[Masalah] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sakit kepala itu mulai berkurang. Abay bisa kembali ke sekolah tanpa masalah keesokan harinya.

Ia pun pergi ke toilet seusai menyantap nasi kuning limited edition kantin sekolah. Perutnya melilit, tapi tak bisa buang air. Ah, sudahlah. Lebih baik cuci muka saja.

Air wastafel membasuh wajah Abay. Sesekali ia seka rambut dengan tangan basah di depan cermin panjang selebar deretan tiga wastafel di bawahnya. Sesimpul senyuman mesem muncul selagi menyisir rambut dengan jari.

Abay memiliki senyum menawan menutupi hidung pesek dan kulit gelap yang menjadi kekurangannya. Sayangnya, ia kelewat narsistik.

"Ganteng juga kalo rambutnya disisir kek gini!"

Ia mainkan rambutnya selagi toilet pria kosong. Kadang disapu rapi. Kadang diacak-acak. Sungguh, ia coba segala cara untuk naikkan derajat ketampanannya!

Pantulan cermin menangkap bayangan hitam yang bergerak cepat di antara pintu-pintu toilet. Abay terpaku sesaat dengan tubuh gemetar.

"Siapa di sana?"

Matanya kembali terpaku pada pantulan cermin. Sejak tadi tak ada murid selain dirinya di sana.

Ah, barangkali itu halusinasi, gumamnya. Abay pun basuh wajahnya di wastafel. Bisa saja ia memang salah lihat.

Lagi, bayangan hitam sekelebat menuju kamar mandi ketiga di ujung.

"Woi! Ngapain sih ganggu segala? Gak lucu tau!"

Abay pergi ke bilik toilet terdekat. Tangannya remas gayung selagi bersembunyi di balik pintu. Ia menahan napas. Barangkali ada orang iseng yang sedang mengerjainya di toilet.

Tak.

Tuk.

Tak.

Ketukan sol sepatu bertambah nyaring. Sepertinya ada orang yang mendekat. Ia dorong pintu toilet selagi Abay bersiap ayunkan gayung.

Abay terkesiap. Rupanya seorang murid laki-laki yang hendak buang air berdiri di depannya.

"Ngapain bawa-bawa gayung? Mo nyiram tanaman di depan?"

"Gue kira orang iseng."

Pemuda itu memutar bola matanya.
Abay kembalikan gayung dan pergi.

Apa itu barusan? Penampakan? Jangan sampai!

Abay beranjak kembali ke kelas. Langkahnya berhenti sesaat di taman depan toilet. Pandangannya kembali terbelah dan memburam. Dunia berputar lebih cepat hingga keseimbangannya goyah.

Tubuhnya jatuh bersandar pada dipan beton setinggi lutut. Ia berusaha kembali berdiri. Keadaan di depan mata berputar-putar lagi.

Rasa sakit mengerat setiap sel otaknya. Semua beriringan dengan tengkuk yang tak henti kirimkan isyarat ingin muntah.

Seorang pemuda dari arah lorong berlari mendekat.

"Kamu sakit?" ucapnya sambil memapah tubuh Abay.

Pemuda itu asing. Barangkali itu kakak kelas, murid satu angkatan yang jarang terlihat bahkan di kantin, atau murid baru.

"Biar kuantar ya. Oh ya, di mana kelasmu?"

Pandangan mata Abay kembali terbelah. Sesekali pemandangan gedung dua lantai tampak berganti dengan gambar teracak yang berselang-seling. Tangannya menunjuk lemah ke arah lantai dua gedung A.

Tepat di lorong depan kelas A 23. Saras taruh sapu di sudut ruangan kelas.

Ini bukan jadwalnya piket. Tidak ada hal yang bisa dikerjakan pagi itu membuat Saras menyapu kelas selagi kosong. Gadis itu terbelalak berkat seseorang yang memapah Abay dari arah tangga.

"Bay!" ucapnya sambil menaruh sapu.

Tubuh bongsornya memapah Abay kembali ke kelas.

"Makasih banget udah nolongin si Dekil. Lo siapa?"

"Aku Wawan. A-Aku murid baru di sini."

Murid baru? Ini sudah hari kedua di tahun ajaran baru. Tak ada desas-desus dari murid kelas yang sebagian besar ada di luar—di samping ada yang belum datang.

Wawan berjalan menuju sebuah bangku di sudut kanan belakang kelas. Itu satu-satunya bangku yang kosong di kelas. Tak ada seorang murid pun yang duduk di sana sejak hari pertama masuk.

"Jangan ke sana!" seru Saras.

"Kenapa?" tanya Wawan.

"Lo pindah ke kelas mana?"

Wawan garuk kepala. "A-Aku kurang tahu kelasnya. A-Aku cuma ingin lihat bangku itu."

"Mending tanya ke TU dulu gih. Apa lo tahu itu bangku kutukan?"

Bara hitam merambati tubuh Wawan dari dalam laci. Sepasang mata berkilat-kilat menyala dari dalam kegelapan. Itu memang hanya dalam pencitraan Saras. Gadis berkucir ekor kuda itu mundur.

"A-Ada apa?"

Adnan baru saja kembali dari kantin. Saras layangkan isyarat agar mendekat.

"Nan, bantu gue bawa si Dekil ke UKS."

"Apa? Abay sakit?"

"Apa jangan-jangan kau tahu sesuatu?"

Suara Wawan berubah serak dan mendalam. Saras desak Adnan agar segera membantunya membawa Abay ke UKS.

"Ras, lu kenapa sih?" tanya Adnan.

"Cepetan! Feeling gue gak enak!"

Pintu kelas membanting sendiri. Kuncinya merapat dan sulit didobrak dari dalam.

Mereka tersudut di dekat pintu. Seluruh kelas berubah gelap di mata Saras. Wawan mendekat dalam jilatan bara api hitam.

Langkah si murid baru getarkan bangku sekitar. Tubuhnya mengembang kekar lalu hempaskan serpihan kemeja seragam putih di sekitar. Gurat demi gurat loreng tumbuh dari kulit sawo matangnya. Jari jemari tangan berganti cakar-cakar panjang lebih tajam daripada silet.

"Ras! Rhaas!"

Napas Adnan tersengkal. Rupanya sosok setengah harimau itu berhasil membuat asmanya kambuh.

"Terima kasih pada pemuda lemah ini. Aku bisa menemukan tempat ini begitu mudah."

Saras teguk liur. Tidak. Jangan sampai tangan harimau jadi-jadian itu raih tubuh kedua sahabatnya.

Fokus, tenangkan dirimu, tarik napas perlahan, rendahkan sikut sebisa mungkin, dan anggap saja itu preman.

Perkataan itu berdengung berulang-ulang di telinga Saras. Jantung gadis itu berdenyut tak karuan. Pasalnya sosok di hadapannya bukanlah preman yang acap kali ia temui.

Sosok itu ayunkan cakar yang mencuat ke arah Saras.

Saras raih cakar panjang berbulunya. Ia pun berbalik kunci pergerakan dengan sikut kirinya. Ia banting sosok setengah harimau itu ke lantai kelas.

Kabar buruknya, serangan itu turut pula menghancurkan dua bangku di barisan kedua dekat pintu kelas.

"Lo pikir bisa sentuh mereka gitu aja?"

Saras membalas dengan ayunan telapak tangan bak jagoan dalam film silat.

Kesadaran Abay berangsur kembali. Matanya menangkap pertarungan sengit si gadis jagoan dengan sosok harimau bercelana seragam abu-abu. Pemandangan serupa muncul di depan Abay layaknya sebuah film.

Saras dengan rambut secoklat rambut jagung datang dengan seragam putih nilanya. Kucir ekor kudanya mengepak di selagi mengejar satu persatu preman. Tendangan kaki jenjang hempaskan satu persatu preman di sekeliling. Ayunan tangan gemulai menangkis serangan dari belakang.

Sikutan, tangkisan, dan tendangan salto membanting satu persatu tubuh para preman.

Tepat di bawah rimbunnya pepohonan sebuah jalan sepi, sekelompok preman babak belur memohon ampun. Ia seka tangan kotornya dan mengulurkan tangan ke arah Abay.

"Bay. Lo gak apa-apa 'kan?"

Suara lembutnya membawa ia kembali ke suasana kelas A 23.

"Jangan ngelamun."

Pose terakhir Saras sama persis dengan tayangan di depan mata Abay. Seorang gadis berseragam sekolah dengan posisi kaki melebar selagi betulkan ikat rambut sekaligus poni panjangnya.

Sosok setengah harimau itu bangkit.
Saras hitung jarak ideal antara dua barisan bangku untuk bergerak. Sikut kirinya naik mengenai dagu si harimau bersamaan dengan tendangan menyikut dari lutut.

Abay melongo di dekat pintu. Ini bukan film. Semuanya benar-benar nyata!

Faktanya, ia terjebak di sudut ruangan bersama seorang gadis tangguh dan pemuda pengidap asma akut yang sedang kumat.

"Nan. Inhaler lu mana?"

"Di. Di," suara Adnan berangsur lenyap. "Di tas."

Posisi bangku Adnan berada di bangku kedua dari belakang di barisan kedua. Posisi Saras dan sosok manusia-setengah-harimau itu bertarung.

Pertanyaannya: bagaimana cara Abay agar sampai ke sana?

Kepalanya masih pening. Abay tak sanggup berdiri terlalu lama. Serangan keduanya menggeser posisi setiap bangku di sekitar. Nyaris tidak ada titik buta ... kecuali bila ia merangkak di antara deretan kolong meja. Kecil kemungkinan sosok harimau berbalik menangkapnya karena serangan Saras selalu mengarah ke atas.

Abay kumpulkan seluruh tenaga untuk merangkak melewati kolong bangku. Bila ada tali tas kelabu menjuntai dari dalam kolong meja, itu berarti bangkunya.

Adnan sering menaruh tas di kolong bangku bila kolongnya bersih. Ia selalu menaruh inhaler bersama dengan ponselnya pada risleting dalam tasnya.

"Di mana yang satunya?"

Abay tutup mulut. Ia bersembunyi di bawah meja yang bergeser di belakang si harimau. Ia taruh inhaler di saku celana selagi sesekali mengintip.

"Oh. Kau mau coba-coba kabur ya?"

Sial. Ujung sepatunya menyembul dari bawah meja! Sosok setengah harimau itu meraih kaki Abay. Jemari Abay genggam erat kaki meja.

"Kampret. Gimana nih?" gumamnya.

Si harimau tarik kaki Abay. Cakarnya mengoyak ujung celana abu bahkan kaus kaki di baliknya!

Dut! Suara nyaring di sekitar membuat si harimau lepaskan cengkeraman tangan. Harimau itu meringkuk selagi tutup hidung.

"Bau busuk macam apa ini?"

"Ah, gue udah tiga hari gak boker."

Sepertinya Abay harus minum obat pencahar hari ini.

Bagus. Abay merangkak dekati pintu kelas. Ia berpacu melawan waktu dan kesadarannya yang tinggal separuh. Berhasil! Tangannya raih inhaler dari dalam tas.

Ia merangkak selagi celah memungkinkan. Kini inhaler itu sudah ada di mulut Adnan. Sayang. Kondisinya masih kritis.

Saras mundur selagi si harimau bangkit. Harimau itu pun dekati dua remaja yang tersudut dekat pintu.

"Ah, siapa yang akan jadi menu pembukanya?"

Mata berkilat-kilat mengarah pada Abay. Ia pun menyeringai selagi lenturkan otot-otot kedua tangan berbulunya.

"Bagaimana jika pemuda kurang ajar ini terlebih dahulu?"

Abay raih sapu di sudut kelas. Ia ayunkan sapu ke arah harimau bercelana seragam SMA. Sial. Sapunya patah setelah mengenai lengan berotot si harimau.

Saras bangkit. Ia alihkan perhatian harimau dengan menyerang ke pojok.

"Bay! Kepala lo udah mendingan 'kan? Cepet dobrak pintu selagi gue tahan kucing garong ini!"

"Apa? Kau meledekku kucing garong?"

Langkah kaki si harimau getarkan kaki-kaki bangku yang bergeser beberapa senti. Saras berdiri tegap dalam napas terengah-engah. Sial. Serangan harimau itu kini lebih cepat dari refleks tubuh Saras yang kelelahan!

Tubuhnya tak kuasa lagi menahan aliran cepat oksigen yang melampaui batas VO2 max-nya. Tak ada lagi tenaga dari setiap serangan. Bahkan tenaga dalam yang selama ini ia gunakan sebagai serangan darurat pun menipis. Saras terduduk di tepi bangku. Cakar-cakar di tangan si harimau memanjang. Si harimau ayunkan telapak tangannya.

Abay dobrak pintu dengan segala cara. Ia tak bisa mendorong dari jauh karena kepalanya masih pening. Lagipula ada tubuh Adnan menghadang di depan pintu. Pintu itu menutup rapat seakan ada benda berat di balik pintu.

Matanya pun menangkap kondisi Saras yang terdesak. Cakar-cakar tajam dan berkilauan hendak raih tubuh Saras yang terduduk lemas. Tidak. Jangan sampai Saras terluka. Bila sampai dia terluka, siapa yang akan membuat mereka lolos dari sini?

Masa bodoh dengan sakit kepala! Abay bertolak mendorong Saras hingga gadis itu terpelanting. Ayunan cakar si harimau berhasil mengoyak punggung. Percikan darah menyebar di lantai. Abay terkapar tepat di samping Saras.

"Cepet bawa Bengek ke UKS!" pintanya sesaat sebelum tak sadarkan diri.

Saras diam. Lawan di hadapannya lebih kuat daripada para preman yang biasa mengganggu Abay dan Adnan sepulang sekolah.

Adnan membuka mata. Rupanya obat dari inhaler itu sudah bereaksi.

"Ada apa, Ras?" tanya Adnan. Ia tersentak. Abay tergeletak bersimbah darah. Si harimau dekati Adnan lalu mencekiknya tinggi. Sosok harimau bercelana seragam itu menyeringai hingga tampak gigi-gigi runcingnya.

"Adnan!"

Kedua lelaki itu pingsan. Saras terdesak. Kini hanya ia dan si kucing garong itu di sana.

Yo! Pika di sini.

Gimana pendapat temen-temen soal ini? Ada yang masih kurang jelas?

Komentar dong! Aku pengen banget dengerin pendapat temen-temen biar lebih baik lagi. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro