[Bangku Kosong] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luka di punggung Abay belum memadat. Obat dari Dokter Seno pun belum bisa memulihkan punggung dalam semalam. Ia serasa bangun tidur di atas hamparan ranjang beralaskan paku dan berlumur pasta cabai. Untuk berguling memelototi paras cantik Laura Basuki di tembok saja sulit apalagi bangun tidur.

Masalah baru pun muncul. Bagaimana jika sampai dia tidak mengizinkannya untuk tidak sekolah.

Bagi Abay, berurusan dengan Ayah sangatlah merepotkan. Kadang sakit yang membuatnya tak bisa berdiri tegap saja dikatai "alasan" bahkan "banyak drama". Sebisa mungkin ia tak mau cari masalah dengan Ayah. Hubungan di antara mereka yang sudah buruk semenjak kelas 2 SMP itu bisa bertambah runyam dengan drama di pagi hari.

Benar. Ayah sudah datang ke kamarnya pagi itu. Ayah dorong daun pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu lalu menyibak paksa tirai di dekat ranjang.

"Pagi-pagi sudah malas-malasan! Lihat sekarang sudah jam berapa?"

"Males-malesan apanya? Bangun tidur aja susah!"

"Alasan. Lagipula luka di punggungmu itu luka kecil," cibir Ayah.

"Kau bilang luka dicakar harimau jadi-jadian itu luka kecil?"

Ayah silangkan tangan di dadanya. "Izin dari Dokter Seno saja hanya sehari. Lagipula luka itu bahkan tidak seberapa dibandingkan dengan bekas jahitan operasi. Bagaimana bisa jadi laki-laki yang tangguh jika begitu saja sudah mengeluh?"

Abay berguling untuk bangun. Dengan luka yang lagi-lagi membuka, ia raih handuk yang menggantung di balik pintu. Ia terpaksa ke sekolah meskipun harus mandi menahan cairan sabun yang mengenai luka.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Abay mencibir. Punggungnya pedih berkat gesekan antara kemeja dan ransel di punggung setiap kali ia melangkah.

"Emang gak dikasih obat sama dokter?" tanya Adnan yang membantu memapahnya berjalan.

"Dikasih sih," Abay pun pindahkan ranselnya ke depan. "Gimana bisa sembuh kalo kegesek-gesek seragam sama kena keringet mulu? Mana dia gak percaya lagi terus dibilang luka kecil."

"Saras bilang lukanya sampe nyaris keliatan tulang. Kenapa gak izin aja? Daripada maksain ke sekolah."

"Surat dokternya cuman ngasih izin sehari. Makanya dia gak percaya."

Sampailah mereka di area SMA Negeri 29, sekolah biasa yang ada di timur Kopo. Pagi itu, sekelompok murid laki-laki mencegatnya di dekat pintu kelas A 23.

"Bay, kelas kita ditantangin sama IPA 3 pas pulang. Mo ikut gak?" ajak si murid tinggi kurus di depannya.

"Kasian dia. Baru sembuh," balas murid dengan potongan rambut cepak 3-1-1 ala Paskibraka.

Andai saja tidak ada manusia setengah harimau yang menyerangnya. Mungkin ia bisa kembali bermain futsal bahkan kembali duduk di bangkunya. Sehari saja ia izin, bangku itu sudah ada yang mendiami.

Seorang gadis berparas oriental duduk di depan bangku Adnan. Rambutnya sebatas tengkuk, mengikuti tempurung kepala.

"Eh. Éta awéwé geulis ti mana? (eh, itu cewek cantik dari mana)" bisik Abay.

"Ti kamari, (dari kemaren)" jawab si kurus.

"Ditanya apa jawabnya naon. Murid pindahan?"

"Yoi. Namanya Sephia. Pindahan dari Sankhew."

Gadis dengan tahi lalat di samping kanan matanya itu mendelik ke arah pintu. Wajahnya seakan berkata "jangan ganggu aku". Abay pun berusaha merebut kembali bangkunya.

"Sejak tadi kau begitu aneh. Apa ada yang salah?" tanya Sephia bernada datar.

Abay mendelik. "Lu duduk di bangku gue!"

"Apa salahnya bila aku duduk di sini? Sekolah ini bukan punyamu."

Namun, semakin ditilik, gadis yang menempati bangku Abay itu membuat ritme jantungnya kacau. Tidak. Jangan sampai paras cantik persis Laura Basuki berhasil mengalihkan fokusnya! Abay harus kembali duduk di sana, bagaimanapun caranya.

"Judes amet. Orang izin sehari aja eh bangkunya langsung diembat."

Abay mencibir. Satu-satunya bangku yang kosong ada di sudut kanan belakang kelas, bila berada dari posisi pintu kelas. Sejak hari pertama ia masuk sekolah hingga sekarang, tak satupun murid yang duduk di sana. Ya sudahlah. Lebih baik duduk di sana daripada menjadi masalah.

Dua menit kemudian, Saras yang baru datang tarik Abay ke lorong.

"Ngapain duduk di sana? Lo mo cari mati?" tanya Saras.

"Bangku gue ditempatin," cibir Abay. Kedua telunjuknya bergoyang-goyang dengan mata belo bak anak kucing minta dielus.

"Dia siapa sih? Mana duduk di bangku gue lagi!"

"Dia cenayang Asosiasi yang nolongin kita waktu itu."

Alis Abay naik. "Ha? Cing demina? (seriusan)"

"Gue juga gak ngerti, Bay. Pas lo gak masuk, kelas A 23 sempat diperiksa Asosiasi. Dia juga ada di sana. Asosiasi juga ganti bangku rusak di kelas."

"Pantes kursinya asa kinclong sama baru."

Pelajaran pertama pagi itu Akuntansi, kelas Ibu Naina sang wali kelas 2 IPS 2. Abay memutar-mutar pensil sepanjang kelas berlangsung. Sesekali ia lirik Sephia dari jauh.

Pesona murid baru di seberang jauh sana membaurkan perkataan sang wali kelas. Sorot mata dingin, harga diri tinggi, dan menantang. Persis tokoh utama perempuan dalam cerita komedi romantis. Paras bak Laura Basuki pun bonus. Mimpi apa Abay semalam! Lamunannya buyar ketika wali kelas memanggilnya.

"Bayu. Bisa coba ulang lagi penjelasan Ibu tadi?" pinta Ibu Naina.

"Duh, murid barunya cantik banget. Bisa kebawa sampe mimpi!"

Para murid lelaki di bangku sekitarnya tertawa.

"Bayu. Sebaiknya kau pergi cuci muka dulu sana!"

"Iya, Bu," jawabnya dalam senyuman mesem.

Jam istirahat. Abay diam di kelas. Kabar baiknya, ia bersama Sephia. Gadis itu pun ambil kotak bekal dari dalam tasnya.

"Mau?"

Mimpi apa ini? Seorang Laura Basuki versi SMA sodorkan bekal sandwich padanya! Pikiran Abay melayang seakan-akan kejadian pagi tadi tidak terjadi.

Maklum, namanya juga halusinasi seorang penggemar berat.

"Makasih."

Sephia lirik ke arah seragam Abay. "Namamu Bayu 'kan?"

Abay tersipu. Badannya bergoyang-goyang berkat si murid cantik. "Ih, si neng tahu aja deh ah."

"Aku membaca namamu di seragam. Aku Sephia. Maaf atas kejadian tadi pagi."

"Ah. Gak apa-apa," balasnya dalam senyum mesem-mesem.

Sephia Kirana Tanzil, itulah bordir nama pada kemeja seragam putih cerah dengan tulisan putih berlatar hitam.

"Dari SMA mana?"

"Aku dari SMA Negeri 2 Sankhew."

Abay goyangkan kedua telunjuk selagi menunduk.

"Um. Kok pindah ke sini?"

"Asosiasi Divisi Pusat menugaskanku ke sini."

Abay tersenyum. Rasa sandwich-nya lumayan juga.

Para murid lelaki mengintip dari arah lorong. Sorot mata Abay yang seakan berkata "dia milikku" mengusir mereka.

Saat itu, dunia serasa milik berdua. Ah, andai saja Sephia tidak galak seperti pagi tadi. Halusinasi penggemarnya menjadi nyata meskipun dengan versi KW.

Ada sebuah bangku kosong di kelas A 23. Mitos yang beredar di kalangan pelajar dan alumni SMA 29 pun mengatakan.

Siapapun yang duduk di sana akan mengalami masalah terlebih ketika ujian berlangsung.

Tak satupun murid mendapat nilai di atas 8 setiap kali nomor pesertanya menempel di meja itu. Beberapa murid mengaku tak bisa mengisi semua butir lembar jawaban. Tidak jarang pula murid mengalami halusinasi, pusing, kepala cenat-cenut, hingga pingsan di ruang UKS selama ujian berlangsung!

Apa itu bangku kutukan yang tidak bisa rusak? Tidak.

Bangku itu pernah rusak berkat ulah nakal para murid. Anehnya, penjaga sekolah tidak pernah bisa menggeser bangku lebih jauh dari posisinya. Penjaga sekolah terpaksa memperbaiki bangku itu di sana.

Tahun demi tahun ajaran berganti. Bangku Abay di kelas A 23 menjadi arena pertarungan manusia versus ulangan Matematika dadakan. Ia gigit jari.

Kepalanya cenat-cenut hingga berakhir lunglai di atas meja. Notasi rumus dari soal ulangan membentuk pusaran. Angka dan simbol bergerak memangsanya.

Angka 3 menyalak.

Simbol x bergerak laksana gunting.

Angka 2 ikut-ikutan mematuk selagi berkotek. Tunggu. Ini ayam atau angka?

Jemarinya mengetuk berulang kali di atas meja. Hawa dingin menggigit ujung-ujung jemari. Abay menciut. Tangan dan kakinya terjerembap.

Adnan si cahaya sumber contekan menjauh dalam gerak lambat. Nyatanya, hanya berbeda dua kolom bangku sebelah kanan di dunia nyata.

Pikiran meletupkan kata-kata penyesalan. Andai saja ia tidak terluka saat itu, ia mungkin bisa lebih leluasa menyontek Adnan!

Ia tersudut di sudut kiri kelas. Tubuhnya kini sebesar liliput, tidak lebih tinggi dari sebatang pensil. Hanya ada dua penyelamatnya hari itu: tombak panjang pensil mekanik 0,5 mm dan perisai penghapus putih.

Notasi angka dan simbol bersatu menjadi sebuah naga besar yang tidak hentinya menyemburkan api sehitam grafit pensil. Abay meloloskan diri. Sang ksatria kini bersiap melawan naga hitam di hadapannya. Sayup-sayup suara memanggilnya.

Tolong!

Apa di sana ada menara dengan seorang putri yang menjadi tawanan?

Abay memutar badannya. Ia bertarung di atas medan berpola buku kotak. Suara itu berbisik kembali seakan-akan sang gadis tepat di telinganya.

Tolong aku!

Abay terkesiap.

Seorang guru Matematika dengan kepala setengah botak nan tambun di sampingnya berdeham. Jarum panjang sudah bergerak ke angka 12. Sial. Lembar jawabannya kosong melompong. Matanya kusut setelah tertidur sesaat di atas pangkuan tangan.

Sang guru melenguh. "Huh, Bayu. Gimana bisa lulus?"

Jam istirahat sekolah layaknya mata air penyembuh bagi si pejuang merana. Ia berjalan ke kantin memulihkan HP dan MP sekarat berkat serangan naga hitam dan guru Matematika.

"Bay, lo stres gara-gara duduk di bangku kosong 'kan?" tanya Saras.

"Adanya dia stres gara-gara gak dapet contekan," sindir Adnan.

Belum sempat Adnan selesaikan kalimatnya, Abay beranjak menuju wastafel di sudut kantin.

Mereka pun berbisik.

"Padahal dulu tuh dia pinter banget. Dia ranking 1 mulu dari kelas 1 sampe lulus SD pun jadi juara umum," ucap Adnan.

"Gue juga gak tahu, Nan. Si Dekil banyak berubah dari waktu SMP," timpal Saras.

Abay basuh wajahnya di wastafel. Sesekali ia bercermin. Syukurlah. Tidak ada bayangan hitam yang membuntutinya. Namun, tidak dengan suara itu.

Tolong!

Abay berbalik. Gaung dari para pengunjung kantin lebih nyaring daripada suara apapun.

"Ini pasti halusinasi," pikirnya.

Sekujur tubuh Abay mengirik. Jantung berdentum tak karuan. Ia terkesiap berkat tepukan bahu.

"Setan!"

Rupanya itu Saras.

"Setan apaan? Balik kelas yuk!" ajak Saras.

Hari itu di sebuah taman sekolah. Seorang gadis berdiri dalam senyuman dengan handycam di tangan kanan. Bondu menahan rambut bergelombang pendeknya tetap rapi, sekalipun mengejar seorang pemuda di taman sekolah.

"Wajahmu kurang jelas di video nih!"

Ia arahkan handycam kembali pada pemuda berseragam putih abu kedodoran di depannya.

Si pemuda merunduk di bawah kuasa angin. Sesekali matanya berkedip membentengi debu yang memberatkan mata.

"Udah selesai rekam videonya?" tanya si pemuda selagi betulkan rambut.

"Belum. Kita lanjut besok lagi ya! Pokoknya kamu harus lebih luwes lagi di kamera. Oke?"

Lensa handycam masih mengabadikan setiap momen. Sesekali si gadis tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi kecil nan rapi.

Si pemuda menyelinap kerumunan pelajar berseragam putih abu-abu di lorong. Setelah itu sebuah teriakan menjadi akhir cerita.

"Bayu Samudera!"

Abay picingkan mata. Seorang guru pria berkumis tebal berdiri di samping bangku. Telunjuk gemuknya mengarah pada pintu kelas. Ia tinggalkan kelas dalam setengah kantuk.

Tubuhnya menggeliat selagi bersandar di dinding luar kelas.

"Mimpi apa barusan?" pikirnya.

Tolong!

Abay menoleh sekeliling. Lorong pun kosong.

Apa jangan-jangan perkataan Saras benar soal penunggu bangkunya? Selama ini ia selalu abaikan perkataan Saras mengingat gadis itu sering mengerjainya dengan hal-hal mistis. Ia basuh wajah di wastafel kamar mandi.

Abay selalu mimpi ketika tertidur di kelas belakangan ini. Mimpinya selalu tentang sepasang pelajar berseragam SMA yang bersambung. Begitu pun dengan suara-suara aneh tak henti mengikutinya.

Kesadarannya sekarang sekitar 40%.

Saat itu, matahari beranjak 80 derajat di atas kepala. Bayangan di bawah kakinya mulai memendek pertanda jam istirahat makan siang semakin dekat.

Suara para guru yang mengajar di setiap kelas seakan tidak mau mengalah di setiap langkah menuju kelas. Posisi kelas A 23 masih jauh.

"Apa itu orangnya?"

"Siapa?"

"Anak yang berani mengusik tempat kita."

Langkah Abay menancap pada ubin lorong sekolah. Ia berbalik ke dalam kamar mandi. Kosong.

"Jangan-jangan kamar mandi ini juga ada penunggunya!"

Abay bersenandung di sepanjang lorong. Semoga saja itu halusinasi.

"Kau yakin dengan anak ini?"

"Tentu saja."

"Woi kampret! Sini kalo berani!" tantang Abay di lorong.

Seluruh kelas hentikan kegiatan belajar mengajar dan menoleh ke luar. Seorang guru pria keluar dari kelas A 21, kelas terdekat dari tangga.

"Siapa yang tadi teriak-teriak di luar?" bentaknya.

"Sa-Sa-Saya, Pak," jawab Abay sembari menunduk.

"Mau saya antar ke ruang BK?"

"Ja-Ja-Jangan, Pak! Tadi ada orang yang mengganggu saya. Sungguh."

"Dasar anak zaman sekarang. Kembali ke kelasmu sana!"

Abay bergidik. Jalannya melambat berkat mata para murid yang mengintip dari balik jendela. Satu persatu dari mereka berpaling, kembali pada pelajaran di dalam kelas.

Suara itu berbisik seakan berada di samping. Tubuhnya gemetar.

"Anak ini menyadari keberadaan kita."

"Ini benar-benar berbahaya!."

"Siapapun kalian, punten pisan! Jangan ganggu gue lagi!" rengek Abay selagi berbalik.

Lorong lantai dua gedung A kosong. Tubuhnya terguncang. Ia berlari menuju pintu kelas A 23.

"Jangan-jangan dia itu cenayang. Serang dia!"

Angin berembus sekencang 3 knot hempaskan tubuh kelingnya membentur dinding pembatas gedung A. Untungnya dinding pembatas setinggi 1,5 meter menyiku dengan tangga. Tangan Abay cengkeram gagang logam di sampingnya. Ia berbalik selagi menoleh sekeliling. Keadaan aman untuk kembali ke kelas. Ia tidak lepaskan genggaman dari gagang logam dinding pembatas dalam langkah hati-hati.

Pada saat bersamaan, tepat di dalam kelas A 23.

Dum!

Dentuman kedua kembali alihkan perhatian para murid. Getarannya bahkan sampai ke dalam ruangan kelas. Para murid di sekitar jendela menghalangi jarak pandang Sephia. Ia langsung berlari meninggalkan kelas.

"Kau mau ke mana?" tanya sang guru Bahasa.

"Izin ke WC, Pak!"

Sebuah retakan muncul di sudut tembok pembatas. Abay terduduk. Skak mat.

Sephia berdiri tepat di lorong. Dua sosok makhluk halus berjalan mendekati si pemuda berkulit gelap. Satu bertubuh tinggi besar dan berbulu lebat. Satu lagi bertubuh gempal dan bongkok persis wayang Semar.

"Mereka berada di skala 8 seperti sosok yang waktu itu menyandera tiga murid di dalam kelas," gumamnya.

Abay tersudut. Satu persatu sosok itu menampakkan diri.

Satu makhluk berbulu persis genderuwo dengan gigi tonggos dan taring runcing ke luar dari mulut.

Satu lagi sosok pria berambut carang dengan wajah bak riasan badut meleleh dan senyuman selebar wajah. Sontak Abay pun berteriak.

Angin dingin menyebar di sepanjang lorong gedung A. Sephia terduduk. Jarak pandangnya menurun tidak lebih dari satu meter. Tubuhnya menggigil berkat lapisan es di kulit.

Lokasi tangga berada dua kelas di depan dari kelas A 23. Angin sekuat 2 knot itu membawa serpihan bunga es di sekitarnya. Itu berlangsung kurang dari satu menit. Sebuah bongkahan es besar berujung runcing membekukan dua sosok makhluk halus di depan Abay tanpa kecuali.

Abay terpaku. Lapisan tipis es membuatnya gemetar. Pandangannya berganti menjadi adegan film yang terpotong-potong secepat kilatan blitz kamera. Kilatan cahaya menusuk kepala pun membuat si keling itu pingsan.

Yo! Pika di sini. Gimana ceritanya? Apa kecepetan apa kelambatan?

Aku gak minta vote soalnya itu hak temen-temen. Aku cuman minta komentar jujur temen-temen untuk perkembangan skill menulis ke depannya.

Makasih banget karena udah mo mampir dan baca. Nambah satu view aja sudah bikin terharu. 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro