29. Confess

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I don't know what it is,
but I gotta that feeling.'

-Lauv-

***

"Hei, Big boy," sapa Heath menghampiri Bronco—salah satu kuda berbulu merah kecokelatan berjenis kuartal Amerika. Hewan gagah nan tampan itu meringkik, memiringkan kepala seakan-akan menerbitkan senyum cerah sebab tahu kalau yang datang adalah sahabat yang dirindukannya.

Heath terkekeh, mengelus-elus dahi Bronco penuh kasih sayang. Berbagi asa karena lama tak bersua, apalagi di antara belasan peliharaan Rob, hanya kuda inilah yang paling dekat dengan Heath. Mengingatkan lelaki itu pada kudanya terdahulu yang sengaja diberi nama yang sama.

"You miss me right?" gumam Heath. "Maaf, aku baru bisa datang, Dude."

Bola mata Bronco membulat menatap Heath lekat-lekat lalu melirik ke arah Poppy seolah-olah hendak mengajukan pertanyaan. Dia berpaling, menggenggam mesra jemari gadisnya kemudian mengecup lembut punggung tangan Poppy seraya berucap, "Ini gadisku, Bronco."

Mendengar pengakuan lelaki bertelanjang dada di sebelahnya, tungkai Poppy serasa meleleh tanpa aba-aba. Sekujur tubuhnya meremang seperti ada aliran listrik yang merangkak cepat di setiap sel saraf. Dia memejam, merutuk sepelan mungkin kenapa efek domino itu datang lagi. Poppy berdehem, berusaha menetralkan getaran hebat dalam dada yang kian tak berirama tuk sekali lagi.

Selanjutnya, Heath berpindah ke belakang Poppy membuatnya bagai pelindung kokoh yang bakal menghalangi siapapun yang ingin menyakiti. Sementara itu, semerbak wangi yang menjadi ciri khas Heath—aroma wiski berbaur amber juga bergamot—bercampur keringat menggoda hidung lancipnya. Jika seperti ini, bisa dipastikan sebagian besar kesadaran Poppy bakal melayang ke antah berantah atau justru bersimpuh menanti-nanti apa yang akan dilakukan Heath padanya.

Lelaki itu mengarahkan sebelah tangan gadisnya ke dahi Bronco, mengusap-usap sembari berbisik,"Bronco bisa tahu kau sedang gugup atau tidak, Poppy. Just relax ..."

Oke relaks, Poppy ... ini hanya sentuhan biasa. Bukankah kau sudah sering melihat setiap jengkal tubuhnya? Kenapa harus grogi seperti anak remaja?

Sebisa mungkin Poppy merengguk saliva, menetralkan kegugupannya seraya melenggut cepat.

"Inhale ... exhale ..." imbuh Heath di balik daun telinga Poppy. "Tak perlu takut, ada aku di sini." Perlahan-lahan dia melepas genggaman tangan, beralih merengkuh perut Poppy dari belakang dan mengecup pundaknya. Ciuman yang merambat menuju leher seperti ingin memamerkan kepada Bronco bahwa Poppy adalah miliknya.

"A-aku tidak takut, H-heath," kilah Poppy kemudian menggerutu pelan sebab sentuhan Heath makin memecah konsentrasi. Dia juga tak mampu mengumpulkan puing-puing kewarasannya jikalau Heath berada di belakang—bertelanjang dada.

Fuck! Kenapa aku terbata-bata seperti itu? Ke mana dirimu yang biasanya Poppy? Ke mana sisimu yang berapi-api?

Heath terkekeh pelan. "Nervous because of me, Baby?"

Kontan Poppy menyikut iga Heath, lelaki itu menggeram kesakitan. "Dalam mimpi basahmu!" omelnya. "Heath, apa kuda-kuda di sini kuda pacu atau sekadar dipelihara saja atau hanya untuk hiburan anak-anak yang ingin menunggangi mereka?"

"Ehm ... macam-macam." Heath mengarahkan Poppy ke kandang kuda lain tanpa melepaskan rengkuhan. "Sebagian besar kuda peliharaan, tapi ada juga yang merupakan pensiunan kuda pacu. Ini salah satunya." Dia menunjuk kuda jantan berbulu abu-abu berusia sembilan tahun bernama Roxy. "Tiga tahun lalu, Roxy hampir dijagal oleh pemiliknya. Rob dan aku melakukan negoisasi yang cukup sulit."

"Kenapa?" tanya Poppy mengerutkan kening. "Kenapa mereka harus membunuh kuda manis ini padahal dulu mereka bisa menghasilkan uang jutaan poundsterling dalam sekali kontes kan?"

"Mereka bilang sudah tidak membutuhkan Roxy dan daripada memberinya makan setiap hari, lebih baik dibunuh," tandas Heath membawa tangan kanan Poppy menyisir lembut surai Roxy. "Mereka tidak pernah tahu betapa sedih Roxy mengetahui hal itu. Aku dan Rob sampai harus memanggil dokter hewan beberapa kali supaya Roxy tidak mati sia-sia."

"Dia sempat stress? Apa kuda-kuda ini bisa merasakan emosi layaknya manusia?"

Heath mengangguk. "Kuda adalah hewan cerdas, setia, dan peka, Baby. Mereka menerima manusia apa adanya tanpa syarat, menyesuaikan perilakunya sesuai dengan suasana hati manusia, namun tidak banyak manusia yang bisa memahami mereka. Seringkali kuda-kuda pensiunan dibunuh tanpa diberi kesempatan menikmati hari tua bersama tuan-tuannya. Itu yang membuat kami memperjuangkan Roxy."

Terenyuh oleh cerita Heath, Poppy nyaris menitikkan air mata. Heath tersenyum simpul mengecup pipi gadisnya. "Jangan menangis, Roxy bisa tahu kalau kau sedang menaruh iba padanya. Dia tidak seberapa suka."

Poppy terkekeh, mengusap bulir kristal bening yang berjatuhan di pipi. "Sepertinya kau jauh lebih hebat jadi peternak kuda daripada dokter, Mr. Alonzo."

"Nah, kalau aku jadi peternak kuda, maka aku tidak akan pernah berjumpa denganmu, Little trouble," tutur Heath menimbulkan rona merah di pipi Poppy. "Mau menunggangi Roxy?"

"Apa dia mau?" Poppy menoleh, menautkan kontak matanya dengan Heath.

Perhatian lelaki itu turun ke bibir Poppy lantas mengecupnya pelan. "Tentu. Dia menyukaimu, Pearson." Heath bergerak, membuka pagar pembatas, menyilakan Poppy menjalin ikatan batin sementara dia mengambil bantalan pelana serta alat lain untuk berkuda.

"Hei, Roxy ..." sapa Poppy. "Thanks sudah bertahan sejauh ini. Oke."

Roxy memiringkan kepala, menerima sapuan hangat tangan Poppy sambil meringkik bahagia. Heath tertawa, memasangkan saddle pad di punggung kuda tepat di awal tulang belikat. Selanjutnya, dia menumpuk bantalan pertama itu dengan half pad yang diakhiri menempatkan pelana di bagian teratas.

"Kenapa dari dulu kau tidak mengajakku ke sini?" Cibir Poppy. "Kenapa hanya Joey yang kau undang? Aku jadi curiga—"

Kalimat Poppy teredam saat Heath membungkam bibirnya.

"Kenapa kau jadi sering menciumku," gerutu Poppy tersipu malu.

"Karena aku suka," tandas Heath tanpa dosa seraya memasangkan sabuk melingkari perut Roxy melalui loop yang ada di bantalan pelana, memastikan semuanya terpasang benar dan tidak goyah agar nyaman bagi Roxy maupun Poppy. Merasa diperhatikan, Heath berpaling, menyorot ekspresi berandal kecilnya. "Are you blushing?"

"In your fucking dreams!" ketus Poppy memutar bola mata.

Tak menanggapi ejekannya, Heath melanjutkan persiapan berkuda dengan mengenakan tali pengekang ke Roxy. Kuda abu-abu yang pada dasarnya dilatih sebagai kuda pacu, menurut begitu saja ketika Heath memakaikannya mounting block sebagai pengendali gerakan kuda.

Begitu selesai, dia mengambil helm yang tergantung tak jauh dari kandang Roxy lalu memasangkannya ke kepala Poppy alih-alih topi koboi yang dibawa gadis itu. "Amankan kepalamu dulu sebelum berkuda."

"Tapi, itu tidak estetik, Heath. Aku ingin pakai topiku," gerutu Poppy tak terima.

"Kau pakai hanya untuk bergaya, bukan keamanan," ketus Heath mengunci tali dan memastikan helm itu terpasang pas di kepala Poppy. Dia mencolek puncak hidung gadisnya,"Good girl." Direbut topi koboi itu dan mengenakannya untuk diri sendiri. Dengan cekatan, Heath menggiring Roxy dan mengajak Bronco keluar kandang untuk menikmati sore bersama-sama.

Diam-diam, Poppy mengabadikan momen ini dalam jepretan kamera ponselnya. Riak otot punggung Heath yang berhias tato tengkorak, kulit tan yang berkilau akibat bermandikan keringat, serta dua kuda jantan yang begitu gagah menjadikan pemandangan tersebut seksi di mata. Apalagi binar mata Heath jauh berbeda dibandingkan ketika di London, seolah-olah Poppy bertemu kembali versi Heath yang ada di Mykonos—manis dan romantis.

"Aku ingin naik," ujar Poppy menyelipkan ponsel ke dalam saku belakang celananya.

Heath mengambil undakan tangga dari kayu yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berpijak, lantas menempatkannya tempat di sisi kiri bawah Roxy. "Naiklah," kata Heath mengulurkan sebelah tangan.

Gadis itu menurut, menggenggam tangan Heath lantas mendudukkan dirinya di atas Roxy.

"Kakimu jangan ke belakang seperti ini," koreksi Heath membenarkan posisi kaki Poppy—menumpukan bagian depan kaki daripada bagian tumit juga bagian paha sampai betis menempel ke badan kuda.

"Aye, aye, cowboy!" seru Poppy kegirangan. "Apa aku harus condong ke depan seperti ini?"

"Nah ..." Heath menggeleng. "Cukup duduk dengan punggung lurus tapi santai, arahkan pandanganmu ke depan, dan tali ini jangan ditarik keras-keras. Roxy bakal kaget."

"Bagaimana aku bisa mengendalikannya kalau tidak ditarik kuat?"

"Sikumu jangan terlalu dibuka lebar, Baby," Heath memosisikan siku Poppy. "Rapatkan agar kau tidak lelah. Intinya dalam mengendarai kuda maupun mesin, pastikan dirimu nyaman."

"Like when you ride me?" Goda Poppy.

Heath tertegun sesaat. "What?"

"Oh." Poppy mengatupkan bibir, salah tingkah.

"Kurasa itu hal lain, Pearson," ujar Heath menyunggingkan senyum miring. "So, saat kau ingin menggerakkan Roxy, rendahkan posisi tanganmu dan tendang perutnya dengan kakimu. Pelan saja."

"Seperti ini?" Poppy melakukan yang dikatakan Heath.

Roxy bereaksi, maju beberapa langkah ke depan.

"Good girl." Heath mengelus-elus Roxy. "Pada dasarnya, kuda akan menjauhi tekanan. Jadi, saat kaki kananmu menendang perut bagian kanan, dia akan bergerak ke arah kiri, begitu juga sebaliknya."

Poppy memperagakan perkataan Heath dan benar saja, saat dia menendang perut Roxy dengan kaki kiri, kuda itu bergerak ke kanan.

"Dan ketika kau ingin menghentikan kuda, cukup tarik lurus talinya ke arah perutmu, Baby. Ingin belok tinggal arahkan saja talinya ke kiri atau ke kanan sesuai yang kau inginkan."

"Sepertinya mudah." Gadis itu ikut-ikutan mengelus surai panjang Roxy.

Heath memutar bola mata lalu menepuk pelan bokong Roxy membuat kuda itu berjalan perlahan-lahan. "Kita coba beberapa putaran sebelum berkeliling, oke?"

"Oke."

Pendar matahari yang enggan menggelincir, menjadi teman setia mereka yang hanyut dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Menggiring Bronco di sisi kiri, sementara tangannya turut memegang tali pengekang Roxy, Heath berjalan sembari sesekali mencerling ke arag gadisnya. Sepoi angin membelai lembut, menerbangkan anak-anak rambut Poppy yang digulung asal dan entah kenapa pemandangan di samping Heath justru tampak ...

Lelaki itu berpaling, enggan meneruskan kalimat alih-alih menyetujui bisikan hati yang mulai menguasai. Sialnya, untuk pertama kali, Heath merasakan ada sesuatu seperti sedang memukul-mukul rongga dada dari dalam. Tak menyakitkan namun mendebarkan. Begitu pula darahnya berdesir begitu cepat, mengirim gelenyar yang sangat ingin dihindari Heath semenjak bersama Poppy di Mykonos.

"Matamu tidak bisa membohongiku."

Dilepas tali pengekang Roxy membuat Poppy mencibir. Heath menaiki Bronco ketika Poppy berseru, "Ayo kejar aku!"

Tak sempat mencegah, gadis itu justru terbahak-bahak menunggangi Roxy. Heath mengejar Poppy selagi berteriak sekeras mungkin agar berandal kecil tersebut tidak terlalu menggila sebab mengendarai kuda bukanlah hal mudah. Apalagi Roxy mantan kuda pacu, Heath takut jika suasana hatinya berubah dan tiba-tiba mencelakai Poppy.

Tak mengindahkan peringatan Heath, Poppy justru kegirangan seolah-olah seluruh pergerakan tubuhnya membaur bersama kaki-kaki Roxy. Menelusuri jalan setapak yang dikelilingi rerumputan, semak belukar, dan pepohonan rindang. Poppy serasa berlari di atas awan, menggapai gumpalan langit di sana, bahkan menerjang angin yang berusaha menghalanginya. Terpaan sinar matahari yang menyengat kulit tak lagi berarti bagi Poppy.

"Poppy!" seru Heath berhasil mengejar laju Roxy dan mengimbangi kecepatan. "Kau bisa jatuh, Little trouble!"

Ditarik pelan tali pengekang Roxy, menurunkan kecepatan kuda itu sembari mengerutkan hidung sebal. "Ayolah ... aku sudah bisa. Ini hanya masalah tendang, tarik, dan menjaga kestabilan kan?"

Heath memutar bola matanya. "Jangan memancing masalah, Little trouble! Kau berada di pengawasanku, oke?"

"Kau benar-bear kolot!" ledek Poppy mendengus kesal, mengelus-ngelus leher Roxy. "Aku heran kenapa mereka menurut padamu."

"Aku juga heran kenapa kepalamu sekeras batu, susah diberi peringatan!"

"Heath," panggil Poppy. "Hidup hanya sekali. Kenapa pula harus ikut aturan sana-sini?"

Hendak membalas perkataan Poppy, tiba-tiba rintik-rintik datang tanpa diundang dan dalam sekejap hujan mengguyur deras.berbarengan awan hitam menutupi area yang dijejaki mereka. Buru-buru, Heath mengarahkan Bronco ke sebuah pondok kecil milik Rob yang biasanya digunakan sebagai area istirahat sementara. Poppy mengekori Heath sambil mengomel kenapa alam mendadak tak memihak kesenangannya seharian ini.

Musim panas yang seharusnya dinaungi matahari nyatanya malas menemani Poppy. Dengan pakaian setengah basah, dia berkacak pinggang sembari menggerutu kesal menatap cakrawala. Tak lama angin berhembus kencang membuat Poppy menggigil kedinginan dan berbalik masuk ke dalam pondok, meninggalkan Bronco dan Roxy di teras.

Heath--yang masih bertelanjang dada--mengambil beberapa kayu bakar yang disimpan Rob di tempat penyimpanan, lantas menuang minyak dan membakarnya di perapian. Pemandangan seperti ini entah kenapa lagi-lagi membangkitkan letupan dalam dada Poppy, manalagi tato tengkorak yang menghiasi punggung Heath serta riak-riak ototnya begitu menggoda. Dia berpaling, menjilat bibir bawahnya yang kering lalu mendudukkan diri di kursi kayu dekat perapian.

"Seberapa dekat kau dengan Rob?" celetuk Poopy membuka obrolan.

Heath beranjak, menegakkan badan begitu api menari-nari indah di perapian. Panas yang berpijar menyalurkan kehangatan di permukaan kulit saat bibirnya berucap, "Sedekat aku dengan Joey."

"Apa dia seseorang yang mengenalmu saat..." Kalimat Poppy mengambang di udara saat Heath melenggut pelan. Dia mendongak kala lelaki menggiurkan ini berdiri menjulang tinggi dan menyisir untaian rambutnya yang basah. "Apa kau selalu merasa sendirian, Heath?"

Lelaki itu menggeleng pelan. "Tidak."

"Karena ada Joey dan Rob?"

"Because of you, Baby. You've always felt like home." Sebelah tangan Heath membelai pipi Poppy, menyalurkan hangatnya sentuhan membuat gadis itu memejam dan menggigit bibir bawah. Otomatis jempol Heath mengusap bagian favoritnya.

"Wow, you're falling in love with me, Alonzo?" cibir Poppy membuka iris cokelat yang diterangi temaram lampu pondok. Membalas tatapan Heath bahwa tidak mungkin lelaki itu menaruh rasa yang sama. Apalagi hubungan mereka sejak awal hanyalah kebohongan dan saling memuaskan.

"I think you're delusional, Pearson. "

"Really?" Sebelah alis Poppy menukik. "I think, you're in denial, Heath. You're so full of shit. I don't--"

Kalimat yang meluncur dari bibir Poppy teredam oleh pagutan Heath. Walau masih mendominasi, cumbuan mesra tersebut tak terasa kasar seperti biasa, melainkan penuh sarat akan cinta. Cecap lidah saling mendamba menggelorakan hasrat bagai tarian api di depan mereka. Poppy dibuat terlena tuk sekian kali, terhipnotis oleh rayuan manja namun selalu ada keraguan terselip dalam dada.

Heath melepas ciumannya, menempelkan kening ke dahi Poppy dan berucap, "Every fucking day, I wish you're mine every single goddamned day, Baby. Don't you feel it?"

"Jadi, ini bukan hanya seks?"

Sudut bibir lelaki itu terangkat seraya menggelengkan kepala. "Awalnya ya. Tapi, sekarang... seks hanya salah satu cara komunikasi saat kau membuatku marah."

"Lebih ke pelampiasanmu kalau kulihat," sindir Poppy meraba dada telanjang Heath yang lembap. "Kau yakin dengan perasaanmu? Bukan karena kau--"

"Rob yang menyuruhku jangan berbohong atas perasaan ini, Pearson," sela Heath menarik tangan Poppy dan mengecupnya. "Aku berusaha mengelak, tapi aku bakal jadi pria paling tolol kalau tidak merasakan sesuatu semenjak bersamamu, Little trouble."

"Sounds like i'm really really really your trouble," kata Poppy saat Heath mengalungkan lengannya ke leher. Gadis itu memiringkan kepala lantas bertanya, "Bagaimana kalau aku orang sulit diajak hidup bersama? Apa kau masih berkata seperti itu, Mr. Alonzo?"

Heath terkekeh, "Sejujurnya, akan jauh lebih sulit kalau tidak hidup bersamamu, Poppy." Merengkuh pinggang berandal kecilnya. "Karena denganmu, segalanya tak lagi kelabu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro