Sixth Attempt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sixth Attempt


She was angry.

Giras tidak tahu jika Daisy bisa jadi se-sensitif itu.

Candaannya sejak dulu, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu. Tapi mau bagaimana lagi?

Ada sesuatu di dalam diri Daisy yang menarik untuk diusik. Atau memang wajah gadis itu yang terlalu innocent hingga berpotensi menjadi bahan ledekan?

"Anak itu memang begitu, Mbak. Saya jadi nggak tau, gimana arah tujuan hidupnya."

"Tapi jadi penulis itu juga pekerjaan bagus, Mbak. Kalau soal jodoh, ya nggak pa-pa kalau masih nyari-nyari." Tante Elis menanggapi perkataan Tante Rose dengan bijak.

Giras tidak sengaja mencuri dengar obrolan dua perempuan sebaya itu di dapur. Mengendap-endap pelan, seperti tidak ingin ketahuan.

Selalu seperti itu ya orang tua dimana-mana, yang merasa perlu membicarakan jalan hidup anaknya kepada orang lain.

"Saya pengennya dia bisa kerja kantoran. Kemarin ada lowongan di Kemenkeu, Day nggak mau ikut. Katanya enakan kerja dari rumah. Padahal sebenarnya dia mampu kok ikutan test, Mbak."

Giras berdehem ketika tiba di dekat meja tempat Tante Elis dan Tante Rose mengobrol.

"Daisy ke mana, Tan?" tanya Giras basa-basi. Dia sudah tahu, Daisy balik ke rumahnya. Dia sempat melihatnya sewaktu mengamati kolam ikan di halaman depan.

"Oh, nggak ada di halaman samping?"

"Nggak ada."

"Barangkali sudah pulang. Nah, iya. Tadi sudah ijin pulang duluan. Aduh, kok Tante bisa lupa? Gara-gara keasyikan cerita."

Giras hanya tersenyum tipis. Tingkah Tante Rose mengingatkannya kepada mama. Tanpa bisa disangkal, wajah mereka juga mirip.

Karena tidak mungkin memahami obrolan mereka, Giras berpindah ke ruang keluarga. Bergabung dengan Om dan nenek Ami yang saat itu juga tengah mengobrol.

"Mau kue, Mas?" Lily menuding ke arah piring berisi potongan lapis legit. Perutnya masih begah karena kebanyakan makan. Seperti enggan lagi menerima asupan makanan. Padahal kue lapis legit buatan Tante Elis tidak ada lawan.

"Nggak, makasih. Kamu makan aja."

Lily tersenyum lebar.

Wajah Lily sedikit berbeda dengan Daisy. Lily sedikit lebih gemuk, kulitnya juga sedikit lebih gelap dibandingkan sang kakak. Tetapi wajah oval, hidung bangir, dan mata agak sipit mereka sungguh serupa. Mereka mirip dengan Tante Rose yang kalau diperhatikan seperti memiliki ciri fisik perempuan Asia Selatan yang terkenal berkulit putih seperti susu.

"Bisa minta nomor hape Daisy?" tanya Giras akhirnya setelah sepuluh menit berlalu. Saat itu, dia tahu hanya langkah itu yang bisa dia lakukan. Daisy mungkin tidak ingin diganggu secara face to face, makanya Giras memutuskan akan melakukannya lewat telepon.

"Oh, aku kira Mas sama Kak Daisy udah sempat tukeran nomor?"

"Belum. Tadi kelupaan." Giras mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia ingin sekalian mengetes Lily, mau memberikan nomor Daisy atau tidak. "Nggak pa-pa, saya minta nomornya?"

"Oh, nggak pa-pa. Boleh kok."

"Ditanyain dulu."

"Nggak usah, Mas. Mana mungkin nggak dikasih?" Lily menerima uluran ponsel dari tangan Giras kemudian mengetikkan nomor di bagian kontak.

Lucu sekali mereka, seperti sama-sama orang asing. Malah minta nomor telepon dari orang lain. Sekalipun itu dari adiknya sendiri.

"Biar Kak Daisy ada temennya yang lain. Nggak cuma Kak Dinda."

"Dinda siapa?" tanya Giras, serius ingin tahu.

"Temen sesama penulis." Lily mengambil lagi potongan kue lapis, lalu mulai bercerita. "Kak Dinda itu satu penerbit sama Kak Daisy. Tapi lebih terkenal. Novelnya seru banget. Teenlit gitu, Mas. Tokoh-tokohnya terinspirasi dari member-member boygroup Korea. Mas tau NCT?"

"No."

"Super Junior? Exo? Atau Stray Kids? Tapi beda agensi. Kalau NCT, Exo sama Super Junior SM, kalo Stray Kids, JYP."

Giras menarik napas. Dia tidak paham bahasan Lily. Sama sekali.

"Kamu memang nggak baca tulisan kakak kamu?"

"Not my cup of tea. Aku nggak begitu suka bacaan dewasa."

Dewasa?

"Dewasa itu, maksudnya ada adegan dewasa?" tanya Giras, ingin memastikan.

"Nggak, bukan. Maksudnya, tokoh-tokohnya dewasa. Kisahnya juga tentang orang dewasa. Bagus sih tulisannya, cuma bukan seleraku. Tapi jangan bilang ke Kak Daisy ya? Aku ngaku kalau aku nggak suka baca novel. Padahal, aku hanya nggak mau Kak Daisy tahu kalau aku hanya suka tulisan Kak Dinda."

Giras mengerutkan kening. Apa Lily tidak mendukung kakaknya sendiri?

"Oh gitu ya?"

"Tapi aku tetap support kok. Aku sering promosiin di akun media sosialku, juga ke teman-teman. Soalnya Kak Daisy jarang update buat promo. Jadi aku bantu aja sebisaku."

"Oh."

Tidak ada yang bisa dia katakan selain itu.

"Mohon bantuannya ya, Mas? Soalnya, akhir-akhir ini, Kak Day suka ngelamun sendiri. Dia nggak punya banyak teman. Pacar juga nggak ada. Seenggaknya kalau ada Mas Giras, Kak Day jadi ngerasa punya lebih banyak teman. Gimana ya? Soalnya dia agak tertutup gitu. Kesannya agak anti social. Aku khawatir aja gitu, Mas. She really needs help."

Bahkan setelah berlalu bertahun-tahun, Daisy masih juga bermasalah terhadap kehidupan sosial.

***

"My CEO is my enemy."

"My Lecturer is my husband."

"My senior is my fiancé."

Satu-persatu Giras membaca judul-judul novel yang dia search di Google.

Daisy pernah menulis novel-novel dengan judul seperti ini?

For real?

Dia jadi tidak ingin tahu bagaimana isinya yang sudah pasti ajaib. Dunia imajinasi perempuan yang berisi segala hal-hal cheesy. Or ironic. Dia sudah bisa membayangkan episode demi episode telenovela berisi adegan hilang ingatan, kisah si miskin penjual lotere yang mendadak menjadi si kaya, yang menjadi tontonan nenek Mariam, neneknya dari pihak ayahnya. Maria something yang tokohnya berasal dari Mexico. Or Venezuela. Yah, negara-negara pemasok wanita-wanita cantik nan seksi yang kerap berlomba di ajang kecantikan seperti Miss Universe dan Miss World.

Dia bukannya hendak mengolok-olok.

No.

Setiap orang punya selera masing-masing. Sekarang hanya masalah selera.

Seperti yang dikatakan Lily.

Not my cup of tea.

Everyone have their own taste.

Dan selera itu tidak bisa dipaksa.

Tapi mohon maaf. Untuk sementara, dia tidak bisa meng-handle semua ini. Dia tidak bisa membayangkan menghabiskan waktu membaca lembar demi lembar tulisan fiksi semacam itu. Kepalanya bisa sakit.

"Are you sure you wrote all of these stuff, Daisy?" decak Giras.

Dia akan mengingatkan dirinya sendiri untuk mengonfirmasi hal ini langsung kepada si pembuat kisah aneh tersebut.

Makanya, Giras langsung menyambar ponsel, serta mengirimkan chat ke nomor WA Daisy. Dia butuh penjelasan. Apa hanya sebatas itu sisi intelektual seorang Daisy Atmariani.

Sejam dua jam, Daisy tidak menjawab. Chat yang dikirimkan tidak juga dibalas.

Tidak menutup kemungkinan jika Daisy masih marah padanya.

Maka, dia kembali mengetikkan chat berikutnya.

Masih marah?

***

Daisy tidak butuh waktu lama untuk memastikan bahwa dia tidak akan membalas setiap chat yang dikirimkan Giras. Dia tidak suka ledekan laki-laki itu. Dan dia hanya ingin secara langsung menegaskan kalau dia tidak mau menyelesaikan perkara hanya lewat ponsel.

Kalau mau, laki-laki itu harus datang menemuinya dan minta maaf, kemudian berjanji tidak akan meledeknya lagi tentang Mas Bambang.

Sampai sore, beberapa chat dari Giras, masuk secara beruntun.

Tapi Daisy berjanji tidak akan membalas. Sekarang, dia malah tengah asyik mengobrol dengan Dinda. Biar ketularan rajin, mungkin.

"Kamu lagi ngapain, Day?" tanya Dinda di seberang.

"Lagi nyantai aja."

Sejam lalu, Daisy merebahkan diri di atas tempat tidur sambil mendengarkan lagu-lagu John Mayer. Sekadar membangun mood, menuliskan bagian krusial dari novelnya. Dua hari lagi, naskah itu sudah harus disetorkan ke Mbak Reski. Atau naskahnya akan dipending terbit enam bulan lagi.

"Gue kira lo udah ngirimin ke editor yang gue kasih kontak kemarin."

"Belum bisa, Din. Aku udah lihat naskah yang rencananya mau aku masukkan ke situ. Pusing banget. Nggak tau mau mulai revisi dari mana."

"Sabar ya. Atau mendingan lo bikin cerita baru aja deh."

"Yeee...nggak bisa. Dua hari ini gue bakal sibuk banget. Revisi udah diminta sama Mbak Reski. Kalau gue nggak masukin revisinya hari sampai hari Selasa, naskah gue bakal dipending terbit sampai enam bulan."

"Wah gila. Editor lo sadis juga."

Bukan sadis. Aturannya memang begitu. Dinda belum pernah kena saja karena dedikasinya sebagai penulis diacungi jempol oleh editor. Tidak heran jika seorang Dinda Tiara menjadi salah satu penulis kesayangan penerbit. Dengan Daisy yang jadi bayang-bayang, hanya karena nama mereka yang mirip satu sama lain.

"Ya udah. Sekarang, gue mau fokus nyelesain naskah gue." Kenyataannya, Daisy berbaring di atas tempat tidur dengan pikiran seperti benang kusut.

Kapan dia bisa menjadi se-produktif Dinda?

Daisy membalikkan badan hingga tengkurap. Sebuah guling dipakai sebagai penyangga sembari dia membuka halaman dari sebuah novel hasil karya pengarang lokal bersampul kuning berjudul Reshine. Buku yang ada di tangannya adalah cetakan kesepuluh. Berawal dari platform oranye bernama Wattpad, dilirik editor penerbit tetangga yang dikenal sebagai power house publisher di Indonesia. Yang jadi mimpi terbesar bagi Sebagian besar penulis untuk bisa menerbitkan karyanya di sana. Tidak hanya itu, si novel kuning kabarnya akan segera diangkat ke layar lebar. Beritanya sudah ada sejak 2018, tepat setelah novel tersebut diluncurkan.

Nulis iseng-iseng, dilirik editor, laku puluhan ribu eksemplar, difilmkan juga.

Kalau menurut istilah yang viral.

It's my dream! My dream!

Siapa yang nggak mau jadi penulis sukses?

Dia sudah melepaskan kesempatan bekerja di kementerian demi memantapkan karir di dunia kepenulisan. Lalu apa yang dia dapatkan?

Gimana kalau dia gagal?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro