23. Pretty Liar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I can't tell you what it really is. I can only tell you what it feels like.'

-Rihanna ft Eminem-

***

"Apa?"

Norah, Arya, dan Alexia tercengang mendengar cerita Poppy yang menurut sudut pandang mereka agak menyeramkan. Bagaimana tidak, seseorang yang tidak jelas siapa dan darimana asalnya mendadak memenuhi kepala Poppy disertai suara-suara. Mereka saling sikut, mengirim isyarat dan membenarkan dalam hati jikalau pendapat Joey ada benarnya.

Poppy berhalusinasi.

Mereka bertiga merapatkan posisi duduknya di atas ranjang kamar Poppy membuat gadis itu mengernyit.

"Itu bukan hantu," ketus Poppy melempar popcorn ke arah tiga temannya yang ketakutan. "Aku butuh bantuan kalian by the way, harus darimana aku menggali informasi ini."

"Tentu saja dari keluargamu. Kalau Joey menjawab seperti itu, coba kau tanya ibu dan ayahmu, Babe," jawab Arya menepuk-nepuk sheetmask yang menempel di wajahnya.

"Atau kau bisa tanya Heath."

"Apa hubungannya?" sahut Norah menimpali jawaban Alexia. "Heath bukan keluarga inti Pearson, Lex."

"Hanya insting. Lagipula sahabat mana yang tidak saling berbagi cerita? Kita saja tahu aib masing-masing," ujar Alexia membaringkan diri di kasur, menutup mata dengan irisan timun.

"Tapi, Heath selalu tutup mulut," timpal Arya. "Iya kan, Babe?"

"Babe," Alexia menghela napas panjang. "He's just a damn man. Make him worship you, you'll get what you want. Salah satu caranya adalah cium dia, buat dia mabuk dengan ciumanmu!"

"Lex..." Poppy mencubit temannya gemas tanpa memedulikan Alexia mengaduh kesakitan. Mukanya sudah semerah kepiting rebus mendengar obrolan mereka lebih antusias daripada Poppy sendiri. "Tidak semudah itu, oke."

Karena pada akhirnya, aku yang sering dibuat bertekuk lutut oleh Heath.

"Kenapa? Biasanya kau paling mudah memancing nafsu pria dari ciumanmu," sambung Norah makin membuat Poppy salah tingkah. "Di Budapest ketika kalian taruhan minum, kau juga kan yang menang?"

Sebelum Poppy menanggapi omongan gila ketiga temannya, suara Heath terdengar dari luar kamar tengah memanggilnya. Buru-buru Norah dan Arya mendorong Poppy keluar tuk menjalankan saran Alexia.

"Kalian gila apa!" ketus Poppy. "Bagaimana bisa aku menciumnya tanpa suasana yang-"

"Poppy!" Suara Heath di balik pintu kamar Poppy meluruhkan jantungnya ke lantai.

Sialan!

"Heath adalah kunci kalau kau ingin teka-tekimu terjawab," bisik Alexia memungut irisan timun dari matanya. "Tinggal pojokkan dia dengan jurus pencak silatmu dan sambar bibirnya."

"Tidak! Aku tidak mau-"

"Poppy! Come here!" perintah Heath.

"Go, Bitch!" seru Alexia kemudian menyiratkan Poppy membenarkan posisi bra dan rambut supaya lebih menggoda.

Poppy mencebik, menuruti permintaan Alexia meski diselingi tawa Norah dan Arya kenapa gadis yang biasanya menikmati tantangan, kini ciut sebelum ke medan perang. Selanjutnya Poppy bergegas keluar kamar dan mendapati Heath berdiri menjulang tinggi.

"Apa!"

Lelaki itu melirik sebentar tiga gadis di belakang Poppy dengan tatapan datar. "Ikut aku."

Poppy mendengus, melangkah mendahului Heath sambil mengentak-entakkan kakinya.

"Kakimu sudah membaik," tutur Heath memerhatikan pergerakan kaki kanan Poppy.

"Ya, supaya aku bisa menendang mukamu," sungut Poppy menangkap ada satu kotak makan dan botol minum di atas meja pantry. "Kau datang dan berteriak untuk memberikanku ini?" tunjuknya.

"Semalam, aku dikirimi bingkisan oleh rekanku. Aku tidak seberapa suka makanan manis," tutur Heath.

"Kenapa tidak kau buang saja, memangnya sejak kapan kau peduli padaku?" gerutu Poppy membuang muka masih melanjutkan sikap marahnya terkait perdebatannya di apartemen Heath kemarin. "Seingatku-"

Kalimat Poppy langsung terhenti saat Heath menarik dagu dan menautkan kontak mata dan merengkuh pinggangnya mesra. Jempol kanan lelaki itu mengusap pelan permukaan bibir Poppy menimbulkan ledakan-ledakan tak terkendali dalam dada, menerbangkan jutaan kupu-kupu dalam perut hingga perutnya dilanda rasa mual.

Sesaat dia lupa bagaimana cara meraup udara di sekitar pun rongga paru-parunya menanti-nanti apakah Heath bakal memberi pertolongan pertama-dengan versi sensual. Bulu kuduk Poppy seketika meremang, kenapa di saat seperti ini otaknya malah membayangkan imajinasi liar.

"Seingatku, kau masih merajuk. Jadi, setidaknya makanan bisa meredakan amarahmu padaku," ujar Heath menyambung penuturan Poppy. "Kau suka yang manis kan?" Dia memiringkan kepala, mendekatkan bibirnya ke telinga Poppy. "Or ... is my cum in your pretty mouth sweeter than that one, Baby?"

Rahang Poppy rasanya bercumbu dengan lantai yang dipijak mendengar ucapan Heath. Pipinya merona bukan main dan matanya membeliak kehilangan kalimat yang semestinya dibalas tuk membungkam betapa kurang ajarnya Heath.

Cepat berpikir, Poppy! Cepat berpikir!

"You make me sick to my stomach, Heath. Just shut the fuck up!"

Heath tersenyum miring lalu mengecup kening Poppy dan berkata lagi, "Fine. Tolong jaga, Rex. Shift-ku agak panjang karena temanku sakit. Jaga dirimu juga, kalau ada apa-apa telepon aku."

Sialan! Sialan! Sialan!

Andai kata ini adalah jalur roller coaster, maka Poppy sudah tidak tahu di mana letak jantung dan otaknya sekarang. Efek domino yang ditimbulkan Heath benar-benar membolak-balikkan perasannya tak menentu. Terutama setelah pertengkaran mereka.

"You heard me?" tanya Heath.

Poppy melenggut. Semua anggota tubuhnya mendadak tolol bila berhadapan dengan Heath.

"Good girl."

Heath membalikkan badan, tapi Poppy menahan lengan dan menarik kerah kausnya. Merangkum rahang tegas Heath dan menyambar bibirnya penuh frustrasi-tentu akibat rahasia Joey yang entah kenapa malah Poppy lampiaskan kepada Heath. Terpancing oleh gairah, Heath mengngkat tubuh Poppy dan mendudukkannya di counter tanpa melepaskan pagutan mereka. Sebelah tangannya menahan tengkuk leher Poppy, memperdalam lidahnya dan meraup seluruh pasokan oksigen sehingga hanya dia yang bisa memberikan ijin kapan berandal kecilnya ini boleh bernapas. Sementara tangan lain, meremas lekuk pinggang Poppy, merasakan kulitnya memanas di bawah sapuannya.

Tak mau kalah, Poppy menggigit bibir bawah Heath, menimbulkan erangan pelan saat gadis itu mengalungkan lengan ke lehernya. Dia menjilat garis rahang Heath dan menarik pelan daun telinga lelaki itu. Heath menggeletukkan geliginya, menahan agar tidak lepas kendali sebab ada tiga gadis lain yang bakal memergokinya. Jika ini bukan di apartemen Poppy, mungkin Heath sudah merobek pakaian gadis di depannya dan menyuruhnya merangkak kepadanya.

"What do you want, Baby," ujar Heath mendongakkan kepala ketika Poppy memberinya jejak-jejak merah di sepanjang tulang selangka.

Poppy tak segera menjawab. Banyak hal yang diinginkannya sekarang, termasuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik tanpa henti. Keresahan itu pada akhirnya membentuk pusaran yang menyeret Poppy tanpa ada yang mampu menyelamatkannya.

"You."

Buat dia bertekuk lutut maka kau akan menemukan jawaban yang kau cari.

Satu kebohongan, setidaknya harus digencarkan jikalau memang Heath memegang segenggam rahasia Joey.

Sudut bibir Heath menyunggingkan senyum miring. "You drunk."

"Maybe."

Poppy hendak menarik celana Heath tapi ditahan kuat-kuat oleh lelaki itu.

"I'm here not for having sex, Little trouble." Heath merapikan penampilan Poppy dan mengurungnya di antara lengan. "Tidak di sini. Di saat teman-temanmu bisa mendengar kita."

"I won't make a sound."

Heath terkekeh lalu berbisik, "But the last time we fucked, you screamed my name, Baby." Dia menegakkan punggung kemudian mengecup lembut kening Poppy. "Sudahlah, aku harus bersiap-siap. Jangan lupa, aku titip Rex."

###

Selepas ketiga teman Poppy pulang, dia memutuskan mengajak Rex jalan-jalan ke supermarket yang terletak beberapa blok dari gedung apartemennya. Mengenakan setelan celana jeans pendek, tank top putih, dan sneakers senada, Poppy menghirup dalam-dalam udara menjelang petang memenuhi dada meski tak sepenuhnya melepaskan semua beban di pundak.

Cakrawala tak sepenuhnya menggelap, jejak-jejak mentari musim panas terlalu malas meninggalkan singgasana. Burung-burung terbang ke sana ke mari, seolah-olah betah bermain-main daripada merebahkan diri di sarang. Gesekan dedaunan di pohon menciptakan harmoni kala angin berhembus menerpa kulit Poppy. Jika ditinjau, mungkin semesta juga dibuat penasaran ke mana muara dari segala misteri yang memenuhi isi kepala Poppy.

Gadis itu menyambar beberapa kaleng bir dingin dan camilan kemudian menghampiri rak makanan anjing. Dia berpaling ke arah Rex yang menatapnya penuh harap.

"Aku tahu kau ingin ditraktir, Big boy," ujar Poppy mengusap kepala Rex. "Baiklah, akan kubelikan sebagai balas budi tuanmu."

Rex menjulurkan lidah begitu antusias, tapi dari sudut pandang Poppy sikap anjing Doberman itu mengingatkan dirinya kala diperintah Heath merangkak dan...

"Julurkan lidahmu. Just act like a dog."

Otomatis Poppy berdehem, merasakan pipinya memanas. Dia mengembuskan napas melalui mulut, menetralkan debaran dada yang tak beraturan setiap kali terbayang pergumulannya bersama Heath.

Sangat tidak biasa.

Tapi, aku suka. Aku suka dia mendominasiku, memerintahku, mengklaim diriku. Apakah aku normal, Tuhan?

"Jangan julurkan lidahmu, Rex," bisik Poppy menarik tali pengekang anjing kesayangan Heath sambil membawanya menuju kasir "Kau membuatku agak mengingat sesuatu."

Rex mengedipkan mata bulatnya, justru kian semangat mengeluarkan lidah dan menjilat Poppy.

"Ini juga membuatku ingat," gumam Poppy makin tersipu.

Detik berikutnya, tak jauh dari posisi Poppy berdiri, sebuah suara berteriak lantang menyebut namanya.

"Poppy!"

Kalau orang lain akan bereaksi biasa saja. Lain halnya Poppy yang sekonyong-konyong mematung di tempat akibat suara tersebut seperti membuka salah satu kunci kotak pandora. Akibatnya, kepala Poppy begitu pening sekelilingnya memutar perlahan-lahan seiring udara terisap habis. Susah payah Poppy meraup oksigen, tapi tidak ada satupun yang mau masuk memenuhi relung dada untuk menyadarkan apakah ini nyata atau sekadar fatamorgana.

"Poppy!"

Suara itu.

Kulit Poppy kian pasi pun matanya mendadak amnesia cara berkedip yang benar. Tak sadar tangan kirinya menjatuhkan keranjang belanjaan. Suara itu makin menggaung keras di gendang telinga, mengirim ratusan memori acak yang tidak terlalu jelas mengakibatkan perutnya seperti diaduk-aduk.

"Poppy!"

Suara itu. Aku pernah mendengarnya.

Gelombang mual menerjang Poppy. Nyaris mengeluarkan isi lambung jikalau tak ditahan kuat-kuat. Dia berpegang pada rak makanan hewan sementara Rex mengamatinya keheranan sekaligus ketakutan.

"Poppy!"

Seorang bocah sekitar enam tahunan berambut kepang dua tengah melintas tanpa dosa sembari menenteng kotak sereal berwarna biru. Dia mendatangi anak perempuan yang mungkin setahun atau dua tahun lebih muda. Dia menunjukkan kotak biru bergambar astronot tersebut sambil berkata,

"Poppy, kau mau ini?"

Poppy kecil mengangguk mantap merangkul bocah di sampingnya penuh kasih sayang, sedangkan Poppy dewasa membungkam mulut kala sensasi tak menyenangkan di perutnya kian menjadi-jadi. Matanya tak sanggup beralih dari percakapan dua anak-anak di seberangnya.

Bagaikan masuk ke lorong waktu, dengungan nyaring menusuk telinga Poppy disertai potongan kenangan abstrak dalam kepalanya berputar sangat cepat. Tak mampu menghadapi serangan mendadak itu, tubuhnya jatuh terduduk di lantai. Napasnya megap-megap hingga mulutnya terbuka berusaha menarik udara, pembuluh darahnya berdenyut-denyut sebab lonjakan adrenalin bercampur kengerian itu melumpuhkan sebagian besar kesadaran Poppy. Walhasil, badannya dibanjiri keringat pun kerongkongannya ikutan kering.

Suara itu tidak asing. Benar-benar familiar, tapi siapa? Siapa pemilik suara itu? Kenapa efeknya semenakutkan ini? Tidak mungkin Joey menyebut Mom begitu protektif terhadap anak perempuan. Pasti ada yang disembunyikan.

Rex menyalak sebagai reaksi alami mengamati teman majikannya ketakutan setengah mati. Tak lama, dua orang penjaga supermarket menghampiri Poppy dan membantu gadis itu berdiri.

"You okay, Miss?" tanya gadis berambut pendek nan pirang. "Kau sangat pucat. Perlu kutelepon ambulans? Apa kau sesak napas?"

Yang ditanya menggeleng cepat, memaksa memalingkan mata mirip gerakan robot. "I-i... I-i'm fine," ucap Poppy terbata-bata.

"You sure?"

Poppy mengangguk walau sebetulnya tak yakin. Dia mengira berjalan keluar dari apartemen, mampu menepis kejadian aneh yang menimpanya berulang kali. Namun, kenyataannya tidak, mimpi itu pelan-pelan bermetamorfosis menjadi pengintai yang kapan saja menyelundup tuk mematikan kesadaran Poppy.

"Let me help you, kau perlu duduk dengan tenang. Apa kau punya semacam serangan panik?" tanya si petugas supermarket menolong Poppy berdiri dan membawakan keranjang belanjaannya.

"Ti-tidak."

Beruntung Rex tidak menambah kegaduhan justru mengiringi Poppy sembari menggesekkan badan ke kakinya, menyiratkan betapa khawatir anjing jantan itu. Walau tidak dapat dipungkiri sorot matanya tajam dan posesif--mirip Heath.

"Calm down, Big boy," kata Poppy mendaratkan pantatnya di kursi. "It's okay. It's okay." Dikecup lembut puncak kepala Rex. "It's okay. Maaf, tadi aku hanya...sedikit takut."

"Perlu kutelepon seseorang?" tawar si petugas supermarket ramah, menyerahkan keranjang belanja ke kasir. "Di mana tempat tinggalmu, Nona?"

"Beberapa blok dari sini," jawab Poppy. "Maaf, aku agak mengacau."

"Tidak apa-apa, justru kami khawatir. Kalau memang butuh bantuan medis, kami bisa telepon first aider."

Poppy menggeleng cepat. "Tidak. Tidak. Aku baik-baik saja. Mungkin karena kelelahan saja. Sorry." Dia beranjak, mengeluarkan kartu kredit ketika barang-barangnya sudah dikemas dalam kantong belanja.

Ragu-ragu, Poppy mengambil ponsel dan menelepon Heath. Sungguh dia bakal jadi gila kalau terus-terusan seperti ini. Menyugar rambutnya gelisah, Poppy menanti-nanti Heath menjawab panggilannya.

"Ck, mungkin dia sibuk," gumam Poppy memutuskan sambungan telepon. Kemudian bangkit dari kursi setelah benar-benar perasaanya cukup tenang. "Ayo, Rex, kita pulang."

Sepanjang perjalanan, Poppy tenggelam dalam pikiran dan sibuk mengais-ngais secuil ingatan yang kiranya menjadi petunjuk. Sial sungguh sial, tidak ada satu pun memori yang bisa menyambungkannya terhadap suara juga bayangan sosok gadis kecil itu.

Kenapa bentuk mukanya tidak jelas? Kenapa harus samar-samar seperti ini?

Alis Poppy mengerut, merasakan jika ingatannya di masa kecil terbatas di usia tujuh tahun. Dia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi di usianya yang keenam.

Apa aku mengalami amnesia masa kecil? Tapi kenapa? Aku merasa tidak memiliki masalah apa pun atau kejadian traumatis.

"Poppy!" suara berat Heath membuyarkan lamunan gadis itu begitu sampai di apartemennya. Rex memberi isyarat agar Poppy melepas tali pengekang supaya bisa menghamburkan diri ke sang majikan.

"You came?" Poppy terhenyak kaget, membiarkan Rex pergi.

"You called." Heath masih mengenakan setelan scrub biru ketika membaca ada beberapa panggilan tak terjawab. Otomatis, saat suasana di UGD sudah agak lengang, dia minta ijin keluar dengan alasan telepon darurat dari Poppy. "What's wrong?"

Yang ditanya, terpaku di tempat, mendadak tergugu sebab suara-suara bocah misterius masih terngiang-ngiang di kepala. Heath menghampiri Poppy, merangkum wajah gadisnya dengan perasaan cemas.

"Tell me, has anyone touched you?"

"No."

"Then why?"

"I heard her voice, Heath." Bahu Poppy gemetaran. "Su-suaranya... Suaranya jelas."

Lelaki itu terdiam lama meresapi kata demi kata yang terlontar dari mulut Poppy. Jempol Heath menghapus jejak-jejak basah di pipi kala Poppy berucap,

"Menurutmu kenapa ingatanku hanya terbatas di usia tujuh tahun? Kenapa aku tidak bisa mengingat tahun-tahun sebelumnya?" Linangan kristal bening enggan berhenti dari sudut mata cokelat Poppy yang diselimuti resah. "Apa kau tahu sesuatu Heath, sesuatu yang Joey pernah ceritakan padamu?"

Bibir Heath terbungkam cukup lama mengamati ekspresi Poppy menusuk-nusuk jantungnya. Gadis yang biasanya berlagak pongah dan menyebalkan kini berubah menjadi seseorang yang membutuhkan kepastian. Manalagi Poppy menyandarkan tubuh ke dada Heath, tersedu-sedu bak orang kehilangan arah.

"Jangan pernah membahas masalah itu lagi, Heath. Sekalipun adikku memohon padam," pinta Joey mengulurkan tangan.

Heath tersenyum sinis, membalas jabatan tangan Joey. "I know."

"Apa Joey merahasiakan sesuatu dariku, Heath?"

"Tidak." Ya, banyak rahasia.

"Benarkah? Kau tidak bohong kan?" Poppy menatap lekat iris abu-abu gelap Heath sambil sesenggukan.

Lelaki itu menggeleng pelan. "Tidak."

Terlalu banyak rahasia sekaligus kebohongan yang kuperbuat, Poppy. I'm really not a good man, Little trouble.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro