16. Bed Buddies

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Baby when we touch, feels like you were made to take all my love. Something about you I can't get enough.'

-Reed Wonder ft Aurora Olivas-

***

Mengendarai sepeda motor sewaan, Poppy merangkul pinggang Heath membelah jalanan Epar.Od.Mikonou menuju destinasi terakhir sebelum kembali ke London besok. Pantai Ornos yang berada sekitar tiga kilometer dari hotel merupakan salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi turis. Sehingga mau tak mau, Heath membawa Poppy pagi-pagi buta ke sana.

Selepas perjanjian mereka semalam, sebisa mungkin tidak ada yang menyulut pertengkaran. Poppy juga terlihat jauh lebih jinak atau lebih tepatnya menahan diri agar tidak melawan apa yang dikatakan Heath.

Heath melirik gadis berkacamata hitam itu melalui spion kiri motor. Poppy mengedarkan pandangan dengan mulut menganga lebar seperti anak-anak yang tidak pernah diajak naik sepeda motor. Heath terkikik geli lantas sebelah tangannya menarik dan mengisi sela-sela jemari Poppy membuat gadis itu menumpukan dagu ke pundak, "Apa?"

Heath menggeleng tanpa melepaskan genggaman tangannya.

"Heath, apa masih jauh?"

"Tidak. Pantainya di sana," tunjuk Heath dengan tangan yang masih menyatu dengan milik Poppy. Tanpa diduga, lelaki itu menempatkan tangan Poppy ke dada kemudian menciumnya lembut.

"Heath!" seru Poppy kaget sekaligus salah tingkah. Dari kaca spion pipinya bersemu merah mirip buah apel yang matang di pohon. Menggemaskan. "K-kau..." Dia menenggelamkan diri di balik punggung Heath, menghindari kontak mata. "Don't be silly, Dumbass," gumamnya sepelan mungkin.

Setibanya di pantai Ornos, Heath membantu merapikan gaun mini rufle off shoulder putih yang dikenakan Poppy. Tidak hanya itu saja, Heath juga menyisir rambut panjang Poppy yang agak berantakan akibat tertiup angin.

Poppy terpaku bukan main mengetahui sikap Heath berubah melebihi 360 derajat. Dia bergerak mundur, bergidik ngeri sebab belum terbiasa seorang pria sejahat Heath mendadak selembut kapas. "Are you okay?" tanya Poppy. "Sejujurnya aku agak takut kau terlalu serius memerankan peranmu, Heath. Ini hanya tipuan oke."

Meski tidak tercetus dari bibirnya, hubungan kami setidaknya naik jadi teman saling menguntungkan kan? Apa sekarang berubah lagi, dari bed baddies ke romantic baddies?

Bola mata Heath memutar sambil mencebik pelan. "Kau lebih suka aku marah?"

"Tentu." Poppy berdeham salah tingkah kala Heath melotot sinis. "Entahlah ... kau tahu kan setiap hari aku mengenalmu sebagai tukang emosian yang bisanya menginjak penis pria?"

"Aku tidak seperti itu," elak Heath menyugar rambutnya. "Semua ada alasannya."

"Tapi—"

"Remember, Pearson. No fight. No argue," sela Heath menyambar tangan Poppy dan menggandengnya posesif. "Kau mau berdiri di sini sampai siang atau kita bersantai di sana?"

Bibir Poppy mengerucut lalu menunjuk arah kursi jemur yang masih kosong.

"Good girl."

Biru dan jernihnya air laut bagai kolam kristal memanjakan Poppy begitu mendapat tempat berjemur yang memiliki payung-payung putih nan berumbai. Sejauh mata memandang bukit-bukit yang mengelilingi pantai berhias bangunan hotel, vila, maupun rumah penduduk bercat putih juga berpintu biru. Burung-burung camar terbang ke sana ke mari sementara kapal-kapal pesiar berjejer rapi seperti sedang rehat sejenak sebelum kembali mengantar para turis.

Poppy melepas gaunnya, menyisakan bikini warna sage dengan atasan bergaya halter dan bawahan bertali di kiri dan kanan. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah buku romasa klasik—Wuthering Heights—karya Emily Bronte milik Alexia yang pernah dibaca di pesawat.

Sesaat, Poppy melirik Heath yang sudah memakai celana pendek hitam serta bertelanjang dada. Bagai medan magnet, Poppy tidak bisa mengalihkan atensinya dari ukiran tinta hitam bercorak tengkorak. Sungguh bekas-bekas parut di sepanjang punggung Heath mengusik pikiran Poppy. Setiap waktu. Setiap detik. Setiap napas yang berembus.

Sialnya, sebanyak apa pun pertanyaan yang terlontar, tidak pernah ada jawaban pasti. Justru perselisihan berujung percintaan kerap terjadi. Sementara menurut Poppy tidak semua amarah harus dilampiaskan ke hal-hal berbau seksual. Dia butuh komunikasi dua arah agar segalanya jelas terkait apa yang terjadi pada masa lalu Heath.

"Apa Joey tahu?" gumam Poppy bersamaan Heath memutar tubuhnya.

Otomatis Poppy gelagapan dan buru-buru berpura-pura membaca buku. Dari balik bulu mata lentiknya, Heath mendatangi dan membungkuk tuk mendekatkan bibir di telinga.

"Aku tidak tahu kau jago membaca buku secara terbalik, Pearson."

Fuck!

Rona merah menyembur di pipi Popy menyadari kebodohannya. "Y-ya ... kadang-kadang aku baca buku terbalik untuk melatih otakku," kilah Poppy terbata-bata menghindari iris abu-abu Heath yang menguncinya penuh selidik.

Heath terkekeh pelan. "Tunggulah di sini, aku mau berenang sebentar." Dia mencium pipi Poppy yang menyebabkan jantungnya langsung menyentuh pasir pantai tanpa aba-aba.

Fuck fuck fuck!

Lelaki itu—si bajingan—yang bermetamorfosis layaknya kekasih—tanpa rasa bersalah—berlari menuju pantai seraya melambaikan tangan ke pria tua yang menjajakan donat. Heath mengeluarkan selembar uang lalu mengarahkannya ke Poppy sambil tersenyum manis.

Pupil Poppy melebar manakala pria tua di sana berjalan tertatih-tatih dalam setelan casual menghampirinya. Sungguh, ekspresi Heath yang setiap hari selalu serius dan berlagak ingin membunuh orang kini lenyap tanpa jejak. Dia lebih banyak tertawa dan tampak lebih ramah kepada orang lain. Poppy bertanya-tanya apakah Mykonos benar-benar mengubah kepribadian Heath?

Dan itu menyeramkan. Lebih seram daripada dikejar zombie.

"Kekasihmu memintaku memberikan dua donat ini untukmu, Nona Manis," kata si pria tua. "Dia bilang kau harus makan selagi menunggunya berenang."

Apa dia bilang? Kekasih?

"Oh, t-thanks," ucap Poppy menerima dua donat berukuran besar bertabur gula halus yang dibungkus kertas roti.

"Semoga harimu menyenangkan!"

Lambaian tangan lelaki itu dibalas Poppy senyum lebar sembari menggigit donat yang sialan enak. Perpaduan gurih dan manis melebur jadi satu di lidahnya, ditambah Heath sempat membelikan beberapa botol bir dingin yang pastinya cocok sebagai pendamping donat.

Berusaha fokus pada bacaan, nyatanya minat Poppy lebih condong ke Heath yang asyik berenang di pantai. Selain postur tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang eksotis bak mutiara yang baru diasah menjadikannya begitu kontras daripada beningnya laut Ornos. Lekuk badan Heath yang terpahat sempurna bagaikan jelmaan Apollo memang menggiurkan mata semua kaum hawa. Ditambah tato tengkorak cukup mencolok membuatnya lebih mudah dikenali daripada lelaki mana pun.

Tanpa disadari Poppy, mulutnya menganga nyaris meneteskan air liur mengawasi setiap pergerakan Heath di sana. Lebih-lebih saat Heath keluar dari area pantai dengan kulit basah juga ...

Oh damn ... pangkal pahanya, Poppy .... His cock's damn sexy as hell!

Should I call it my mercy?

Dewi batin Poppy bersorak selagi menaik turunkan alisnya penuh arti dan menyikut Poppy. Dia berbisik kalau sebuah jackpot besar bisa merasakan itu Heath hanya untuknya.

My mercy.

"Jangan berlagak seperti kau itu pelacur," gumam Poppy pada dirinya sendiri. "Tapi, nyatanya pikiran dan tubuhku berubah menjadi jalang saat dia datang."

Kening Heath mengernyit menilik Poppy tak berkedip sama sekali juga bergumam sendiri. Dia menggoyang-goyangkan tangan di depan muka gadis yang merona tersebut lalu menjentikkan jari.

"Are you here, Pearson?" tanya Heath agak keras berhasil membuyarkan fantasi liar Poppy.

Poppy menghela napas panjang, mencomot donatnya lagi. "Ya ... aku di sini. Tepat di depan matamu, Heath."

"Sepertinya pikiranmu melayang ke mana-mana," sindir Heath menyambar handuk dari dalam tasnya, mengeringkan rambut lalu tangan kemudian dada. Heath mendudukkan diri di kursi jemur sebelah kanan Poppy, meraih donat miliknya. "Enak?"

"Enak." Poppy melenggut cepat. "Tambah bir jadi sempurna."

"Tambah ini juga." Heath memajukan tubuh lalu menjilat sisa gula halus di sudut bibir Poppy. "Manis."

Jika bukan di depan Heath, mungkin Poppy akam tunggang-langgang ke tengah lautan dan menenggelamkan diri sampai ke dasar. Sisi lain Heath yang belum bisa ditelorerir Poppy menghajarnya bertubi-tubi. Tidakkah dia sadar kalau perlakuannya memperbesar efek domino yang menggelayuti hati Poppy?

"Kepalamu tidak membentur sesuatu kan?" cibir Poppy.

"Kenapa?"

"Kau mau aku jujur? Aku lebih suka kita memperdebatkan hal kecil—"

Mendengar hal itu, Heath menopang dagu menatap lekat Poppy yang langsung tak melanjutkan kalimatnya.

"Why? Belum terbiasa atau kau mulai naksir padaku?"

"Ck, in your fucking dream, DickHeath!" ketus Poppy menyandarkan dirinya ke kursi. "Kita bahkan belum satu hari menjalankan perjanjian gilamu."

"Tapi setidaknya sudah tiga kali kau mau menelan spermaku," balas Heath santai. "Atau lebih?"

"Don't make me kick your ass!" Poppy mengacungkan jari tengah meledakkan tawa di bibir Heath. "I literally hate you by the way."

"I know. But you forget it when I make you come." Heath meluruskan kaki di atas kursi jemur. "Akui saja. Jangan naif."

"Perlu kuulang siapa yang memintaku menyetujui perjanjian gila itu." Poppy menutup bukunya. "To be honest, aku menyukai apa yang kita lewati," tuturnya menirukan kalimat Heath.

Kontan raut muka Heath merah padam lantas bangkit dan menarik Poppy mendekat. "Kita bisa melakukannya lagi. Bermain api tanpa ada orang yang tahu," balasnya ingat betul perkataan Poppy.

"Stop!" Poppy memukul dada Heath karena malu. "Intinya kau yang memulai."

"Kau juga yang setuju." Heath mencolek puncak hidung mancung Poppy.

Bola mata Poppy memutar lalu mengalihkan pandangan ke arah orang yang naik jetski maupun kitesurfing. "Wah ... kau tak mau coba?"

Heath mengikuti arah Poppy yang terkagum-kagum. "Ya. Tapi, kau—"

Poppy melompat dari kursi jemur tanpa menghiraukan teriakan Heath yang menyuruhnya agar tidak melakukan olahraga air tersebut. Dia terus berlari ke arah sumber di mana jet ski dan kitesurfing bermarkas. Ke pantai tanpa mencoba hal seperti ini sama saja bohong, setidaknya sekali seumur hidup dia harus merasakan permainan itu.

Ya atau tidak sama sekali.

"Don't you dare, Little trouble!" Heath akhirnya berhasil menyusul dan menahan lengan Poppy. "Itu bahaya."

"Ucapanmu basi!" ketus Poppy menampik tangan Heath. "I'm not a fucking baby, Heath. Jangan menganggapku seperti gadis lemah!" Dia bergegas menuju gerombolan pria berkulit tan dan berkacamata hitam tengah memberi instruksi kepada turis.

Heath menggeram kesal tidak dapat menghalangi apa yang sudah menjadi kehendak Poppy. Dia membuntuti Poppy sembari menggerutu pelan menyorot tajam mesin-mesin jetski yang melompat juga meliuk-liuk di atas air. Kekesalannya bertambah manakala pria-pria penyedia jetski itu tertawa saat Poppy mengutarakan keinginannya belajar jetski.

"Baik, kalau begitu pakai ini dulu," ujar si pria botak yang sepertinya sebaya dengan Heath, menyerahkan jaket pelampung dan hendak memasangkannya ke tubuh Poppy.

Refleks Heath merebutnya dan berseru, "Dia bisa pakai sendiri!"

"Fine. It's yours, Bro."

Sebelum Poppy berucap, Heath memutar badannya menghadap ke arah lelaki itu. Tak banyak bicara dia membantu mengenakan jaket pelampung dan memastikan semua aman. Poppy memutar bola mata sembari menghembuskan napas kasar kenapa perlakuan Heath benar-benar berlebihan bila menyangkut soal pelampung.

"Ada kalanya aku ingin menghajarmu, Heath," desis Poppy bergerak menjauh. "Don't be fucking digusting. Semua sudah aman dan mereka bersertifikasi, oke."

"Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Poppy."

Malas berdebat, Poppy mengacungkan dua jari tengah lantas berbalik menghampiri pria tadi. Heath mengawasi punggung Poppy dalam diam berharap gadis itu tahu betul apa yang dikhawatirkannya.

Sekali pun laut itu tenang, tapi dia mampu melenyapkan orang tanpa pandang bulu, tanpa tahu waktu, tanpa ragu.

Riaknya memang menenangkan tapi tidak semua orang paham bahwa di dalamnya, dia bisa menarik manusia supaya larut menyisakan kenangan.

###

Puas bermain di atas jetski dan menghabiskan suara saat berusaha menerbangkan kitesurfing selagi berdiri di atas papan selancar. Bagaimana tidak, permainan itu termasuk gampang-gampang susah karena butuh tenaga besar mengendalikan layar sesuai arah embusan angin. Dia kembali ke kursi jemur, menenggak habis bir yang tak lagi dingin kemudian melirik Heath yang sedari tadi membisu.

Dasar kekanakan!

"Temani aku berenang daripada kau marah tak jelas, Heath. Setelah itu kita makan siang." Poppy menyambar jemari Heath tapi malah bergeming. Tak diduga, dia menarik tubuh Popy sehingga jatuh di atas pangkuan Heath.

"Are you teasing me, Alonzo?"

"Mungkin."

Poppy mengalungkan lengannya ke leher Heath, menelusuri detail lelaki itu; rambutnya yang memanjang, bewoknya yang tebal dan butuh dicukur juga matanya yang dalam penuh rahasia. Jemari kiri Poppy menyisir rambut Heath yang berantakan ketika lelaki itu menyandarkan punggung ke kursi.

"Tak mau berenang?"

"Nah..." Heath mengunci iris matanya ke dalam bola mata Poppy.

"Kau marah?"

Heath menghela napas berat. "Kenapa kau selalu menyukai tantangan, Pearson?"

"Kenapa kau selalu takut, Heath? Bukankah kau ini dokter yang bisa menyelamatkan nyawa?"

Bibir Heath terkatup rapat membiarkan jemari Poppy mengusap rahang tegasnya. Dia tidak takut hanya resah terhadap segala yang terjadi di masa depan yang tak pernah pasti. Apalagi ini adik Joey yang harus dijaga sesuai janji dua orang pria walau harus bertaruh nyawa.

Heath Dia memejam sesaat meresapi sentuhan gadis itu. Nyaman dan hangat. Seolah-olah Heath menemukan kembali jalan pulang. Teriknya matahari yang kian meninggi tak lagi berarti selama tangan lembut Poppy membelainya.

"Terlalu banyak kematian yang kujumpai, Poppy," tukas Heath sendu seraya membuka mata. Dia menerawang jauh ke belakang bagaimana menghadapi begitu banyak nyawa manusia melayang. Entah karena sakit atau justru tewas akibat kecelakaan dan tak sempat tertolong olehnya. "Terlalu banyak air mata yang kulihat saat melepas kepergian mereka."

Poppy merangkum pipi Heath sebelum memberinya sebuah kecupan singkat. Dia tertegun atas tindakannya sendiri begitu pula Heath yang menatapnya lekat kebingungan. Hanya saja ada dorongan kuat yang mendesak Poppy menghadiahi Heath sebagai penenang.

"Aku baik-baik saja, Heath. Itu hanya permainan. Kalau pun aku mati, kupastikan tidak tewas di depan matamu dan jangan pernah tangisi aku."

"Kau selalu mengatakannya begitu mudah, Pearson," cibir Heath menyingkirkan untaian rambut Poppy ke belakang telinga.

"Aku hanya menikmati apa yang diberikan Tuhan, Heath. Hidup hanya sekali, cobalah rileks tanpa memikirkan kematian." Poppy mengulum senyum tipis lalu menggesek-gesekkan hidungnya ke hidung Heath. Memberikan ciuman-ciuman kecil di pipi dan bibir lelaki itu meski agak geli karena janggutnya menggelitik permukaan kulit wajah Poppy. "Deal?"

Sudut bibir Heath tertarik ke atas, ditarik dagu Poppy lalu memagut bibirnya mesra. "Deal."

"Kau tahu? Aku agak malas pulang ke London," aku Poppy mengerutkan hidugnya tak suka.

"Kita harus pulang sebelum kakakmu memergoki kita di sini," tandas Heath. "Telingaku tidak betah mendengarnya mengomel tanpa titik koma."

"Nyatanya kau bisa berteman selama bertahun-tahun," ledek Poppy beranjak dari pangkuan Heath.

Lelaki itu menggeser kakinya dan merengkuh pinggang Poppy mendekat lalu mengecup perutnya yang datar. Dia menumpukan dagu, menelengkan kepala, "Meski begitu, kakakmu sahabat terbaikku."

"Ya ya, aku tahu." Poppy menggeret Heath segera berdiri. "Kita berenang lalu makan."

"Dan bercinta."

"Singkirkan pikiran mesummu, Alonzo. Aku masih suka vibratorku." Poppy menjulurkan lidah dan mencubit perut sixpack Heath kemudian berlari sekuat tenaga menuju bibir pantai.

Heath yang tak terima dibanding-bandingkan dengan benda karet sialan itu, mengejar Poppy lantas menyemburkan air laut layaknya manusia tengah menanggalkan ratusan beban di pundak. Poppy menjerit membalas Heath membabi buta lantas menceburkan tubuh ke dalam air.

Heath menyelam, menangkap Poppy lantas mendekap erat sebelum naik ke permukaan. Tungkai Poppy melingkari pinggul Heath sambil terbahak-bahak manakala lelaki itu menggelitiki pinggangnya.

"Heath," panggil Poppy menatap lurus ke dalam bola mata Heath. "Tetaplah tertawa seperti ini."

Tercengan atas ucapan Poppy, bibir Heath menerbitkan seulas senyum tipis lalu menerima cumbuan gadis itu.

"Kata-katamu terlalu manis, Pearson," bisik Heath di antara pagutan mesra nan intim itu. "Are you drunk?"

"Anggap saja seperti itu. Kau tidak akan menemukan diriku dalam versi sebaik malaikat," balas Poppy menangkup rahang Heath tuk memperdalam ciumannya.

But I never deserve this, Little trouble. Never.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro