Eleventh Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun kesebelas

16 Mei 20xx

Haahhh ....

Aku malas. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Semangatku untuk hidup hilang begitu saja.

Cuaca hari ini cerah, kontras sekali dengan suasana hatiku yang hitam putih. Bunga poppy mekar dengan sempurna, bertolak belakang sekali dengan keinginanku untuk hidup yang kian layu.

Haahhh ....

Harusnya aku tidak perlu membuka buku diari ini tadi. Ketika membaca ulang catatanku tahun lalu, rasa kecewa itu kembali mendobrak masuk.

Ah, tidak tidak. Pekerjaanku baik-baik saja. Semakin baik, malah. Hubunganku dengan Rui juga masih terjalin. Penggemarku kian bertambah, popularitasku menjulang tinggi, dan semakin banyak orang yang menyukaiku.

Tapi masalahnya hanya satu. Di balik hal-hal yang baik-baik itu, banyak sekali hal buruk yang menimpaku tahun ini. Rasanya aku mau bunuh diri saya jika tidak dilarang.

Ditambah, aku sekarang sudah pisah rumah dengan Ibu. Aku ... bertengkar hebat dengannya beberapa bulan yang lalu. Tidak ada seorang pun di antara kami yang mau saling menyapa ketika bertemu. Tapi, yah, mengubah keadaan saat ini susah sekali rasanya.

Di usiaku yang memasuki dua puluh tujuh tahun ini, wanita itu menyuruhku untuk cepat-cepat mencari pasangan hidup. Katanya, aku sudah mapan, sudah memiliki pekerjaan yang tetap, memiliki wajah yang lumayan, dan sudah memasuki usia yang matang.

Tidak. Aku belum mau menikah. Tapi, bagaimana pun aku menentangnya, ia selalu membujukku tanpa lelah. Wanita itu bahkan sudah belasan kali memperkenalkan anak sahabatnya kepadaku. Tentu saja aku menolaknya! Menikah saja aku belum mau apalagi dijodohkan.

Karena itu pula lah keadaan di rumah menjadi panas. Hampir setiap hari aku bersitegang urat dengannya. Di pagi hari aku akan perang mulut, sedangkan di malam hari aku sebisa mungkin menghindarinya. Aku tidak ingin dipaksa. Tak apa, aku sadar kalau aku egois.

Kemana perginya kondisi rumah yang aman, tentram, dan damai? Kemana perginya rumah yang aku anggap sebagai tempat untuk kembali? Kemana perginya ... aku yang dulu?

Ah, semakin aku pikirkan semakin runyam pula lah keadaannya. Puncaknya, pada awal musim semi, ketika seharusnya semua orang bersenang-senang menyambut mekarnya bunga, kami malah saling memutus hubungan.

Masih tercetak jelas kejadian tidak menyenangkan di hari itu. Aku yang dikuasai oleh emosi berusaha untuk mengangkat koperku dengan beringas ke luar. Adikku menangis sambil berusaha membujukku agar mau mengubah pikiran.

Sayangnya, aku tetap kekeuh dengan keputusanku. Aku akan pergi dari rumah ini. Lihat saja, wanita itu bahkan tidak menahanku sama sekali untuk pergi. Sebuah keputusan yang sangat tepat, bukan?

Sayangnya tidak. Aku sekarang malah merindukannya. Argh, aku ini kenapa sih sebenarnya?!

Dan lagi ....

Ketika acara reuni SMU tahun kemarin, aku memutuskan untuk datang. Aku sudah memesan jas terbaik ke salah satu penjahit terbaik di kota. Aku juga sudah membeli parfum mahal via daring. Rambutku kupotong rapi dan sepatuku kusemir dengan telaten.

Ya, tempatnya berubah. Setelah dipikir-pikir, sepertinya memang tidak etis jika menggelar acara reuni di pantai. Reuni mana yang salah satu urutan kegiatannya adalah berenang di pantai?

Aku berharap banyak pada acara kali ini. Sayangnya ... ah ....

Aku datang dengan percaya diri sambil membawa sebuket bunga. Ini sebenarnya disuruh oleh penyelenggara kegiatan, bukan murni inisiatifku sendiri. Kabarnya, bunga itu akan diberikan untuk penghormatan. Tapi sampai sekarang, aku tidak tahu penghormatan seperti apa yang dimaksud. Mengikuti acaranya saja aku ogah-ogahan, apalagi menyimak pelaksanaannya dengan teliti.

Niatku pada awalnya adalah bertemu dengan si Nyonya Musim Semi. Gadis pertama yang membuatku merasakan apa itu jatuh cinta. Gadis pertama yang membuat kupu-kupu di perutku ingin terbang keluar. Gadis pertama ... yang aku sukai.

Namun, saat di sana, mau seberapa telitinya aku mencari, aku tidak menemukannya. Gadis itu tidak datang.

Kecewa. Aku kecewa. Pria mana yang tidak kecewa jika menjalani skenario sepertiku tadi?

Ah, moodku makin memburuk saja saat aku menceritakan hal ini. Bukannya merelaksasikan pikiran, aku malah membuka luka lama lewat buku ini. Dasar bodoh!

Pula, pada tahun ini aku akan mengirimkannya surat ... lagi. Aku memang bodoh karena tidak pernah kapok walaupun suratku belum ada yang dibalas.

Tapi aku suka menjadi bodoh dalam hal itu.

Aku akan menyapanya, menanyakan alasannya mengapa ia tidak mendatangi reuni itu, mengajaknya untuk berteman untuk yang kesekian kalinya, meyakinkannya bahwa aku berada di umur yang sama dengannya, lalu mengakhiri surat itu dengan ucapan selamat tinggal khusus dari Tuan Musim Semi.

Tapi ....

Hmm ....

Sepertinya aku akan berhenti menulis di buku ini. Tapi ... kapan?

Ah, baiklah, aku akan berhenti menulis ketika menerima surat balasan dari Nyonya Musim Semi. Aku bersumpah. Buku, jadilah saksi bisu sumpahku sekali lagi!

Dan lagi, semoga suratku dibalas tahun ini! Aku sudah muak menulis di buku ini. Terus melanjutkan catatan tahunanku sama saja dengan menaburkan garam di luka yang menganga. Sakit.

Jadi, tolong, Tuhan, berikanlah aku satu saja balasan darinya!

Namun hingga kini, masih belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro