dan setelah itu berakhir dengan makan bubur di gerobak Mas Tarjo.

Udara pagi yang segar, pemandangan yang menyegarkan mata lumayan menjadi penggembira perasaan. Masih tertumbuk di ujung revisian naskah, bukanlah hal menyenangkan. Daisy ingin segera terbebas sehingga dia bisa segera bersantai, melupakan sejenak revisian, sebelum lanjut ke naskah baru.

Melewati sebuah rumah berdesain wah, Daisy berdecak kagum. Rumah bergaya modern classic tersebut merupakan salah satu properti termewah di kompleks. Biasanya rumah semewah dan seluas itu, milik pengusaha sukses. Selain memiliki asset bernilai fantastis, sudah bisa dipastikan isi rekeningnya juga berlimpah.

Tapi Daisy tidak pernah bercita-cita memiliki rumah megah. Keinginannya sederhana saja. Memiliki sebuah rumah mungil dengan taman kecil di bagian depan. Hal yang utama bahwa rumah tersebut wajib memiliki ruang kerja, yang bisa digunakan untuk tempat menulis. Lalu tidak ketinggalan rak kayu berisi buku-buku favorit, termasuk novel-novel yang berhasil dia tulis.

Mungkin ditambahkan bathtub di kamar mandi, jadi dia bisa berendam sambil bermain sabun. Sesuatu yang hanya bisa dia lakukan sewaktu kecil dulu, di dalam baskom besar yang biasa dipakai untuk membilas cucian.

Kemarin, Dinda menunjukkan progress renovasi rumah yang sedang dicicilnya. Sebuah impian yang berhasil digapai, bermodalkan menulis.

Orang-orang mungkin tidak akan percaya bahwa sebuah pekerjaan yang mengandalkan imajinasi plus sebuah laptop, mampu menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan.

Tidak main-main. Ratusan juta bisa didapatkan hanya dalam kurun waktu beberapa tahun. Gaji manajer saja kalah.

Dia juga ingin seperti itu. Meski tabungannya baru saja melewati angka seratus juta rupiah. Dengan uang segitu, mana bisa membeli rumah?

Mau mengambil pinjaman, lantas bagaimana mengembalikannya?

Angan Daisy untuk memiliki rumah sendiri sebelum berusia 30 tahun, agaknya tidak bisa diwujudkan. Kalau mau cari aman, dia bisa meminta mama mencarikan jodoh laki-laki kaya, dan mapan. Wajah tidak perlu ganteng-ganteng banget. Yang penting menarik. Laki-laki yang memberikan sebuah rumah sebagai hadiah pernikahan. Dia bisa menata rumah sesukanya tanpa mengkhawatirkan soal cicilan. Memiliki ruang kerja khusus dan bathtub idaman, bukan lagi sebatas khayalan.

"Wei, Kak. Muter ke sini. Di situ jalan buntu." Lily menepuk lengannya sewaktu Daisy hendak belok kanan.

Gini nih kalau kebanyakan mengkhayal.

Sekitar seratus meter di depan mereka, sebuah gerobak lengkap dengan bangku sudah digelar. Beberapa pembeli sudah duduk mengemper dimana-mana, menikmati bubur. Sisanya masih mengantri mengelilingi gerobak. Tidak semua orang berpakaian olahraga, atau berniat olahraga. Ada yang datang hanya untuk membeli bubur. Hal itu mudah dikenali dari sandal yang mereka kenakan.

"Buburnya dua, Mas." Lily memesankan bubur, sementara Daisy menunggu di bawah pohon. Ponselnya dikeluarkan dari saku, memeriksa WA. Akhir-akhir ini, dia kerap dihantui bayangan Mbak Reski yang menunggu revisian. Dia khawatir editornya akan mengirimkan WA, meski setahunya, Mbak Reski tidak akan mengirimkan WA ketika tidak ada hal-hal yang penting-penting amat untuk dibahas.

Dentingan notifikasi baru.

Nitip bubur. Pake sate usus, sate telur puyuh. Sambel jgn lupa

Daisy menggerutu.

Emang gue jastip?

Tangannya sudah gatal mengetikkan balasan. Urung, jadi dimasukkannya lagi ponsel ke dalam saku celana. Daisy beralih meneguk minum, dan menyeka wajah menggunakan handuk kecil.

"Pake sate usus kan, kak Day? Untung aja masih kebagian." Lily menyodorkan semangkuk bubur panas bertabur topping cakwe, kerupuk, daun bawang, memenuhi mangkuk, menutupi permukaan bubur. Setusuk sate usus, menjadi pelengkap sempurna. Daisy tidak begitu doyan sate telur puyuh. Sementara Lily hanya memesan bubur dan bala-bala bertabur sambal botolan merah.

"Buburnya udah habis?" tanya Daisy sambil menyendok bubur. Sebagai penganut paham bubur tidak diaduk, dia berseberangan dengan Lily yang berkebalikan, tengah mengaduk-aduk bubur, setelah memakan kerupuk yang hampir berjatuhan dari mangkuk.

"Nggak tau, Kak." Lily menjawab lalu menoleh ke arah gerobak. "Kenapa, Kak? Mau bungkus buat orang rumah? Tapi kan Mama nggak mesan. Buat Papa ya?"

"Nanya doang." Daisy ragu apakah akan memesankan bubur atau tidak. Tapi, kalau dia pesan, nanti Lily bisa bertanya macam-macam.

Mereka menyantap bubur sembari mengobrol.

Sampai pandangan Daisy terantuk pada sebuah motor matic yang dikenali milik Tante Elis.

Oh, Crap!

Kenapa harus ketemu di sini?

Mana dia sedang keringatan dan bau? Belum lagi rambutnya yang pasti sudah berantakan tidak karuan.

Gaya si tetangga baru, juga sekilas terlihat belum mandi.

"Mas Giras?" kata Lily setengah berseru. Dia melambai ke arah Giras. "Maas! Di sini!"

Haishh...

Jam di tangan Lily menunjuk di arah jam 7.

Rajin ya, bangun pagi di hari Minggu.

Giras bergabung untuk mengantre di gerobak bubur bersama calon pelanggan lain.

Kesempatan itu digunakan Daisy untuk segera menghabiskan bubur ayamnya. Dia tidak mau sampai terlibat obrolan di tempat seramai itu.

Intinya adalah dia lebih baik segera menghindar. Terserah kalau Lily mau menunggu.

Ayo cepat, habis. Nggak usah kunyah. Langsung telan aja.

"Kak Day kenapa sih, makannya kayak dikejar hantu gitu? Santai dong."

"Kelupaan mau ngerjain sesuatu di rumah."

"Kan bisa nunggu barang setengah jam-an lagi. Tuh Mas Giras bawa kendaraan, kan bisa nebeng?"

"Nggak. Lo kalo mau tungguin aja sendiri."

Lily mengerutkan kening, heran menyaksikan kesibukan Daisy yang memang sudah ingin segera cabut dari situ. Nasib banget, nggak bisa menikmati bubur ayam kesukaannya dengan tentram damai.

"Nih. Bayar. Jangan lupa mangkuknya." Daisy menyelipkan uang lima puluh ribuan ke tangan Lily. Dia sudah siap-siap berdiri, mengambil langkah seribu. Sekilas, dilihatnya Giras masih mengantri. Bagus deh.

"Eh, eh, Kak."

"Apalagi sih?" balas Daisy tidak sabaran.

"Nggak nunggu Mas Giras?"

"Nggak usah."

Ngapain nungguin dia? Mau jadi bahan ledekan lagi?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro