24. Don't own me but belong to you

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


'Well, I don't give a fuck about your friends. I'm right here.'

-Chase Atlantic-

***
Joey mengusap wajahnya gelisah begitu mendengar cerita Heath mengenai adiknya yang terus-menerus dibayang-bayangi oleh sosok anak kecil. Bolak-balik dia menghela napas panjang kemudian menenggak wiski ketika Heath berucap,

"Aku yakin suatu hari nanti, rahasiamu bakal terkuak."

"Damn, no!" gertak Joey meremas gela kristal tersebut, menyiratkan bahwa jangan sampai sang adik mengetahui sesuatu yang dipendam selama bertahun-tahun. "Kita bisa alihkan perhatiannya, Heath. Please, kau tak mau dia hidup dalam rasa bersalah kan?"

Lelaki itu terdiam cukup lama, membelai bibir gelas dan menerawang ke dalam bola mata sahabatnya. Lantas dia berpaling ke arah luar cafe yang tidak jauh dari area rumah sakit Heath bekerja, di mana orang-orang juga kendaraan lalu lalang. Diam-diam mereka sengaja bertemu setiap seminggu atau dua minggu sekali entah sekadar mengobrol masalah pekerjaan, rencana menonton pertandingan bola di stadion atau liburan ala pria, kehidupan asmara Joey yang bolak-balik kandas, hingga Poppy.

Si berandal kecilnya.

Sial, di dunia yang luas dan dihuni jutaan orang, Heath membatin kenapa harus dia yang diseret ke dalam masalah Pearson bersaudara. Lagi dan lagi.

"Not my business actually." Heath menatap Joey kembali seraya meneguk habis wiski, mendesis merasakan sensasi hangat nan agak pedas menyebar di permukaan lidahnya. "Tapi,  sepandai-pandainya kau menyembunyikan bangkai bakal terendus juga, Jo. Apa tidak sebaiknya kau beri tahu dia pelan-pelan?"

"Tidak! Itu bukan ide bagus. Orang tuaku sudah sepakat sejak kejadian itu, kami tidak akan pernah membahas atau menyinggung namanya lagi," tutur Joey menggebu-gebu. "Itu alasan kami kenapa pindah dan memulai kehidupan baru, Heath. Kuharap kau mengerti."

"I do." Heath mengangguk-angguk pelan berbarengan sudut bibirnya naik. "By the way, hari ulang tahunnya—"

"Besok. Kau jadi datang kan? Mom memintaku membawamu kali ini." Joey memandang penuh harap. "Kau adalah bagian dari keluarga kami, Heath. Aku serius."

Bagian dari keluarga.

Heath berulang kali merapalkan kalimat itu dalam hati. Ada perasaan hangat dan nyaman menjalari relung dada kala orang tua Joey masih menganggap dirinya bagian dari keluarga Pearson meski tidak ada hubungan darah. Kendati demikian, sejak berteman dengan lelaki bertindik di depannya ini, Heath selalu menolak ajakan makan malam terutama acara-acara intim. Bukan tanpa alasan, Heath melakukannya sebab ada kecanggungan juga tak mau terlalu dalam merajut ikatan emosi.

Apa aku terlalu kejam atas kebaikan mereka?

Tidak! Heath merasa itu bukan murni kesalahannya melainkan kepingan masa lalu yang menyebabkannya enggan berlama-lama berinteraksi dengan orang lain. Ketidakpercayaan terlanjur merantai dan hanya Joey seorang yang mampu memahami sisi gelap keluarga Heath.

Keluargaku tidak pernah menganggapku ada.

Aku hanya orang asing yang pernah singgah di rumah mereka sampai pada akhirnya takdir menendangku dari sana.

"Ya, mungkin aku datang," ujar Heath datar.

"Aku serahkan adikku padamu, nanti kami menunggu kalian di restoran," Joey menuang wiski ke dalam gelas Heath dan untuk diri sendiri. Dia menyiratkan sahabatnya agar bersulang sebagai apresiasi terhadap pertemanan mereka. "Hei, sekali lagi thanks sudah mengawasinya sejauh ini. Kau benar-benar yang terbaik, Mate."

Heath tersenyum simpul, menyesap wiski seraya memandang Joey lekat.

I watch and fuck her at the same time. You make everything so easy.

###

Heath datang ke Golden Skate bersamaan Poppy berada dalam dekapan seorang pria yang membisikkan sesuatu di telinganya. Seketika iris abu-abu Heath memicing tak suka manakala tangan pria berambut pirang itu bergerak turun seperti sedang memancing gairah berandal kecilnya. Sementara Poppy tampak tak terganggu justru terkikik atas bisikan dan ekspresinya jauh berbanding terbalik dibandingkan beberapa waktu lalu ketika dia sesenggukan mencari siapa bocah kecil yang menghantuinya tanpa henti.

Apa semudah itu dia melupakan masalahnya?

Tak menegur pun tak menghampiri, Heath memilih diam sambil bersedekap dan menyandarkan sisi tubuhnya di ujung pintu masuk gelanggang. Namun, kepalan tangan Heath tidak bisa menyembunyikan betapa bergemuruh hatinya mengamati Poppy bisa tertawa lepas. Lihat saja binar matanya yang cokelat, begitu bersinar seperti hamparan bunga matahari di musim panas pun pipinya merona kala si pria lagi-lagi mengatakan sesuatu.

Hingga pada akhirnya, kehadiran Heath disadari oleh si pirang yang tak sengaja menoleh ke arahnya. Pria itu menunjuk Heath dengan dagu membuat Poppy berpaling. Senyumnya seketika lenyap tanpa bekas berganti keterkejutan yang terpancar dari raut mukanya agak pucat.

Tanpa diduga, pria berpotongan pendek tersebut mendaratkan satu kecupan di pipi kanan Poppy.

"Happy birthday."

Begitu yang ditangkap Heath dari mimik si pria.

Poppy hanya mengangguk kaku, melirik ke arah Heath yang mematung di sana. Buru-buru dia berpamitan dan menghampiri Heath sembari menenteng tas skating. Tidak sedetik pun Heath mengalihkan pandangan dari langkah yang diambil Poppy. Tak lama Heath membalikkan badan, bergegas keluar arena skating sebelum Poppy mengucapkan sepatah kata.

What's wrong with him?

"Heath!" panggil Poppy berusaha mengejar langkah panjang Heath.

Yang disebut hanya bungkam seribu bahasa, bergerak cepat menuju basemen di mana Porschenya berada. Rahangnya mengetat, menahan diri agar tidak menyembur Poppy dengan rentetan makian kenapa harus melanggar batasan yang sudah disepakati bersama.
Heath bukan tipikal pria yang mudah dibakar cemburu, hanya saja apa yang menjadi miliknya tentu tak mau dibagi ke manusia lain sekali pun itu sebatas teman biasa.

Her smile ...

Her eyes ...

Her voice ...

Everything on her is fucking mine.

Sesampainya di depan mobil, Heath membuka pintu dan berkata, "Get in the car."

"Heath, itu tadi—"

"Get. In. The fucking car."

Suaranya yang terdengar bagai perintah telak memaksa Poppy masuk ke dalam kursi depan dan dia berjingkat kaget saat lagi-lagi Heath membanting pintu. Gadis itu mencibir mengingat perubahan suasana hati Heath begitu cepat padahal semalam masih baik-baik saja.

Bahkan jauh lebih baik.

Masih terekam jelas dalam ingatan betapa lembut dan perhatian lelaki itu selepas Poppy menangis tersedu-sedu. Menyiapkan sepiring makanan dan minuman yang langsung menenangkan batin juga lambungnya, mengecek kembali pergelangan kaki apakah benar-benar sudah pulih sebelum kembali ke ring, hingga menemani tidur sampai benar-benar terlelap.

"Ada kalanya kau begitu baik, Heath."

"Karena kau hanya melihat satu sisi kehidupanku, Poppy," ujar Heath membelai rambut gadisnya.

"Because I don't know you well." Poppy mendekat, meringkuk dalam dekapan hangat Heath yang terasa nyaman. "May I?"

"No. Sleep now, Baby." Heath mengecup kening Poppy penuh kasih sayang. "Good night."

Heath benar-benar memperlakukan Poppy layaknya perempuan yang membutuhkan pelipur lara. Tidak ada seks. Tidak ada perdebatan dibalut ketegangan. Sayangnya, sikap itu tak bertahan lama karena auranya kembali seperti semula, bahkan ketika dia mendaratkan pantat di kursi kemudi, Heath melirik sinis.

"He's just friend." Poppy menjelaskan ketika Heath menginjak pedal gas. "Kami berteman beberapa tahun belakangan ini dan aku—Heath!" Keningnya nyaris membentur dashboard manakala Heath menekan rem mendadak saat di lampu lalu lintas menyala merah. "What are you fucking doing!"

"Maybe try to kill you like an accident," jawab Heath ketus lalu menarik persnelling dan menginjak gas membuat Poppy tersentak ke belakang.

"Fuck, Heath! He is just fucking friend! Like us!" bentak Poppy.

Mendengar pengakuan tersebut, Heath mempercepat laju kendaraannya melintasi jalanan menuju apartemen. Tak peduli mendapat lengkingan klakson atau makian dari pengendara lain. Dia menggeram, meremas setir dan membantingnya ke kanan memasuki gedung tempat tinggal mereka. Ban berdecit nyaring, kepala Poppy terantuk jendela mobil membuatnya mengaduh pelan, tapi tak digubris Heath saat memarkirkan kendaraan kesayangannya.

"Damn!" rutuk Poppy melepas sabuk pengaman namun tangannya ditahan dan ditarik Heath.

Detik berikutnya ciuman kasar nan posesif diterima Poppy tanpa aba-aba manakala jemari lelaki itu melingkari tengkuk leher Poppy. Dia gelagapan tapi berusaha mengimbangi permainan lidah Heath dalam mulutnya. Emosi yang bergulung-gulung, menyeret mereka dalam kubangan kenikmatan berbaur kemurkaan.

"Just friends like us?" Heath menggigit bibir bawah Poppy menimbulkan erangan sensual di telinga. "Did he touch you like me, Little trouble? Did he make you come like I did? Did he make you scream my name like I did?"

"No." Poppy mengelak, mendongakkan kepala sembari meringis merasakan Heath meninggalkan jejak teritorialnya di leher jenjangnya. "You don't own me, Heath."

"Yes, but you belong to me, Pearson. Nothing will take you from me, not even death," ujar Heath di telinga Poppy.

"Are you jealous, Mr. Alonzo?" tanya Poppy di depan bibir Heath.

"I'm not, but I don't like sharing," jawab Heath selagi tangannya meraih sesuatu dari bangku belakang mobilnya. "Untukmu."

"Kau marah dan sekarang memberiku hadiah?" ledek Poppy menerima pemberian Heath—sebuah kotak yang dibalut kertas merah sesuai warna kesukaannya. "Apa ini?"

"Buka besok dan pakai selama acara makan malam bersama keluargamu," kata Heath sembari menyeringai penuh arti. Dia mendekatkan bibir ke telinga Poppy dan berucap, "Dan kenakan pakaian terbaikmu

###

Poppy tidak mengira Heath akan memberinya sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Berulang kali dia mencoba menetralkan debaran jantung juga percikan gairah yang mulai menyala-nyala dalam darah bahkan rona pipinya saja tak mampu disembunyikan lebih lama. Bagaimana tidak, di depan cermin Poppy mengamati pantulan dirinya dalam balutan gaun satin merah bergaya off shoulder dan belahan samping yang tinggi, mungkin telihat biasa saja namun pandangan gadis itu justru ke arah dada di mana terdapat nipple clamp ada di sana.

"Pakai selama acara makan malam bersama keluargamu."

Begitu membuka bingkisan yang diberi Heath, Poppy sempat melayangkan protes. Orang gila mana yang bersedia mengenakan benda-benda itu di saat acara formal apalagi di depan orang tua juga Joey.

"Pakai. Sebelum aku yang akan memasangkannya padamu, Pearson," pinta Heath. "Aku membelikannya susah payah, kenapa tidak dihargai?"

"Ini bukan hadiah, kau malah memancing masalah di depan keluargaku, Heath!"

Lelaki itu terkekeh pelan. "Oh Baby, bukankah kau memang selalu menyulut masalah? Kenapa tidak sekalian saja?"

"Fuck you!"

"If you insist, Baby," tukas Heath dengan mata berkilat lalu menggendong Poppy menuju kamar dan menampar keras bokongnya.

Digigit bibir bawah, Poppy meremas pinggiran wastafel sembari meraup oksigen banyak-banyak saat pangkal pahanya turut terpasang vibrator kecil yang menggoda clit-nya.

Denting bel di balik pintu apartemen membuyarkan usaha Poppy membangun pertahanan setinggi mungkin. Dia berdeham sebentar, merapikan kembali penampilannya lalu tersenyum senormal mungkin kemudian keluar. Seketika matanya membeliak mendapati penampilan Heath sialan menawan dalam balutan kemeja dan celana pipa berwarna gelap.

Pahatan dadanya yang kekar mengintip malu-malu sebab Heath sengaja membuka dua kancing teratas, begitu pula tato ular juga dua garis melingkar turut menampakkan diri karena lelaki itu menggulung bagian lengan kemeja sebatas siku. Potongan undercut rambut tebal Heath menambah kesan maskulin juga misterius dalam waktu bersamaan. Entah kenapa Poppy ingin menggeret Heath dan mengurungkan niat mereka pergi ke restoran sesuai yang ditentukan orang tuanya.

He's more delicious than a birthday cake!

Sedangkan Heath dibuat terpana oleh kecantikan Poppy. Warna merah memang benar-benar pantas dikenakan oleh gadis itu, kulitnya yang agak gelap berkilau di bawah lampu penerangan. Gaun yang dipakai juga merangkul pas pinggang Poppy, begitu pula iris cokelatnya dipayungi bulu mata lentik seiring pulasan lipstik senada menghiasi bibir.

"Perfect," puji Heath mengulurkan tangan yang diterima Poppy.

"Yeah, perfect with these damn gifts," cibir Poppy saat Heath mencium punggung tangannya lembut.

"Happy birthday," kata Heath melingkarkan lengan ke pinggang Poppy, namun sebelah tangannya meremas bokong gadisnya. "Kuharap kau senang dengan hadiahku."

Poppy mengalungkan tangan ke leher Heath,"Kelihatannya kau yang bakal senang bukan aku. Tapi, terima kasih atas ucapannya."

Heath terkekeh. "Because we're playing with fire, Baby." Dia memiringkan kepala, memberi kecupan di bibir berandal kecilnya. "Αγάπη μου, Ομορφιά μου, Κούκλα μου."

(Agapi mu, omorfia mu, kukla mu = cintaku, cantikku, bonekaku)

"Are you teasing me?" Poppy terkikik dan membalas pagutan manis itu.

"Maybe." Heath menggenggam tangan Poppy. "Ayo berangkat sebelum aku merusak riasan dan penampilanmu, Pearson."

Dan mari kita mulai permainan sebenarnya.

***

Baca bab 25 di Karyakarsa yakkk, di sana ada sekitar 4000 kata jd cukup beli 4000 rupiah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro