26. Mission starter pack

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You never say a word unless it's to complain. It's driving me insane.'

-Hoobastank-

***

Meluncur di atas es, jiwa Poppy ternyata masih tertahan di malam Heath menceritakan sisi gelap kehidupannya. Bagaimana lelaki itu dulu menjadi pelampiasan sang ayah atas kematian ibu juga adiknya. Sayang, Poppy tidak bisa mengorek informasi Heath lebih jauh. Lelaki itu memilih mengakhiri pembicaraan dengan menyuruh kembali ke apartemennya sendiri.

Di satu sisi, hati kecil Poppy masih mengucurkan air mata tak mampu membayangkan anak sekecil itu harus menanggung ribuan lara. Tidakkah ayahnya paham bahwa kematian manusia tidak ada yang bisa memprediksi, kenapa dia harus menumpahkan kesedihan kepada anak lelaki yang seharusnya diberi kasih sayang sepenuh hati.

Bibir Poppy berusaha mengukir seulas senyum saat melakukan putaran five quads secara presisi. Gerakan yang akhirnya berhasil dikuasi usai berminggu-minggu latihan tanpa henti. Harold berdecak kagum kala Poppy mendaratkan kakinya tanpa goyah lantas menyelesaikan gerakan terakhir dari program pendek yang bakal ditampilkan di turnamen.

"Good. Perkembanganmu jauh lebih baik," puji Harold saat Poppy mendatanginya.

"Thanks."

Lelaki paruh baya itu mengerutkan kening menangkap ada sesuatu yang sedang dipikirkan anak didiknya. "What's wrong, Dear?"

Yang ditanya hanya menghela napas panjang, menghindari tatapan selidik Harold. Lagi pula, Poppy tidak akan menemukan jawaban andai kata bercerita kepada pelatihnya. "Nothing." Dia menggeleng pelan lalu keluar dari arena es seraya menyambar hard guards dan memasangkannya ke pisau sepatu.

"Kalau ada masalah, jangan sungkan cerita," ujar Harold mendudukkan diri di samping kiri Poppy. Berpaling mengamati gadis itu tengah meneguk minuman pelepas dahaga kemudian berbisik,"Apa ini tentang pria?"

Kontan gadis itu tersedak sampai terbatuk-batuk mengetahui betapa Harold menebak isi otaknya tanpa meleset. Sementara sang pelatih justru terbahak-bahak sebab baru kali ini melihat Poppy dilanda dilema hanya karena seorang pria entah siapa.

"Come on ..." Poppy menyikut pelatihnya seraya memutar bola mata.

"Aku bukan hanya pelatihmu, Ms. Pearson, tapi aku juga seorang ayah dari tiga putri. Tentu aku sangat memahami bagaimana para gadis jatuh cinta."

"No!" seru Poppy salah tingkah. "Aku tidak jatuh cinta, oke!"

"Oh yeah?" Lelaki itu memicingkan mata. "Tapi, matamu tidak bisa berbohong, Nak. Ragamu di sini, tapi hati dan pikiranmu berada entah di mana."

Sesaat Poppy tertegun, membantin sejelas itukah ekspresinya saat ini merenungkan masa lalu Heath. Tapi, apakah ini ada hubungannya dengan perasaan yang dinamakan cinta? Namun, dia tidak merasa menaruh hati pada Heath, hanya sekadar bersimpati.

Apakah di jaman sekarang memberi empati atau simpati sudah bisa disebut jatuh hati? Apa ada yang salah dengan tindakannya memikirkan Heath hanya karena jarang bertengkar?

"Bersamamu, segalanya menyenangkan."

"Kau sangat berarti untukku, Pearson. Itu artinya."

"Yeah ... aku tahu, kau bukan orang yang kukencani tapi bisa jadi orang yang kunikahi nanti."

Sialan!

Dewi batin Poppy menaik turunkan alisnya, manakala debaran dalam dada mendadak berdegup kencang seiring efek domino itu kembali mengaduk-aduk perut. Seolah-olah jutaan kupu-kupu ingin mendesak keluar tuk menyerukan kepada dunia bahwa ada secercah harapan bagi dua insan yang dulunya saling benci kini terikat oleh asmara.

Buru-buru Poppy menangkis hal tersebut,"No way, Harold."

Harold mengangkat bahu, menepuk pundak Poppy lalu bangkit dari duduknya. "Terserah kau saja, Poppy. Aku hanya menganalisa apa yang ada di depanku. By the way, besok jangan lupa latihan untuk program bebas. Hari ini kau sangat bagus cuma penghayatanmu saja agak kurang, Darling. Menari di atas es tidak melulu soal gerakan melainkan harmonisasi supaya terlihat bernyawa."

"I know, Sir."

"Oke." Harold membereskan barang-barangnya seraya mengedarkan pandang. "Pria yang biasanya menjemputmu belum datang."

"Heath?" Poppy mencebik. "Dia bilang agak sibuk jadi mungkin akan terlambat menyusul."

"Kenapa tidak pulang sendiri?" Harold memanggul tas ranselnya.

"Kau tahu bagaimana kakakku yang super protektif, Sir. Sekarang aja aku belum punya apa-apa selain kartu kreditku," ujar Poppy tersenyum masam. "Aku benci jadi anak bungsu."

Harold tergelak. "Yeah, aku tahu rasanya. Baiklah, sampai jumpa besok. Dan ingat, jangan terlalu mabuk."

"Yes, Sir."

###

Denting gelas berisi koktail terdengar nyaring kala Poppy dan ketiga temannya berkumpul di salah satu pub untuk merayakan ulang tahunnya yang sempat tertunda. Entakkan musik bagai ingin memecah gendang telinga sementara sorot lampu kebiruan bergerak ke sana ke mari saling bergantian dengan pendar kemerahan. Puluhan orang bergabung ke lantai dansa, menjunjung tinggi gelas-gelas mereka di bawah penerangan yang agak remang-remang itu.

Poppy menanggalkan jaket kulit, menyisakan mini dress hitam nan berenda bertali spagetti yang dipadu bersama leather knee boots. Rambut brunette yang dicepol tinggi, digerai memanjang lalu sengaja menurunkan bagian dada agar belahannya makin terlihat. Hal tersebut tentu mengundang beberapa pasang mata buaya memerhatikan gerak-gerik Poppy yang menggoda. Gadis itu melambaikan tangan, menjaring para pria seraya mengerlingkan sebelah mata saat Alexia menyikutnya,

"You okay?"

Yang ditanya mengibaskan tangan, menyesap kembali koktailnya sampai tandas. "Not okay but it's okay, Girls."

"Sepertinya banyak hal yang kami lewati walau baru beberapa hari," sahut Norah menopang dagu dengan sebelah tangan, mencermati raut wajah sahabatnya.

"Pasti ada hubungannya dengan Heath," timpal Alexia seolah mampu membaca isi kepala Poppy. Kontan Arya membeliak, sedangkan Norah manggut-manggut setuju terhadap opini sahabat pirangnya itu.

"Fuck, Lex! Why should I!" elak Poppy kesal.

"Pertama, kuperhatikan sejak dari Mykonos kau jarang merayu pria seperti kebiasaanmu. Kedua, sejak dari Mykonos kau jauh lebih jinak saaat bersama Heath daripada terakhir kali kita di Budapest. Ketiga-"

"Stop! Fuck! Dammit!" potong Poppy tak mau Alexia membuka aibnya lagi dan lagi. Jangan sampai mereka mengendus rahasia besar yang disembunyikannya.

"What's going on, Babe?" Kali ini Arya buka suara.

Poppy menggeleng cepat. "I-i don't know who I am anymore, Babe. Maksudku, yeah ..." Jemarinya membelai bibir gelas, mencerling ke arah Alexia seperti hendak membenarkan perkataannya. "Fuck!" Poppy memajukan badan, menyiratkan temannya agar melakukan hal sama.

"Apa kita sedang merencanakan pembunuhan?" bisik Arya tampak antusias. "Atau rencana membangunkan itu pria lagi? Mr. Gray maybe?"

"Shut up, Arya!" hardik Norah salah tingkah. "So?"

"Aku punya misi baru," tutur Poppy memandang ketiga temannya penuh arti. "Kita cari informasi tentang Heath. Aku dengar, dia kaya raya dan punya peternakan kuda."

"What?" Serempak ketiga gadis di depan Poppy menaikkan satu oktaf suaranya.

"Why?" Norah membelalakkan mata seperti tak percaya kata itu meluncur dari mulut Poppy. Seingatnya dulu, sahabatnya itu paling anti dengan manusia bernama Heath Alonzo. "Dari mana kau tahu dia punya peternakan kuda? Tapi, aku tidak bakal heran dengan Porsche-nya."

"Kalau tahu dia kaya, kau mau mendekati Heath?" sambung Arya. "Dia sahabat kakakmu dan Jo tahu kalau Heath gay bukan straight kan? Kau mau dilempar Joey ke laut?"

"Kau naksir dia, Babe?"

Pertanyaan Alexialah membungkam Poppy selama beberapa saat. Kebisingan di sekelilingnya perlahan-lahan memudar berganti kalimat Heath menggema. Sorot mata abu-abu gelap lelaki itu memancarkan duka sekaligus kesedihan mendalam di balik ekspresi datar yang ditunjukkannya selama ini. Manalagi kilasan Poppy meminta izin Heath tuk menyentuh bekas-bekas luka di punggungnya bak ribuan pisau tajam menghunus dalam dadanya.

"No, Pearson. That's not our rule," tolak Heath beranjak pergi namun lengannya ditahan Poppy.

"Heath ... please ... before I leave let me see you." Poppy menatap penuh harap. "The real you."

Cukup lama lelaki itu menimang, akhirnya Heath melucuti kausnya kemudian membelakangi Poppy. Membiarkan gadis itu menyaksikan ribuan amarah sekaligus kecewa yang dipendam Heath selama belasan tahun. Bagaimana Heath nyaris menyerah pada takdir akibat kekerasan yang dialami selama berbulan-bulan sebelum didepak dari rumah.

Tidak ada seorang pun yang peduli saat tangannya menengadah meminta makan, minum, bahkan selimut sebagai alas tidur. Heath dikurung dalam kamar atap rumah yang sempit, pengap, lembap, dan gelap. Kakek dan neneknya pun sama, tak mau menganggap Heath sebagai keluarga justru menyebutnya sebagai pembunuh. Ayahnya-notabene putra kesayangan sang kakek-nenek-mengalami depresi hingga kuda-kuda peliharaan tak lagi terurus secara benar.

Heath memejam kuatkala merasakan hangatnya sentuhan Poppy membelai luka demi lukanya yang tertutupi oleh pahatan tato tengkorak. Sebaliknya, kecemasan membekap Heath menyebabkan tarikan napasnya begitu berat pun nadinya berdenyut cepat.

"Be-berapa ka-kali dia ... melakukan ini?" tanya Poppy terbata-bata menahan isak tangis.

"Jangan tangisi aku, Pearson." Heath menoleh sedikit, melirik Poppy yang menaruh iba padanya. "Kejadian itu sudah lama."

"Tapi, aku ingin tahu." Jemari kanan Poppy mengusap bekas parut luka-luka Heath. Melintang dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, menyerong, hingga tak beraturan. Dia membungkam mulut, tak mampu membendung kristal bening di pelupuk mata saat menangkap ada keloid di bagian pinggang. "Apa ini bekas disundut rokok?"

Heath mengangguk pelan.

"Apa itu ayahmu juga yang melakukannya?"

Sekali lagi Heath melenggut, mencabik-cabik hati Poppy.

"Heath ..."

"Sudah kubilang jangan buang air matamu, Poppy. Itu akan sia-sia karena luka-luka ini tidak akan hilang sekalipun kau menangis darah," tutur Heath.

"Be-berapa kali ayahmu-"

"Dua puluh kali." Heath mengepalkan tangannya kuat-kuat melawan gempuran di mana ayahnya memecutnya dengan selang air. "Setiap kali dia ingat tanggal kematian mereka."

"Babe?"

Poppy gelagapan mendengar suara Alexia lalu menggeleng cepat, "Tidak. Aku tidak naksir dia. Aku tahu dari Joey, jika Heath punya peternakan kuda," ujarnya bersilat lidah. "Oleh sebab itu, aku ingin menggali informasinya karena ... dia kaya tapi kenapa harus susah payah jadi dokter. Selain itu, apa kalian tidak heran kenapa Heath selalu menemukan kita begitu mudah?"

"Tidak." Alexia, Norah, dan Arya menjawab kompak.

Poppy mencebik seraya memutar bola mata. "Damn! Come on, Babes ... Heath fucking Alonzo, pria misterius tukang marah yang selalu muncul tanpa kita duga. Selama ini aku tidak tahu media sosialnya bahkan asal-usulnya. Yang kutahu, dia teman Joey sejak semester awal kuliah dan sekarang aku baru tahu dia anak orang kaya. Bisa jadi kan dia sepupu jauh Princess of Wales? Atau keponakan jauh Victoria Beckham? Who knows!"

"Jangan harap, Babe. Heath tetap Heath, tidak mungkin dia punya darah bangsawan," ledek Norah.

"Terserah kau. By the way, baru kemarin dia menerima undangan makan malam keluargaku, Babes. Aneh kan?" cerocos Poppy lagi.

"Oh ya? Bagaimana dengan kalung itu?" tunjuk Alexia ke arah perhiasan yang melingkari leher Poppy. "Kutebak, pasti Heath yang memberikannya kan?"

"Serius itu dari Heath?" Arya mendekat, memerhatikan lebih detail bentuk kalung Poppy. "Fuck! Ini edisi terbatas Tiffany&Co!" serunya. "Aku yakin dia memang kaya, Lex."

"Serius?" Norah menyalakan senter ponsel dan menyorot liontin merah delima yang menggantung indah di leher Poppy. "How lucky you are, Babe."

Salah tingkah, Poppy menepuk tangan Norah dan Arya. "Shut up, ini cuma kalung, oke?"

"Wah ... atau jangan-jangan Heath yang naksir?" terka Norah yang dibalas cubitan maut di lengan. "It's fucking hurt, Poppy!"

"Then just shut the fuck up!"

"Tapi, aku perhatikan kau sekarang peduli padanya, Babe," kilah Alexia. "Artinya-"

"Lex, Please. Don't judge me," sela Poppy. "Ini cuma kalung. Hubunganku dengan Heath juga masih seperti biasanya. Apa kami harus bertengkar setiap hari supaya kalian percaya?"

"No ... but-"

"Jangan memperdebatkan lagi," sela Poppy. "Intinya, kita berempat cari detail informasi Heath. Aku ingin tahu semua jejak digitalnya sampai ke akar. Deal?" Dia mengulurkan tangan, menyiratkan agar ketiga temannya menumpukan tangan di atasnya.

"Deal."

*

**

Baca bab 25 di KK, sekitar 4000 kata hanya 4000 rupiah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro