Third Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun ketiga

16 Mei 20xx

Hari ini cuaca di daerah sini mendung dan sunyi. Kicauan burung tidak terdengar lagi sejak beberapa menit terakhir. Dari jendela kamarku, aku bisa melihat belasan orang berjalan tergesa-gesa menuju rumah mereka masing-masing. Haaahh ... cuaca memang susah untuk diprediksi akhir-akhir ini.

Sudah lumayan lama sejak aku terakhir kali menulis di buku diari ini. Rasanya sangat berbeda dibandingkan ketika aku menulis di buku lain. Bukan masalah kemampuan menulisku yang menumpul, tapi ini lebih kepada media tempatku menulis. Ada sebuah perasaan yang ... hilang.

Tahun lalu aku sudah memantapkan pilihanku untuk melanjutkan pendidikan di universitas sastra Jepang ternama di daerahku. Hampir semua anggota keluargaku menyetujui keputusanku yang terbilang cukup nekat itu. Tapi, Ayah agak sedikit kecewa ketika aku memutuskan untuk kuliah di sana. Katanya, jika aku bersekolah di sana, lapangan pekerjaan yang bisa aku dapatkan hanya sedikit.

Untungnya, pria itu akhirnya setuju dengan keputusan yang kubuat. Ini juga berkat bantuan Ibu dan kakakku yang ikut membela keputusanku. Ah, betapa beruntungnya aku berada di keluarga suportif ini.

Aku masih aktif menulis puisi hingga detik ini. Dan berkat jurusan perkuliahan yang kupilih, kemampuan menulisku juga ikut berkembang. Tapi, ada satu hal yang lumayan lucu. Spesialisasiku dalam menulis puisi adalah pada puisi-puisi cinta. Katakanlah aku ini sebagai pria melankolis, flamboyan, atau pujangga cinta jadi-jadian namun aku tidak akan menganggap.itu sebagai sebuah hinaan. Itu semua adalah fakta, dan ini semua kudapat karena satu orang.

Ya, itu karena gadis kelas sebelah di SMU-ku dulu....

Ah, aku tidak tahu lagi di mana gadis itu sekarang. Tapi yang kutahu, semua teman-teman sepermainannya melanjutkan kuliah di universitas terdekat dari SMU itu. Aku yakin, dia pasti kuliah di tempat itu juga.

Aku masih mengingatnya saat ini. Wajahnya, senyumnya, hingga tawanya yang khas itu masih membekas di ingatanku hingga hari ini. Semua bayang-bayang itu seakan tak ingin lepas dari alam bawah sadarku namun aku tidak terganggu dengan hal itu.

Tahun lalu, sebelum aku memasuki masa perkuliahan, aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Sebenarnya, semua siswa di SMU itu--bahkan siswa yang paling berandal sekali pun-- mendapat nilai yang baik semua pada ujian kelulusan sebelumnya.

Jadi, setelahnya akan diadakan acara kelulusan dan perpisahan siswa-siswi dengan sekolah satu bulan setelah pengumuman kelulusan.

Sehari sebelum acara kelulusan SMU, aku kembali memikirkan tentang gadis itu. Aku kembali membulatkan niatku untuk dapat bertemu dan mengajaknya bicara kelak. Jadilah, aku tidak bisa tidur semalaman karena hal itu dan berujung dengan munculnya mata panda di area mataku keesokan paginya.

Setelah pembagian plakat yang menandakan bahwa aku lulus dan sudah bisa berpisah dengan sekolah, aku langsung berjalan menuju kelasnya yang berada di sebelah kelasku.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku pun teringat kalau mereka telah lebih dulu melakukan pembagian plakat kelulusan dibanding kami. Ah, ini semua gara-gara wali kelas tua itu. Andai dia bisa lebih cepat datang ke kelas, aku pasti sudah bisa bertemu dengan gadis penarik perhatianku dua tahun yang lalu itu.

Tapi, pada saat itu, aku masih melihat adanya harapan. Semua siswa kelas gadis itu masih berada di halaman depan SMU karena ingin mengabadikan momen kelulusan mereka menggunakan kamera dan ponsel. Syukurlah, kesempatanku untuk bertemu gadis itu masih ada. Aku buru-buru menuruni tangga dan langsung berjalan cepat menuju halaman SMU.

Kelopak bunga sakura berjatuhan dan mewarnai tanah SMU ini dengan warna merah muda. Semilir angin musim semi ikut menampar wajahku yang tengah bergegas menuju halaman depan SMU. Beberapa kali aku juga berpapasan dengan teman sekelasku ketika tergesa-gesa menuju ke sana.

Akhirnya aku sampai. Aku memerhatikan rombongan kelas itu dari kejauhan. Dengan teliti, kulihat satu per satu siswa dan siswi yang ada di kelompok itu. Hatiku lumayan sakit ketika menyadari bahwa tidak ada gadis itu di sana. Ah, sial. Padahal, aku ingin sekali menyatakan perasaan cintaku kepadanya di atap sekolah pada hari itu juga. Namun nihil, takdir berkata lain. Perasaanku masih terbawa angin musim semi, dan belum bisa tersampaikan kepadanya.

Hari itu, aku pulang dengan perasaan gundah. Namun, aku tidak jatuh dalam kesedihan yang berlarut-larut karena aku tahu, aku harus tetap melanjutkan hidup. Kalau sudah takdir, mau terpisah hingga dua ujung dunia pun pasti akan tetap bertemu.

Untuk mengobati rasa rinduku, aku akan mengiriminya surat lagi tahun ini. Aku akan tetap memakai nama 'Tuan Musim Semi' sebagai nama samaranku dan di surat kali ini, aku akan menceritakan semua pengalamanku setelah lulus dari SMU. Aku tidak canggung lagi saat menulis surat ini. Tanganku seakan bergerak bebas ketika mencurahkan semua perasaanku di surat ini. Rasanya lucu sekali ketika mengingat diriku dua tahun yang lalu saat kesusahan ketika menulis surat untuknya pertama kali. Namun, waktu begitu mudah merubah banyak hal.

Setelah selesai, aku langsung mengirimkan surat itu ke alamat rumahnya. Buku biodata murid angkatan lumayan membantu kali ini. Semoga saja, di tahun ini, dia bisa membalas surat-suratku.

Namun, masih belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro