Twentieth Planting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Twentieth Planting

-Giras-

Bagi seseorang yang bekerja di perusahaan pembuat aplikasi, menggunakan aplikasi bukan sesuatu yang sulit. Karena mereka tidak hanya berperan sebagai user, namun lebih dari itu. Mereka menciptakan aplikasi. Dari pekerjaan itulah, Giras bisa mendapatkan penghasilan besar, membuatnya mampu mencapai level mapan tanpa mengandalkan orangtua.

Secara garis besar, setiap aplikasi memiliki persamaan dalam hal penggunaan. Aplikasi harus diunduh terlebih dahulu, kemudian diinstal sebelum bisa digunakan. Beberapa aplikasi membutuhkan izin dari pengguna, memerlukan setting. Semacam itu. Kemudian membuat akun sebelum bisa menggunakannya.

Khusus untuk Tinder, calon pengguna memerlukan aplikasi Facebook dan akun Facebook aktif untuk bisa membuat akun Tinder.

Giras sudah pernah memasang hingga menggunakan Tinder. Tapi itu dilakukannya dengan niat untuk mempelajari aplikasi tersebut. Sebagai penganut paham dating konvensional, dia merasa cukup percaya diri untuk mencari sendiri teman kencan di dunia nyata ketimbang mengandalkan bantuan aplikasi dating.

Lalu, kenapa kini dia malah sibuk menginstal kembali aplikasi tersebut di ponselnya?

Kalau untuk mempelajarinya, jelas bukan.

Menggunakannya pun rasa-rasanya tidak mungkin.

Mau ngapain dia di sana?

"Maaaas! Mas Giraaas!!"

Suara ketukan pintu berkali-kali diiringi panggilan nyaring dari luar kamar, disahutinya dengan malas.

"Masuuk!"

Seusai menjawab, pintu kamarnya terbuka sedikit.

"Sibuk ya?" tanya Gita. Mereka kini tengah berada di apartemen. Pukul delapan malam itu, mereka sudah selesai makan malam dan masuk ke kamar masing-masing.

"Nggak. Kenapa?" tanya Giras, menyingkirkan ponsel setelah menutup aplikasi dengan ikon api berwarna putih.

"Daisy ngirim chat barusan. Sepertinya, niatnya buat nyari date itu serius deh. Jadi gimana? Apa dibiarin aja gitu?" Gita lalu duduk di kursi kerja ketika Giras beralih duduk di tepi tempat tidur. "Aku khawatir aja dia kenapa-napa."

"Biarin aja. Dia kan udah gede? Udah bisa ngambil keputusan sendiri?" Giras masih terpikirkan sikap Daisy dalam perjalanan pulang. Dia nampak bersemangat membahas tentang rencananya. Dan meski Gita terus memperingatkan, jawaban Daisy selalu sama. Dia sudah dewasa dan bisa menemukan pasangannya sendiri.

"Tapi Daisy tuh polos, Mas. Umurnya memang udah dewasa, tapi pengalamannya soal ginian tuh, nol. Aku memang udah lama nggak ketemu dia, tapi aku rasa dia nggak pernah berubah. Dia masih seperti Daisy yang dulu. Yang nggak percaya diri, tertutup, pemalu, dan agak ceroboh." Keluh Gita.

Giras menghela napas. "Jadi, kamu mau ngapain sekarang?"

"Aku mau minta bantuan Mas."

"Kok kamu minta bantuan ke Mas?" Giras menunjuk dirinya sendiri. "Mas bisa apa? Kamu nggak bakal nyuruh Mas ngelakuin yang aneh-aneh kan?"

"Nggaklah. Aku hanya minta Mas ngawasin dia." Gita berhenti sejenak. "Aku tau, Daisy itu nggak mudah untuk didekati, tapi bisa nggak, Mas deketin dia dan bersikap seolah-olah Mas ini adalah temannya?"

Giras terkekeh. "Aku malah nunggu-nunggu kamu bilang, minta aku buat jadi pacarnya."

Gita memutar bola mata. "Itu sama saja menjerumuskan sahabat sendiri."

"Ya mendingan sama Mas yang sudah jelas buaya, daripada sama buaya yang belum jelas maunya apa."

Gita menyipitkan mata mendengar perkataan Giras.

"Serius deh, Mas. Jangan main-main." Gita bersedekap kemudian menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia diam, benar-benar berpikir keras.

"Doain aja Daisy dapat pasangan yang benar-benar sayang sama dia. Kamu sahabatnya kan? Kamu harus percaya sama dia."

Gita menggeleng. "Makanya karena aku percaya kalau dia nggak akan bisa ketemu orang yang baik lewat aplikasi itu, jadi aku nyari cara gimana dia mau ngebatalin rencananya."

"Itu namanya skeptis. Kamu tau kan, udah banyak pasangan yang berakhir menikah, yang awalnya kenalan lewat dunia maya?" Giras mencoba berpikir positif. Meskipun, kenyataannya dialah yang berpikir skeptis.

"Tapi yang kena tipu juga banyak! Mas mau, Daisy jadi salah satunya?" Gita memijit-mijit kepalanya. "Daisy yang jomlo, kok aku yang pusing ya?"

Giras berdehem. Dia sudah memikirkan solusinya.

"Oke. Gini aja. Biar Mas yang nganter Daisy kalau dia mau ketemuan sama date-nya." Solusi yang mudah, ringkas dan aman. "Mas akan mantau dari jauh. Kalau cowoknya macam-macam, dia bisa berurusan sama Mas."

Gita masih memikirkan rencana itu.

"Ya udah. Kalau gitu, aku harap Mas nggak ingkar janji."

***

-Daisy-

Makan malam itu berjalan seperti biasa. Anggota keluarga kecilnya berkumpul untuk makan bersama. Papa bercerita tentang angka penjualan yang tidak begitu baik bulan ini. Lalu, Nenek Ami yang mengatakan sudah lama tidak ke panti jompo, padahal mereka baru ke sana, beberapa hari lalu.

Mama masih menyimpan rapat soal pembicaraan mereka sore tadi, karena Daisy mengancam akan pergi dari rumah kalau mama mengatakan hal itu kepada papa. Lily yang sudah tahu, karena mencuri dengar, terpaksa harus menurut. Dia pasti keberatan jika harus mengurus nenek Ami sendiri. Meskipun usaha Daisy untuk merawat nenek Ami tidak se-intensif Lily, dia masih bisa diandalkan untuk urusan sekadar mengantar nenek Ami ke panti atau sekadar jalan-jalan keliling kompleks.

"Gue kenapa sih?" Daisy merebahkan tubuhnya yang terasa lelah.

Aplikasi dating itu bisa jadi solusi. Trus kenapa dia masih merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya?

Gita berusaha mencegah ide konyol itu, tapi kenapa malah Giras seperti tidak peduli?

Lalu, kenapa Daisy harus memikirkan respon Giras terhadap rencananya?

Apa dia berharap Giras melarangnya?

Tapi untuk apa Giras melarang?

Laki-laki itu bukan siapa-siapa. Bahkan untuk teman pun hubungan mereka tidak sampai di sana.

Giras hanyalah kakak Gita, sahabatnya.

Sejak dulu, Giras tidak pernah melihatnya sebagai perempuan, seperti yang mungkin dia taksir.

Sejak dulu, Giras tidak pernah tahu isi hatinya. Karena Daisy berpikir, mana mungkin Daisy berani mengatakannya? Dia takut akan perasaannya sendiri. Jadi, yang bisa dia lakukan hanya diam di tempat, mengubur perasaannya, kemudian bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Menurutnya, perasaan itu hanya bentuk simpati. Karena Giras baik, ramah, dan selalu berusaha melindunginya.

Ditambah lagi, sekarang sudah ada Helen di sisi Giras.

Daisy merasa hampa dan kalah.

Dia harus mencari kebahagiaannya sendiri.

Dia yakin, pasti ada jalan kalau manusia mau berusaha.

"Semangat, kamu pasti bisa." Daisy mencoba tertawa sementara satu-persatu airmatanya mengalir.

***

-Giras-

Giras tiba di kantor tepat pukul 08.00. Mungkin lebih cepat semenit. Begitu sampai di kantor, dia langsung menuju ke meja luas, tempat para karyawan biasa bekerja bersama-sama. Giras punya ruangan sendiri, tapi rasanya suntuk sepagi itu harus bekerja di ruangannya. Karyawan yang lebih dulu datang, bergantian menyapa. Tidak lama, Yus, OB kantor datang membawakan segelas kopi lengkap dengan dua potong roti Srikaya.

"Tambah ganteng aja, Bos!" Sapa Yus.

Giras tersenyum. Mungkin efek tanggal muda, suasana hati Yus sedang riang.

"Iya dong. Masih jomlo harusnya ganteng maksimal." Giras membalas sambil mengetik password Macbook-nya.

Ucapannya barusan, meski tidak terlampau nyaring itu, namun bisa didengar satu ruangan.

"Beneran masih sendiri, Mas?" Windy, salah satu karyawan bagian HRD melintas sambil mendekap map berisi fail. "Masih ada lowongan dong?"

Giras hanya tersenyum tanpa membalas. Tidak mendapat balasan, Windy memilih berlalu, masih tersenyum-senyum dari kejauhan.

Tidak semua jomlo membuka lowongan.

Dan tidak semua orang yang mengaku jomlo benar-benar berstatus jomlo.

"Yes!"

Angka unduhan game buatannya meningkat drastis. Di tengah maraknya bermunculan game buatan luar negeri, produk lokal masih bisa bersaing.

Hal itu tidak lepas dari kerjasama perusahaan dengan illustrator Amerika. Desain sangat penting, karena pengguna sangat menyukai visual yang menarik. Permasalahan yang paling umum seperti bug, sering nge-lag di game pendahulu, sudah dibenahi di game berikutnya. Khusus game buatannya, rata-rata ulasan memberi feedback positif. Ada beberapa ulasan negatif, tapi hanya seputar penggunaan fitur berbayar. Ulasan semacam ini biasanya datang dari pengguna baru yang belum paham betul bahwa tidak semua fitur game itu gratis. Hal itu bisa disiasati dengan memberikan diskon pembelian.

Sejam pertama, Giras hanya duduk santai, memeriksa konsep yang sudah dibuatnya, kemudian mengoreksi detail yang dirasa kurang cocok. Nantinya, konsep itu yang akan dikembangkan menjadi game, bekerjasama dalam satu tim, yang memiliki tugas berbeda-beda, seperti programmer, artist, animator, sound engineerhingga game tester. Awal memulai karir, Giras bekerja sebagai programmer merangkap sound engineer. Belakangan, setelah memulai bekerja di perusahaan start-up sebagai co-founder, dia menjadi application designer yang bertugas membuat konsep untuk dikembangkan menjadi aplikasi.

Baru saja kopinya habis, Yus sudah datang menawarkan gelas kopi kedua, namun Giras menolak. Katanya nanti saja kalau ingin minum kopi lagi, dia akan memanggil Yus.

Giras beranjak dari duduk untuk menyimpan tas di dalam ruang kerja. Dia sempat melihat ponsel, menemukan chat dari Gita.

Gita : Nanti bisa ikut makan siang bareng, Mas? Ada traktiran

Giras : Siapa yg traktir?

Gita : Daisy

Giras : OK

Gita. : Daisy ulangtaun. Jgn lupa bawa kado.

Pagi tadi, Gita mengatakan akan mengunjungi Daisy di rumahnya. Saat ini, mereka kemungkinan sudah nongkrong di satu tempat, di dalam mal. Atau sedang keliling berbelanja.

Mengenai kado, dia tidak punya referensi. Mana sempat mencari kado sementara dia masih sibuk bekerja.

Giras : Nggak sempat beli. Nanti aja nyusul

Gita : Hmm

Gita. : jadi gak makan siang bareng? Di dekat kantor Mas aja, biar gampang

Giras. : jam 12 teng. Telp aja kalo udh sampe. Ntar aku nyusul

Gita. : Okeee

***

-Daisy-

Gagasan untuk makan siang bersama tercetus saat Gita bertanya kapan mereka bisa makan bareng. Karena sekalian mau jalan, Daisy bilang saja, kalau dia akan mentraktir Gita makan siang. Secara impulsif, dia bertanya kalau Giras sempat ikut, diajak saja.

Ternyata Giras mau.

Mungkin tidak akan bisa sering-sering seperti ini. Jadi, saat ada kesempatan, mengapa tidak?

Daisy tidak bisa berlama-lama memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi, lantas mengapa dia tidak membiarkan saja semuanya berjalan apa adanya?

Dia harus belajar menganggap Giras sebagai teman. Dengan begitu, keadaan akan lebih baik. Dia tidak perlu harus selalu bersembunyi.

"Lo bilang aja mau kado apa, ntar gue beliin. Mumpung lagi di mal."

Daisy menggeleng. "Nggak usah repot-repot. Bisa ngerayain ultah gue sama lo, udah cukup buat gue."

Gita mengedikkan bahu. "Gue bakal tetap ngasih kado. Gue juga udah ngasih tau Mas Giras buat ngasih kado. Tapi katanya nggak sempat beli. Bakal nyusul, katanya."

"Ya ampun. Bisa-bisanya lo ngomong gitu ke Kak Giras."

"Nggak apa-apa. Lo tunggu aja kadonya."

"Beneran nggak usah pake kado, Git. Lo ada-ada aja deh." Daisy berhenti di depan gerai Boba. Sudah lama dia tidak jajan minuman itu.

Gita mengikuti langkahnya dan langsung memusatkan perhatiannya pada daftar menu minuman yang tersedia.

"Dulu, Mas Giras pernah ngasih kado, nggak?"

Daisy menggeleng. "Nggak pernah."

"Emang dasar pelit! Giliran sama ceweknya aja royal." Kata Gita sebal. Sejak dulu, Gita memang selalu curhat soal kebiasaan Giras yang suka menebar pesona. "Tapi, dia sih memang tipe yang mesti dimintain dulu baru ngasih."

"Gue nggak suka kado, sih. Makanya, mau dikasih atau nggak, buat gue sama aja." Daisy masih memilih-milih pesanan. Sampai akhirnya mereka sepakat memesan Boba brown sugar.

Daisy memeriksa ponselnya yang sedang bergetar. Dia sedang mencari match di Tinder. Mungkin saja notifikasi masuk dari aplikasi itu.

Giras : Happy Birthday. Aku punya hutang telur gulung kan dulu?

***

Ini aku jadi rajin nulis karena khawatir bakal hiatus lagi :D nasib penulis moody. Plus aku kalo punya kerjaan, jadi nggak bisa nulis.

Semoga kalian bisa terus dukung cerita ini ya. Aku lihat draft, ngitung jumlah kata, dan ini ceritanya udah lewat separuh jalan :D masih lama tamat, berarti :D

Mungkin kalian mikir, kok tiba2 Daisy pengen nyari date. Nanti aku jelasin alasannya di part-part berikut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro