Tenth Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun kesepuluh

16 Mei 20xx

Hai.

Ini adalah tahun kesepuluh aku menulis di buku diari tua ini. Sejak tahun lalu, tidak banyak hal yang kutulis di buku ini. Yah, palingan hanya puisi-puisi singkat saja. Tidak lebih.

Hari ini hujan turun dengan deras. Awan menggelap dan angin berhembus kencang. Pohon ceri di halaman belakang bahkan sempat tersambar petir tadi. Ah, padahal tingginya tidak seberapa dan masih banyak pohon lain yang lebih memungkinkan untuk disambar. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Petir memilih pohon itu di antara pohon-pohon yang lain. Takdir.

Ah, bicara apa aku.

Makin hari pikiranku makin tidak jelas saja sepertinya. Tapi tak apa, selama belum terlalu berbahaya, aku tidak perlu berkunjung ke Tuan Psikolog yang kantornya berada di dekat toko manisan di pusat kota.

Bunga sakura tampak bermekaran dengan indah dan aku menyukainya! Hal yang paling kusuka dari hal ini sudah pasti tentang mochinya. Kue manis itu pasti cocok untuk dimakan bersama dengan teh hijau dan mochi sakura buatan Ibu tidak pernah mengecewakan.

Ah, iya, saluran-saluran di televisi juga tak mau kalah untuk menyiarkan kegiatan melihat bunga sakura di taman-taman kota. Saat menulis ini, aku mulai berpikir kalau hal tersebut sepertinya menyenangkan. Sepertinya aku harus melakukan kegiatan itu juga kapan-kapan.

Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali pergi ke taman kota untuk melihat bunga merah muda itu. Hmm ... sepertinya terakhir kali aku pergi menengok bunga itu adalah saat aku masih berada pada tingkat junior di SMU. Itu pun bersama Ibu dan Ayah. Baiklah, kapan-kapan aku akan pergi ke sana lagi!

Hng, aku jadi kembali lagi ke saat-saat di mana Rui mengucapkan salam perpisahannya kepadaku. Kala itu, kami berpiknik di atas bukit sambil menangkap kelopak-kelopak sakura yang berjatuhan. Aku ingin mengulangnya, tapi mustahil. Buku ini satu-satunya saksi bisu tentang kejadian itu. Ah, terima kasih banyak karena telah mau mendengarkan ceritaku pada saat itu, Buku!

Kudengar, dia kini bekerja di sebuah toko roti di distrik lain. Ia bekerja di bagian pemanggang dan harus berhadapan dengan oven serta tungku bakar setiap hari. Untunglah dia bahagia dengan pekerjaan barunya itu setelah beberapa kali tidak cocok dengan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.

Ternyata, walau sudah pergi untuk mencari pekerjaan di kota lain, lulusan jurusan sastra Jepang tidak terlalu dibutuhkan dewasa ini. Yang ada, dia malah banting arah ke toko roti. Tidak masuk akal, namun setidaknya lebih baik daripada tidak memiliki pekerjaan sama sekali.

Ketika mendengar kabar Rui, aku menjadi bersyukur karena bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat dan tanpa perlu bersusah payah melamar kerja ke sana kemari. Entah hal itu sebuah keberuntungan bertumpuk atau apa, aku benar-benar bersyukur karenanya.

Aku juga mendapat desas-desus bahwa SMU-ku akan melakukan reuni di bulan depan. Rencananya, acara tersebut akan dilaksanakan di pantai.

Hmm, aku tidak terlalu suka pergi ke pantai. Bau anyir air laut, panas matahari yang langsung menyengat kulit, butiran-butiran pasir yang kadang masuk ke dalam bajuku, dan lain sebagainya. Aku lebih suka pergi ke perpustakaan atau melihat pemandangan dari atas bukit.

Haha, khayalanku semakin tidak jelas saja dari hari ke hari. Mana mungkin mereka mau melakukan reuni di perpustakaan. Yang ada, para pengunjung tempat itu pasti akan terganggu dengan kehadiran kami. Acara reuni macam apa yang tidak berisik dan riuh?

Sebenarnya, jika menarik garis besar, aku tidak suka dan tidak berniat pergi ke acara tersebut. Aku sudah memutuskan kontak dengan banyak kawan SMU-ku.

Ah, tidak tidak. Bukan aku, tapi takdir. Hanya beberapa orang saja dari kelasku yang masih menetap di kota ini. Itu pun tidak banyak, hanya dua orang dan kedua-duanya adalah perempuan ... dan sudah menikah. Bisa mati aku jika mengajak mereka mengobrol dan bercanda ria. Suami mereka pasti akan langsung memburuku.

Namun, pada akhirnya ada satu hal yang membuatku bisa mengumpulkan segenggam niat untuk pergi ke acara tersebut. Si Nyonya Musim Semi. Aku ... benar-benar merindukannya. Yang kuinginkan hanya satu, yaitu bisa melihat wajahnya sekali lagi.

Tapi, aku juga sadar bahwa bisa saja dia tidak datang ke acara itu. Mungkin saja dia sudah berada di luar negeri, terlalu sibuk mengurus anak, atau yang lebih parah lagi, tidak diperbolehkan pergi oleh suaminya.

Hmm ....

Ah, tidak! Aku tidak mau merebutnya dari suaminya. Apa-apaan pemikiran seperti itu?!

Tak apa, jika belum dicoba maka aku tidak akan tahu bagaimana hasilnya nanti. Aku memutuskan untuk datang!

Sebelum aku pergi ke acara tersebut, aku akan mengiriminya sepucuk surat lagi. Sebuah hal yang kini menjadi kegiatan rutin untuk dilakukan setiap tahun. Aku akan menyapanya, mengajaknya untuk pergi ke acara reuni, dan mengakhiri suratku dengan ucapan sampai jumpa ala Tuan Musim Semi.

Balas! Balas! Balas! Semoga dibalas, Ya Tuhan!

Tapi ... huh ... hingga saat ini, masih belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro