Twelfth Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun kedua belas

16 Mei 20xx

Haha.

Hai.

Tahun ini kelam. Haha.

Haha.

Haaahhh....

Sudahlah, menjadi gila tidak ada gunanya saat ini. Yang berlalu tidak bisa diperbaiki lagi. Kalau bisa pun, sudah dapat dipastikan bahwa aku sedang berhalusinasi.

Cuaca hari ini mendung dan sebentar lagi sepertinya akan turun hujan. Angin berhembus kuat hingga menimbulkan suara gesekan dari daun-daun pohon kesemek. Kucingku, Brutus, mendadak menggulung dirinya di sofa. Ah, sepertinya akan ada badai.

Bunga camellia mekar dengan sempurna di halaman belakang. Ah, aku tidak menyangka bahwa bunga itu bisa tumbuh juga. Padahal, kemarin aku tidak terlalu serius saat menanam dan merawatnya. Ah, tapi aku bersyukur bunga itu bisa tumbuh dengan sehat. Warnanya begitu memanjakan mata.

Ah, camellia. Penolong imam. Bunga yang selalu merefleksikan hubungan antara seorang wanita anggun dan pria tangguh yang menopangnya. Huh, kenapa hal ini malah mengingatkanku akan kejadian buruk itu lagi?!

Aku sebelumnya telah berjanji kepada diriku sendiri agar tidak menjadi emosional saat menulis di buku ini. Tapi, argh! Aku menyesal telah membahas bunga itu lagi.

Satu tahun ke belakang bukanlah tahun yang baik bagiku. Banyak sekali kejadian tidak menyenangkan yang aku alami. Aku ... lelah. Aku lelah menghadapi tahun ini. Cih.

Haruskah aku menuliskannya di buku ini? Haruskah aku memaksa buku diari tua dan lusuh berumur belasan tahun ini untuk mendengarkan curhatanku? Haruskah?

Haha.

Seperti yang pernah aku tulis dulu, lebih baik didengarkan oleh sebuah buku daripada oleh orang lain. Kalimat itu cocok sekali untuk digunakan saat ini. Aku telah kehilangan simpati kepada rasa kemanusiaan.

Tahun lalu, pada bulan Agustus yang panas, semua segi kehidupanku langsung berputar tanpa beban.

Masa itu, bulan itu, hari itu, ketika seharusnya orang-orang pergi ke festival musim panas yang diadakan di pusat kota, aku malah mendapat kabar bahwa ibu mendadak pingsan di kamarnya.

Masa itu, bulan itu, hari itu, ketika seharusnya gadis-gadis dan bocah-bocah kecil pergi ke bukit belakang sekolah dan berlomba-lomba untuk menangkap jangkrik, aku malah mengemudi dan membelah jalanan siang hari seperti orang gila.

Masa itu, bulan itu, hari itu, ketika seharusnya para pasangan muda berkencan di pantai sambil melihat festival kembang api, aku malah menjaga ibu di rumah sakit dengan rasa bersalah yang membuncah.

Masa itu, bulan itu, hari itu, ketika seharusnya orang-orang menghabiskan waktu-waktu di musim panas mereka yang tersisa beberapa hari dengan bersenang-senang, aku malah menangis.

Aku menangis. Aku menangisi kepergian Ibu. Aku menangis meraung-raung di kamar rumah sakit hingga membuat dokter yang ada di sana harus menenangkanku.

Ibu kini sudah pergi. Sebuah tamparan keras untukku yang sudah durhaka kepadanya. Aku yakin, di saat-saat terakhirnya, ia pasti masih sempat memikirkanku. Tapi aku? Yang kupikirkan saat itu hanyalah tentang ucapannya tempo hari yang memaksaku untuk cepat-cepat mencari pasangan hidup.

Aku marah kepada diriku sendiri. Kala itu adalah titik paling rendah di hidupku. Sudah cukup aku kehilangan banyak orang berharga di hidupku. Ayah, Rui, dan sekarang Ibu. Aku benar-benar lelah dengan keadaan saat ini.

Di saat-saat terakhirnya pun, aku belum sempat meminta maaf kepadanya. Aku merasa benar-benar bersalah. Ya Tuhan, kenapa sekarang hidupku malah penuh drama seperti ini?

Ah, sial!

Hng.

Haaahhh....

Aku baru sadar satu hal ketika menulis paragraf ini. Dulu sekali, saat aku masih duduk di kelas dua sekolah dasar, Ibu pernah berpesan bahwa aku harus tegar dalam menghadapi segala hal dan masalah yang ada di hidupku. Aku adalah lelaki dan tidak ada salahnya menangis. Namun, yang harus dilakukan oleh seorang lelaki di akhir cerita adalah bangkit dan menghadapi masalah-masalah tersebut dengan senyuman.

Dan ya, sepertinya aku harus menuruti ucapannya itu. Aku sudah terlalu banyak membantahnya hingga kabur darinya. Dan kini, satu-satunya cara yang mungkin bisa membahagiakannya adalah mengikuti pesannya. Ah, ini sebetulnya sangat-sangat belum cukup untuk membahagiakannya. Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan? Adikku saja bisa tetap tersenyum, kenapa aku tidak?

Haaahhh....

Untung aku tidak menjadi gila pada saat itu. Orang-orang datang dan pergi. Jadi, aku harus merelakannya sekarang.

Dan ya, duri ini meninggalkan luka, namun setidaknya sudah pergi dari hatiku.

Yah....

Ah, ngomong-ngomong soal wanita, akhir-akhir ini aku semakin jarang memikirkan tentang si Nyonya Musim Semi. Apakah ini pertanda bahwa aku harus merelakannya seperti aku merelakan kepergian Ibu?

Tapi, aku benar-benar mencintainya. Aku sudah berumur dua puluh delapan tahun, namun masih percaya dengan cinta pertama. Aku memang bodoh sepertinya. Tapi tak apa, aku suka menjadi bodoh jika seperti ini caranya.

Tahun ini pun, aku akan kembali mengirimkan sepucuk surat kepadanya. Aku akan menyapanya, menuliskan kejadian-kejadian apa saja yang terjadi kepadaku selama satu tahun belakangan, dan mengajaknya untuk berteman.

Semoga saja dia belum menikah dan semoga saja dia membalas suratku yang kedua belas ini. Tolong balas!

Namun, hingga kini, masih belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro