19. Memory

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

' Cause you've had my attention for a while now. Don't think that I'm staying, I'm just here for the confessional. '

-Chase Atlantic -

***

Sirene menggaung tanpa henti membawa brankar-brankar berisi pasien-pasien yang sedang meregang nyawa. Setelah tadi Heath dihebohkan oleh pasien lansia yang ditransfer melalui helikopter akibat kecelakaan mobil parah, remaja yang tersangkut tanduk kepala rusak untuk drama sekolah, hingga bocah berkebutuhan khusus yang tidak sengaja kemasukan ujung pena ke telinga. Sekarang Heath harus menghadapi kasus lain di mana seorang perempuan berusia 34 tahun dicurigai menderita sepsis-berdasarkan laporan 999.

Melalui penjelasan first aider yang menangani perempuan tersebut, diketahui kalau sejak pukul sebelas malam pasien bernama Michelle mengeluh tidak enak badan dan makin memburuk sampai terbangun di jam empat pagi. Kondisinya menggigil kedinginan luar biasa sampai giginya gemeletuk disertai nyeri tulang punggung bawah.

"Dia pernah dirawat di sini sekitar empat tahun lalu akibat kegagalan organ. Jadi, sekarang dia punya jalur PICC di lengan kiri," sambung petugas tersebut.

Heath melenggut paham risiko pemasangan PICC-jalur yang dipasang di bagian pembuluh darah besar yang mengarah ke jantung untuk memasukkan obat dan nutrisi parenteral dalam jangka panjang-sebagai konsekuensi operasi darurat pengangkatan sebagian besar ususnya. Sehingga efek samping yang timbul adalah sepsis.

Perawat memasang monitor di lengan kanan dilanjut menggali data terkait apa yang dirasakan, sementara first aider mengisi lembar transfer pasien. Heath memasang jalur intravena sebagai tempat menyuntikkan pereda nyeri juga antibiotik. Targetnya saat ini adalah bagaimana mengurangi tingkat rasa sakit pasien yang tak tertahankan sebelum melanjutkan tindakan lain.

"Aku akan memasukkan obat antinyeri yang cukup kuat, Michelle. Semoga ini bisa membuatmu merasa lebih baik. Aku janji, oke?" tutur Heath menyuntikkan obat ke dalam jalur infus itu. "Setelah ini, akan kuberikan antibiotik dan juga beberapa pereda nyeri lain. Nanti perawatku bernama Ashley akan membantuku."

"Ya." Michelle merintih sakit sembari meringkuk menahan ngilu seperti ditusuk-tusuk di tulang punggung bawahnya. Kristal bening tak henti-hentinya mengalir membasahi pelipis perempuan malang itu. "Ya Tuhan ... sakit sekali..."

"It's okay, Michelle. Kita tunggu obatnya bereaksi selagi aku berbicara dengan keluargamu untuk menjelaskan apa yang terjadi dan prosedur yang akan kami ambil bersama dokter Smith," jelas Heath berpaling ke arah sepasang suami istri yang terlihat tua juga seorang bocah sekitar delapan tahunan. "Anda, keluarga Michelle Anderson?"

"Ya, apa yang terjadi pada putriku?" tanya perempuan berkulit hitam tersebut dengan mata berkaca-kaca.

"Well ... perkiraanku adanya infeksi akibat pemasangan PICC ini, Nyonya. Tapi, kita akan memastikannya melalui pemeriksaan darah juga rontgen dada sebab biasanya infeksi akan menyebar ke paru," terang Heath lalu mengalihkan pandangan ke arah Michelle. "Sementara kami pasangan cairan karena dia terlihat sangat lemas. Kalau nyerimu masih terasa, aku akan memberikan pereda nyeri lagi, oke?"

Michelle hanya mengangguk lemah.

Tak berapa lama petugas radiologi datang dan memfoto paru-paru Michelle disusul perawat yang mengambil sample darah. Ashley yang mendampingi Heath bolak-balik menggumam kalau spuit yang ditariknya untuk mendapatkan cairan merah itu terlalu berat.

"Ada masalah?" Heath mendekat.

"Seperti ada blokade di jalur PICC-nya, dokter Alonzo," lapor Ashley menutup klem."Anda mau mencobanya?"

Heath menyambar sarung tangan dan spuit steril kemudian mengisi dengan sedikit cairan saline supaya memberi tekanan bila memang ada tahanan. Ditarik pelan-pelan lantas memasukkannya perlahan sebagai pancingan, sebelum ditarik lagi hingga cairan kemerahan nan kental keluar. Ashley menempatkan sample darah itu ke dalam tabung lalu mengirimkannya ke bagian laboratorium melalui mesin vacum.

Setelahnya, Heath memeriksa fisik Michelle apakah ada kelainan lain. Entah kenapa, dia curiga bila sumber infeksi Michelle berasal dari PICC itu. Namun, bila harus dilepas lalu dipasang ulang, butuh banyak pertimbangan karena ada resiko besar.

"Apa punggungmu masih sakit?" tanya Heath memijat area punggung sembari mengamati ekspresi Michelle.

Wanita itu meringis,mengangguk cepat. "Agak berkurang, setidaknya tidak sesakit tadi."

Heath membantu memosisikan Michelle telentang, "Oke aku akan memeriksa bagian perutmu." Dia menyingkap atasan hijau pasiennya dan mendapati ada bekas operasi di sana. Kemudian, Heath menekan-nekan area perut secara lembut, "Apakah ini sakit?"

"Tidak. Hanya punggung, Dokter Alonzo," ujar Michelle.

Heath menutup kembali baju Michelle dan memerhatikan layar monitor yang menunjukkan irama nadinya berdetak agak cepat. "Nadimu agak di atas normal."

"Mungkin aku butuh makan. Anda tahu kan, kondisiku seperti ini mau makan apa pun susah," keluh Michelle.

"Oke. Kau boleh makan sedikit setelah itu minum, aku akan memperlambat tetesannya."

"Thanks."

"Oke, aku akan konsultasi ke dokter Smith dulu," pamitnya bergegas ke meja kerja dan melihat hasil darah juga paru-paru pasien. Dengan sigap, Heath menelepon dokter spesialis. "Hei, Dokter Smith. Ini Dokter Alonzo, aku mau melaporkan ada pasien wanita usia 34 tahun datang dengan sepsis, dia kurang sehat secara sistemik, dan punya saluran PICC tetapi ada hambatan di sana ketika kami ambil darah. Uhm, aku ingin bertanya, Dok, bisakah kita mencabut PICC itu?"

"Kurasa itu hal berisiko, Dokter Alonzo. Apa kau sudah menghubungi bagian tim nutrisionist?"

"Mereka bilang, sebisa mungkin harus dipertahankan dan pasien juga keberatan bila harus dipasang ulang. Hanya saja, menurutku infeksinya ini bersumber dari sana. Hasil darahnya buruk sekali, akan kukirimkan datanya padamu."

Dokter Smith terdiam beberapa saat sembari menggumam membaca hasil darah yang dikirim Heath. "Yeah, jelas ini sumbernya. PICC-nya. Tapi, kalau tim nutrisionist tidak berkenan, saranku kau bersihkan areanya dengan cairan salin dan antibiotik. Kalau memang kondisinya tidak ada perbaikan, mau tak mau kita lepas saluran itu."

"Great. Thanks, Dok."

###

Selesai shift panjangnya yang sialan melelahkan, Heath segera meluncur ke gelanggang Golden Skate di mana Poppy masih latihan. Sebetulnya dia mulai agak resah karena tahu olahraga di atas permukaan es tersebut memiliki segudang resiko yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi dua minggu terakhir gadis itu harus mengasah kemampuannya sampai enam jam berturut-turut.

Terkadang kekhawatiran Joey terhadap adiknya masuk akal, apalagi Poppy pernah mengalami cedera kepala akibat terjatuh dan menghantam arena seluncur. Tidak hanya itu, Poppy pernah mengalami retak di bagian paha dan lengan, cedera engkel, hingga dagunya robek.

Sesampainya di basemen, Heath keluar dari kendaraan dan melangkah cepat menuju bangku-bangku penonton sembari membawa bungkusan berisi dua chicken wrap dan dua minuman; kopi dan oreo milkshake kesukaan Poppy.

Dia disambut ratusan bangku penonton yang kosong, namun pandangannya tertuju ke beberapa anak yang meliuk-liuk di atas permukaan es begitu lincah. Heath mendudukkan diri di tengah-tengah, menarik gulungan kemeja hitamnya sampai ke batas siku seraya mengamati gadis bergaun skating merah mencolok dan rambut yang diikat tinggi-tinggi.

"Try again, Poppy!" Suara garang dari pria paruh baya memindahkan atensi Heath.

Harold.

Dia hanya tahu sebatas nama, tapi tidak pernah bertatap muka layaknya Joey yang sering meneleponi Harold menanyai keberadaan dan perkembangan adiknya.

Gadis itu melenggut dan tidak sengaja berserobok dengan Heath yang melipat tangan di dada dalam diam. Tidak ada senyum pun raut wajah Poppy tampak begitu lelah. Dia kembali melaju mengitari arena es diiringi lagu klasik Overture dari Phantom of the Opera. Mengulang gerakan dari awal dan terlihat memukau mata.

Bumi yang dipijak Heath bisa jadi sedang membeku manakala iris abu-abu gelapnya terpukau oleh lompatan dan putaran yang ditunjukkan Poppy di sana. Musik pengiring rasa-rasanya menggema keras di sekitar, memudarkan teriakan pelatih maupun skater lain. Seberkas cahaya menyorot gadis itu seolah-olah dialah bintang paling terang di atas panggung. Manalagi gaun skating merah yang memeluk pinggang ramping Poppy menonjolkan kecantikan yang tidak bisa dimiliki orang lain.

"So beautiful," gumam Heath menggosok dagu sembari senyum-senyum sendiri.

Hold on! What the hell are you doing, Heath!

Batin Heath menampar pipinya sekeras mungkin agar tidak terlalu mendalami peran yang sedang dijalani. Tidak ada yang namanya diam-diam mengagumi Poppy. Itu di luar kesepakatan kalau mereka sebatas teman tidur, tidak lebih dan tidak kurang.

Kau sendiri yang bilang hanya sebatas seks kan?

Batin Heath berkacak pinggang, memutar kembali potongan memori hubungan rahasia di belakang Joey. Heath mengembuskan napas kasar, tersenyum sinis menertawakan diri sendiri.

Dasar bodoh! Kau hampir menggali kuburanmu sendiri, Bung! Ingat statusmu ini gay di depan Joey.

Heath mendesis, menyesali keputusan yang berdampak panjang seperti ini. Seharusnya dia bantah saja ucapan Joey waktu itu.

Bila ditilik ulang pun, Joey tidak akan mudah memberikan restu andai kata terjadi sesuatu di antara Heath dan Poppy. Heath tahu siapa Joey, tahu siapa orang tua Poppy, dan bagaimana tipe gadis itu sendiri. Tidak ada secuil kesempatan baginya agar bisa menjadi bagian dari keluarga Pearson yang terhormat itu.

Bukankah perasaan manusia tidak bisa ditebak?

"Ya, memang," gumam Heath tersenyum masam.

Namun siapa yang bisa menyangkal pesona Poppy di atas gelanggang? Heath saja mengakui kalau gadis itu punya daya magnet yang tidak bisa didefinisikan melalui kata-kata.

Walau dia sangat menjengkelkan.

Gadis itu berputar cepat seiring entakkan musik penuh semangat, melaju begitu luwes membentuk pola-pola yang tidak dimengerti Heath. Hanya ada satu kata terpatri jelas dalam kepala.

Indah.

Segalanya indah dan makin indah karena dia ada di sana.

"Poppy!"

Teriakan Harold membuyarkan lamunan Heath dan tubuhnya menegang diiringi bola mata membeliak mendapati Poppy jatuh tersungkur.

Buru-buru Heath turun dari area tengah stadion, mendatangi gadisnya yang sedang ditangani Harold. Dia nyaris tergelincir akibat permukaan es yang licin. Walhasil, Heath berteriak, "Hei, Is everything okay?"

Harold menoleh saat Poppy termangu tak menanggapi ucapan pelatihnya.

Panik, Heath melepas sepatu dan berjalan mendatangi Poppy mengabaikan rasa dingin menusuk saraf kaki sampai ke ubun-ubun.

"Who's that?"

Raut muka Poppy masih kaku, mengabaikan sensasi ngilu di kaki justru merangkul lengannya ketakutan.

"Poppy!" Heath menyentak bahu Poppy, merangkum rahangnya tuk bertemu tatap dengannya. "Hei, what happened?"

"Heath ..." Bibir Poppy gemetaran. Kulitnya kian pasi membuat Heath makin cemas.

"Harold, bisa aku bawa dia ke pinggir?" tanya Heath.

Harold yang ikut kebingungan hanya melenggut begitu saja membiarkan Heath menggendong Poppy.

"Ah sorry, Aku Heath, temannya Joey yang antar-jemput Poppy," imbuh Heath selagi menggendong Poppy.

"Oh. O-oke." Harold gelagapan karena belum pernah bertemu Heath.

Tergesa-gesa Heath berjalan keluar arena kala Poppy tak lagi bersuara. "Hei, ada apa?" bisik Heath resah saat mendudukkan Poppy di kursi penonton. Lelaki itu berjongkok di depan gadisnya, memeriksa kaki Poppy dan perlahan-lahan menanggalkan sepatu skating. "Mana yang sakit?"

Seketika Poppy mendesis ketika Heath akan melepaskan sepatu skating kanannya. "Itu sakit, Heath!"

"Kau tiba-tiba diam mana kutahu, Poppy?"
Heath kembali memasang sepatu itu sebagai penyangga supaya tidak makin parah. "Harold, bisa kita akhiri latihannya? Kemungkinan dia terkilir."

"Ya, tentu. Aku tidak mungkin memaksanya latihan daripada cedera berat," ujar Harold. "Pastikan kakinya dikompres--"

"I know it well," sela Heath. "I'm a doctor."

"Okay." Harold menatap Poppy dengan alis menyatu tak mengerti. "Hei, Nak, you okay? Ada apa?"

Poppy menggeleng pelan berusaha tersenyum mengabaikan sekelebat bayangan yang mendadak menerjang kepala. Dia sendiri tak tahu itu siapa.

"Hanya butuh istirahat mungkin," jawab Poppy. "Thanks untuk hari ini, Sir."

Harold melenggang pergi saat Heath duduk di samping Poppy, menyingkirkan helaian rambutnya yang basah karena keringat.

Sejenak, Poppy menggigit bibir bawah dibanjiri keraguan tak bertepi. Dia menundukkan pandangan menatap kaki kanannya masih terpasang sepatu, sementara kaki kiri tidak.

"A-aku ..." Poppy membuka suara merasakan jantungnya berdetak begitu kencang berusaha mengingat bayangan di kepalanya.

Seorang perempuan berambut kepang. Wajahnya tak jelas. Suaranya samar-samar. Dia melambaikan ke arahku.

"Aku melihat bayangan anak perempuan, Heath," ungkap Poppy memandang Heath lekat-lekat. "Aku tidak tahu dia siapa. Wajahnya tak jelas. Tapi, aku yakin dia berusaha mengucapkan sesuatu."

"Kau mungkin kelelahan," kata Heath. "Tekanan latihan selama dua minggu mungkin membuat otak dan tubuhmu burn out."

"Tidak. Aku merasa tidak burn out. Ini memang resikoku, Heath. Anak itu--"

Kalimat Poppy menguap di udara ketika Heath menangkup wajahnya.

"Trust me. You're too tired, Little trouble."

"Tapi--"

"Tidak ada tapi. Ayo pulang. Kuobati kakimu," putus Heath lalu berjongkok di depan Poppy. "Naik!"

"Aku bisa jalan sendiri, Heath."

"Naik atau kuseret dirimu dengan sabukku, Pearson," ancam Heath.

"Ck, tasku ada di loker ruang ganti. Aku harus ambil dulu." Dia memasang hard guards ke pisau sepatu dan menenteng sisi kiri sepatu skating seraya beranjak dan naik ke punggung Heath.

Heath memutar bola mata sambil menegakkan badan, menyangga bokong Poppy dengan lengannya. "Suruh temanmu mengantarkannya ke apartemen," saran Heath dingin. "Kau ini kelelahan makanya terbayang yang bukan-bukan." Susah payah dia menaiki satu-persatu anak tangga tuk mengambil kembali bungkusannya.

"Kau bawa apa?" Poppy menerima bungkusan itu.

"Makanan dan milkshake untukmu," kata Heath keluar gelanggang menuju basemen melalui lift.

"Kau ingat hal-hal yang kusukai ya?" goda Poppy terkekeh. "Watch out, Mr. Alonzo, jangan-jangan kau naksir padaku."

"Dalam mimpi basahmu, Pearson," ketus Heath.

Memilih tak menanggapi diam-diam Poppy terngiang-ngiang terhadap sosok gadis misterius melambaikan tangan ke arahnya.

Siapa dia?

***

Bab 18 bisa kalian baca di Karyakarsa karena berisi smut scene.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro