Fourth Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun keempat

16 Mei 20xx

Cuaca hari ini cerah, namun berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang mendung. Bunga lavender mekar dengan sempurna, berbeda jauh dengan kebahagiaanku yang makin menguncup dari hari ke hari.

Rasa sedih itu sebenarnya sudah lama hilang. Namun, rasa itu hari ini kembali muncul ketika aku membuka kembali lembar demi lembar tulisan-tulisanku di buku diari ini. Semua kenangan dari empat tahun yang lalu kembali menyerangku bagaikan bom waktu. Aku kembali mengingat kejadian-kejadian bahagia, lucu, menjijikan, dan manis yang pernah kutulis di buku ini.

Tapi, itu juga kembali membuka luka lama yang berusaha untuk kupendam mati-matian....

Ayahku meninggal dunia tahun lalu, pada suatu malam yang sunyi di musim gugur. Malam itu, kunang-kunang bahkan enggan bersinar demi mengantarkan jasad ayahku ke pembaringan terakhirnya. Ibuku menangis tak henti-hentinya saat itu. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh adik dan kakakku. Aku tidak bisa menangis lagi kala itu. Otakku masih belum bisa mencerna semua kejadian sial yang terjadi secara tiba-tiba ini. Ah, dasar penyakit jantung sialan.

Karena ayahku sudah meninggal, maka pemasukan untuk keluarga kami akan berkurang luar biasa drastis ke depannya. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa dan Bibi  serta kakak iparku juga hanya sekali-sekali saja membantu keluarga kami. Karena aku satu-satunya lelaki yang tersisa di keluarga itu, jadilah aku harus memutar otak sedemikian rupa untuk menambah pemasukan bagi keluargaku. Adikku masih harus sekolah dan aku juga masih harus melanjutkan kuliahku.

Untungnya, aku memiliki bakat di bidang sastra Jepang. Sejak tahun lalu, sudah banyak sekali puisi yang berhasil kubuat dan makin hari, kualitas tulisanku juga makin meningkat. Aku sepertinya harus mengucapkan ribuan ucapan terima kasih kepada pembimbingku di kuliah kelak.

Pernah suatu hari, seorang dosen pembimbing menemukan kumpulan-kumpulan puisi yang pernah kubuat. Aku tidak akan pernah menyangka bahwa aku akan mendapat reaksi yang sangat membanggakan darinya seumur hidupku. Dia merasa bahagia sekaligus bangga ketika membaca puisi-puisiku. Katanya, hatinya tersentuh ketika membaca bait demi bait puisi milikku itu. Ah, paling-paling lelaki tua itu hanya berusaha untuk menghiburku saja ketika menyadari bahwa aku sudah menjadi anak yatim sekarang.

Dia pun menyarankan kepadaku untuk mengunggah puisi-puisiku ke media sosial atau bahkan blog di aplikasi pencarian terkenal. Bakatku tidak boleh disia-siakan, katanya. Sebagai mahasiswa yang baik, aku pun akhirnya mengikuti saran dosen itu dengan baik dan mulai membuat akun pada berbagai aplikasi media sosial. Padahal, aku sama sekali tidak pernah tertarik untuk mengunduh, apalagi memakai aplikasi-aplikasi itu. Tapi, biarlah. Mencoba sesuatu yang baru tidak ada salahnya, bukan?

Aku mulai mengunggah satu per satu puisi yang kubuat di sana. Pertama-tama, masih belum ada komentar-komentar mengenai puisiku. Bahkan, aku curiga bahwa tidak akan ada yang mau membaca puisi-puisi tidak jelasku itu. Namun, seiring berjalannya waktu, akun-akun media sosialku mulai disesaki ribuan 'suka' dan komentar-komentar pujian terhadap puisiku. Aku merasa senang sekali. Belum pernah aku mendapat banyak sekali pujian seperti itu sebelumnya.

Akhirnya, setelah ada banyak sekali orang yang menyuruhku untuk tetap menulis puisi, aku semakin gencar untuk membuat puisi-puisi cinta yang baru. Puncaknya, pada suatu hari, aku berada di ambang kejayaanku. Aku menjadi perbincangan hangat di dunia maya, banyak orang mengenalku, ribuan pujian telah aku terima, dan banyak agen pemublikasian sastra berbondong-bondong mengincarku.

Aku tidak pernah merasa sehidup ini sebelumnya. Akhirnya, keadaan keluargaku kembali normal seperti semula. Malahan, keadaanku kini lebih baik dari sebelumnya. Tanpa kehadiran seorang ayah, ternyata aku masih bisa melanjutkan kehidupan.

Dan tentang gadis berambut hitam sebahu serta senyumnya yang sehangat mentari itu ... aku masih memikirkannya hingga sekarang. Memang benar kata orang, cinta pertama sangat sulit untuk dilupakan. Kondisi itu benar-benar terjadi kepadaku. Walaupun sudah empat tahun berlalu, namun wajah, postur tubuh, dan anak rambutnya yang terbang terbawa angin masih terngiang-ngiang di ingatanku hingga sekarang. Namun, ada sedikit rasa kecewa di hatiku saat mengetahui bahwa ia masih belum membalas suratku.

Tapi tak apa. Aku belum mau dan tidak akan pernah mau menyerah untuk mendapat balasan darinya. Tahun ini, aku akan kembali mengiriminya surat dan masih dengan menggunakan nama samaran yang sama seperti di tahun-tahun sebelumnya. Aku mulai menulis semua isi hati yang ingin kucurahkan kepadanya. Betapa aku ingin mengenalnya, betapa aku ingin menjalin hubungan lebih dalam dengannya, bagaimana aku bisa memilihnya dari sekian banyak gadis di SMU, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Anggaplah aku gila dan tak tahu malu namun aku tidak akan peduli. Aku akan terus mengejarnya sampai ia sendiri yang memerintahkanku untuk menyerah pada keadaan.

Namun, hingga kini, masih belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro