[Masalah] - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekitar jam 7 pagi. Sekumpulan murid berdesakan di lorong lantai dua gedung A. Sebagian besar berasal dari kelas A 23, ruangan dengan pintu terkunci rapat.

Suara gaduh di dalam kelas menarik perhatian murid-murid di sana. Seorang murid perempuan mengintip ke dalam. Sosok setengah harimau itu memporak-porandakan kelas. Ia menakuti gadis itu hingga jatuh terduduk.

"Kenapa?" tanya sekelompok murid laki-laki di sekitar.

"I-Itu Saras. Harimau. Setan!" jawabnya dalam gemetar.

Para murid laki-laki mengambil ancang-ancang. Sebagian menjaga murid perempuan selagi mereka berulang kali dobrak pintu kelas.

Sayang. Pintu tetap terkunci. Kerumunan murid kelas lain turut memadati lorong. Suara keras berdentum dari kelas A 23 memicu rasa penasaran murid di kelas sekitar. Seorang guru piket yang lalu lalang pun berhenti di sana.

"Ini kelas apa?"

"Kelas 2 IPS 2, Pak," jawab seorang murid perempuan berkacamata.

"Kenapa tidak masuk ke kelas?"

"Li-Lihat ke sana, P-Pak!" tunjuk salah satu murid lelaki ke arah kelas.

Guru piket itu tersentak. Tiga murid terjebak di sana. Sesosok monster berbadan harimau tak hentinya mengganggu gadis kelelahan di drkat pintu kelas.

"Ya ampun! Kenapa kalian diam saja?"

"Kami bukannya gak mau bantu, Pak," jawab seorang murid laki-laki berkepala plontos. "Pintunya gak bisa didobrak!"

"Apa kalian udah lapor Asosiasi?"

"B-Belum, Pak!" jawab seorang murid perempuan yang duduk di lantai.

Guru piket itu menyisir murid-murid di sekitar lorong. Suara benturan benda keras kembali sampai di telinga. Ia harus hubungi Asosiasi sekarang demi keselamatan tiga murid di dalam sana.

Seorang gadis berjaket cokelat tanah berlari memeluk map plastik transparan. Sesekali ia toleh sekeliling. Ia pun berpapasan dengan guru berseragam cokelat PNS dari arah tangga.

"Maaf. Apa boleh lepas jaketnya?" pinta si guru piket.

"Per-misi, Pak. Di mana ruang tata usaha?" tanya si gadis bernada datar.

"Apa perlu saya antar?"

"Terima kasih, Pak."

Guru piket itu temani gadis menuju ruang tata usaha. Ruangan itu berada di seberang gedung A, tepat menghadap lapangan upacara.

"Apa kau itu guru PPL yang akan mengajar atau alumni?"

"Saya ke sini mengurusi berkas pindah sekolah."

"Lho, kenapa baru mengurusnya sekarang?"

"Ada masalah teknis dengan sekolah lama saya. Jadi, semua berkasnya datang terlambat."

Gadis itu berterima kasih. Ia sodorkan map plastik ke petugas tata usaha.

"Pak Broto. Ini siapa?" tanya petugas tata usaha wanita.

"Dia murid pindahan. Tolong bantu persiapkan semua administrasinya.

"Bu, apa saya boleh pinjam telepon sebentar?"

"Lho, kenapa?"

"Ada monster mirip harimau menjebak tiga murid di kelas A 23. Kita harus secepatnya menelepon Asosiasi," ucap Pak Broto.

"Apa?" sambung si calon murid baru. "Di mana kelas A 23?"

"Lho, Dik bukannya lagi urusin berkas?" timpal petugas TU.

"Di mana kelas A 23?"

"Kelas A 23 ada di lantai dua gedung A. Gedung A ada di samping kanan gerbang."

Gadis itu berlari ke luar ruang TU.

"Apa kita harus siapkan berkas selagi ia pergi?" tanya petugas TU.

Kelas A 23 di lantai dua. Kerumunan murid di lorong mempermudah dirinya mencapai lokasi.

"Permisi! Permisi!" seru si gadis selagi menyelinap di antara kerumunan. Sampailah ia di sebuah titik kosong dekat pintu kelas.

"Kamu siapa? Apa masih satu geng dengan sosok di dalem?" balasnya.

"Bisa kalian minggir sebentar?"

Suara berat dan dalam berselang desisan membuat orang di sekitarnya mundur.

Ia ambil ancang-ancang untuk mendobrak. Sebuah tembok tembus pandang mementalkan kembali tubuh sang gadis.

"Sial. Ini penghalang."

Ia mengarahkan telapak tangannya selagi mengusir murid-murid yang mendekat.

"Apa kalian ingin cari mati?"

Gadis itu berdiri dengan pendaran cahaya berkumpul di kedua telapak tangannya.

"Jurus Penyerang: Seribu Pendorong!"

Apakah itu sihir? Para murid di sekitar kelas A 23 terperangah.

Sekumpulan pilar-pilar hitam berkilauan setebal pohon jati dewasa mendorong penghalang bertubi-tubi. Retak demi retak rambut memanjang mendekati sudut kusen pintu. Penghalang pecah menjadi serpihan cahaya melayang di atas kepala dan lenyap.

Sementara itu di dalam ruangan. Suara kenop pintu alihkan perhatian Saras.

"Siapa di sana?"

Seorang gadis berjaket cokelat tanah memasuki kelas. Rambut hitam legamnya dalam potongan bob pendek setengkuk. Perawakannya pun masih belia.

"Jangan khawatir. Aku datang untuk menolong kalian."

Mata sipitnya mendelik pada sosok setengah harimau.

"Tingkat kekuatan skala 8. Masuk akal mengingat pelindung yang kau buat di luar sana sangat kuat."

Beberapa murid mengintip dari balik jendela.

"Kenapa kalian diam saja?"

Kerumunan murid pun buyar. Pak Broto mengintip keadaan di dalam dari celah pintu setengah terbuka.

"Bukankah itu calon murid baru yang tadi?"

Gadis itu keluarkan sebuah benda mirip termos berwarna jingga dari dalam tasnya. Ia melirik pada Saras.

"Kerja bagus karena membuat ia kelelahan sehingga mudah untuk dilumpuhkan.

Ia pun berkata, "Jurus Penahan: Rantai Gajah!"

Sekumpulan rantai panjang muncul membelit sosok harimau dengan celana abu panjang. Ia tekan tombol di badan "termos" lalu memutar tutupnya cepat. Angin bertekanan tinggi menyedot sosok itu ke dalam "termos". Setelah tertutup rapat, LED di badan termos berkedip sesaat dan padam.

"Lo siapa?"

"Bawa mereka ke UKS."

Ketika gadis itu meninggalkan kelas, Pak Broto berdiri di dekat pintu.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Apa Bapak bisa tunggu sebentar? Saya harus selesaikan administrasi sebelum ceritakan ini pada pihak sekolah."

Ruang UKS. Saras terduduk merengut selagi remas ponsel. Semoga saja mereka tidak apa-apa, harapnya selagi sesekali mengintip ke dalam.

Seorang pria berkulit sawo matang berlari dengan balutan jas rapi selagi membawa tas kerja. Rambut klimisnya berhias uban teracak.

"Om Wira," ucap Saras sembari memberi salam.

"Saras. Gimana keadaan Abay di dalam?"

Saras menunduk. "Buruk, Om. Ini semua salah Saras."

"Ini bukan salahmu. Ini murni musibah."

Dokter pun ke luar dari ruang UKS.

"Dokter. Gimana keadaan mereka?" tanya Saras.

"Temanmu sudah siuman, tapi ...."

Saras berlari memasuki UKS. Saat itu Adnan terduduk di atas ranjang.

"Nan, lo gak apa-apa?"

"Udah a-gak men-dingan," balasnya dalam suara tersendat.

Sementara itu di luar ruang UKS.

"Omong-omong Bapak siapa?" tanya sang dokter jaga.

"Saya Wirawan Wiguna, orang tua murid. Bagaimana keadaan anak saya di dalam?"

"Kondisinya kritis. Aku tidak tahu hal yang terjadi di gedung sana. Sepertinya itu hal yang buruk."

"Apa boleh saya membawanya pulang?"

Abay pun tersadar. Pandangannya nanar dari balik balutan selimut. Punggungnya pedih sewaktu hendak bangun.

Aroma di selimut itu persis pewangi pakaian yang sering Abay gunakan untuk mencuci. Sepertinya ia ada di rumah. Ia bahkan masih mengenakan seragam SMA-nya.

Aroma sup di kamarnya mulai menyamarkan parfum pewangi pakaian. Ketukan kaki dari arah tangga semakin nyaring. Rupanya Ayah bawa satu baki makanan di depan pintu.

"Nak."

Abay menarik selimut dan berpaling pada dinding berposter Laura Basuki di sampingnya.

Ayah sentuh daun pintu yang tidak tertutup rapat.

"Makanlah. Dokter Seno sedang di jalan."

Pintu kamarnya pun tidak dikunci. Ayah taruh makanan di atas meja belajar.

Ayah berbalik. "Makanlah. Ayah tak punya waktu meladeni tingkah cengengmu."

"Kau ingin meledekku karena aku cengeng? Begitu?"

Aroma lembut kaldu ayam tak membuatnya bangkit. Ayah remas jemari di gagang baki. Ia turun tanpa meladeni sepatah katapun.

Andai saja ada orang yang memahaminya seperti Ibu.

Andai saja ada orang yang bisa menyayanginya seperti Ibu.

Andai saja ada yang bisa ... teruslah berandai-andai seperti itu! Dunia takkan melunak atau menurutimu! Suara serak menyentak Ayah menusuk memekakkan telinga Abay.

Ia menggulung diri dalam kepompong selimut. Dirinya menciut berkat perkataan Ayah bermulut pecut yang berdengung menyiksa gendang telinga dan seluruh saraf pendengarannya.

Di mana ia bisa meneteskan air mata, mengakui kelemahan, dan bercerita keluh kesah?

Setiap manusia pasti memiliki batas. Laki-laki atau perempuan. Bersembunyi dalam topeng kekuatan lalu menutupi kerapuhan diri mereka sama saja dengan menanam bom waktu atau unsur radioaktif sembarangan yang bisa meluruh tanpa sengaja.

Apa tidak boleh seorang perempuan setegar redwood yang bertahan dalam kesendirian selama ribuan tahun?

Apa tidak boleh seorang laki-laki berhati lembut dan penyayang?

Semua ini salah.

Dan apa ini yang aku inginkan selama ini?

"Si-Siapa di sana?" tanyanya dalam sedu sedan.

Abay tarik selimutnya. Suara itu seakan berbicara pada dirinya. Apa mungkin itu hantu yang mengikutinya di toilet sekolah?

Tidak. Jangan sampai seperti itu. Cukup sudah perkataan Ayah menghantui dirinya selama ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro