[Masalah] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kopo, Juli 2017.

Bruk!

Suara gaduh berasal dari arah panggung hentikan sesaat kerumunan manusia yang lalu lalang. Seorang pemuda berkulit gelap terjengkang di atas panggung dengan kardus mi instan bertuliskan rasa soto ayam menutupi kepala. Barang-barang hiasan panggung berceceran di sekitar tubuhnya.

"Duh, pantat gue!" ucapnya sambil melepas kardus mi instan di kepala.

Seorang pemuda bertubuh gempal di sisi panggung pun meraih tangannya.

"Bay, tong rurusuhan kitu ah!" (Bay, jangan tergesa-gesa kayak gitu deh!)

Ia raih uluran tangan pemuda gempal itu. Namun, tubuhnya membeku sesaat.

Kepalanya yang pengar setelah membentur alas panggung mendadak berdenyut. Kadang penglihatannya berubah menghitam. Kadang menjadi tempat lain. Kadang pula kembali ke area sekitar panggung yang kembali ramai.

"Kepala gue asa nyud-nyudan gini nih."

Tak lama berselang, tubuhnya kembali roboh di atas panggung.

Hari itu giliran sektor 12 Distrik Rancabolang mengadakan culinary night—acara rutin pemerintah Kopo, tepat minggu keempat setiap bulannya. Hari itu juga Karang Taruna Pucuk Mekar kompleks Marga Asih menjadi panitianya.

Pemuda itu terbangun dengan cahaya menyilaukan di atas kepala. Apa ia sudah mati dan bertemu malaikat? Tidak. Ia bertemu seorang gadis di sekitarnya.

"Dibilangin malah ngeyel ya. Gini nih akibatnya kalo begadang!" seru si gadis.

Seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang berkacak pinggang di samping sofa. Sorot mata nanar beredar pada setiap perabot di dalam ruangan. Ia terperanjat.

"Kak Ressa!" Ia toleh sekeliling. "Gimana acaranya? Apa udah mulai?"

"Kalem atuh, Bay! Kamu tuh tadi pingsan. Barusan Adnan sama Tora anterin kamu pulang."

"Gak bisa, Kak! Persiapannya belum kelar!"

Telinganya panas. Jemari lentik sang kakak menjewer daun telinga hingga memerah.

"Bedegong nya! (Bandel ya!) Baru aja bangun malah mau ke sana. Acaranya juga udah mulai dari tadi."

Ressa benar. Andai saja ia tidak begadang demi menonton film, mungkin dirinya sudah siap siaga di sekitar area culinary night. Andai saja ia tidak tertidur lagi di ruang sekretariat Karang Taruna, ia takkan berlari tergesa-gesa dan jatuh.

"Mending Abay istirahat aja di kamar ya," bujuk Ressa.

Pemuda bernama Abay itu pun menurut. Mau bagaimana lagi. Lantunan musik dari pengeras suara di panggung sudah sampai ke rumah. Tandanya acara sudah berjalan.

Ia pun bangkit dari sofa ruang tamu rumah. Pandangan di depan mata berubah-ubah dalam sekejap.

Kadang memburam.

Kadang perlihatkan keadaan di tempat lain dalam gerak cepat.

Kadang kembali ke area ruang tamu.

Semua itu kembali membuat kepalanya berputar-putar hingga jatuh di dekat sofa.

"Bay!"

Sang kakak pun memapahnya ke kamar.

Sinar matahari menusuk mata bahkan otak. Sudah berapa lama dirinya tidur?

Pemuda berkulit gelap itu bangun laksana vampir di siang bolong. Matanya setengah memicing berkat cahaya dari jendela di samping kamar. Kepalanya masih pening berkat kejadian semalam.

"Bangun!"

Suara berat dan dalam itu membuat Abay tarik selimut. Seorang pria bermata tegas dengan uban teracak berdiri di samping gadis berdaster, tepat di hadapannya.

"Pusing."

Pria bercambang tipis itu tarik napas dalam. "Anak ini benar-benar! Kau ingin berpura-pura sakit dan bolos?"

Gadis berdaster di sampingnya gelengkan kepala. "Ayah. Abay lagi sakit."

"Apa kau tidak lihat adikmu sedang berakting? Kau jangan memanjakan adikmu! Lihat dia sekarang. Pemalas, payah, dan bisanya hanya membuat malu orang tua!"

"Ayah. Sebentar lagi 'kan jam 7. Bukannya Ayah harus berangkat kerja?"

Sang ayah pun mendengkus. "Ayah capek ladeni tingkah manjanya."

Sang ayah pun berangkat kerja. Abay pun berusaha duduk di ranjangnya. Langkahnya terhuyung-huyung sewaktu hendak mengambil handuk di balik pintu kamar.

"Bay, mending kamu izin aja ya. Kamu juga lagi gak enak badan."

"Gak usah, Kak. Ntar adanya dia marah-marah lagi."

Tubuh Abay tak bisa berjalan benar berkat kejadian kemarin. Ia bahkan nyaris jatuh dari tangga. Untung saja Ressa segera menuntunnya turun ke kamar mandi di lantai satu.

Sekitar lima belas menit berlalu, sahutan seorang pemuda lantang berasal dari luar pagar.

"Abay!"

Seorang pemuda berponi klimis berhenti di bawah naungan pohon mangga. Adnan Syarief, itulah bordir
nama di kemeja putihnya. Pemuda berusia 17 tahun itu berdiri tegap di depan rumah.

"Bay! Cepetan!"

"Bentar, Nan!" balas Abay.

Langkahnya terhuyung-huyung menuju pintu pagar kecil selebar sepeda motor itu. Ia buka kunci gembok lalu pamit pada Ressa di dekat pintu.

"Biasanya tiap gue samper udah siap."

"Pusing, Nan," jawabnya dengan nada melemah.

"Jangan bilang mo mabal (bolos)."

"Cing demina!" (sumpah, gue serius) seru Abay selagi mencolek-colek telinga dengan telunjuk.

Mata Abay berkunang-kunang. Kadang matanya memburam dan memfokus selagi langkahnya terhuyung-huyung. Ia jatuh tertelungkup di atas dinginnya aspal jalanan.

"Bay, masih kuat?" ucap Adnan selagi memapahnya.

"Gue gak apa-apa, Nan."

"Mending ntar diem aja di UKS ya."

Langkah mereka berakhir di sebuah sekolah di samping jalan, SMA Negeri 29 Kopo. Itu sekolah negeri biasa yang dekat dari rumah mereka. Halaman motor bersanding tepat mendampingi taman dan lapangan basket di depannya.

Kelas 2 IPS 2 hari itu berada di kelas A 23. Kelas itu berada di gedung A, ruangan ketiga di lantai dua. Menurut jadwal pelajaran yang ke luar hari itu, kelas A 23 muncul hampir tiga hari dalam seminggu, tepatnya Senin, Selasa, dan Kamis. Secara tidak langsung itu menjadi "kelas mereka".

Hari itu di dekat pintu kelas. Abay angkat rambut panjang seorang gadis bongsor berkuncir kuda di depannya. Sinar matahari dari jendela membuat rambut si gadis berkilau merah bata.

"Ras, rambut lu diapain?" tanya Abay.

"Suka-suka gue lah! Gue bosen kena razia mulu."

Saraswati Andriana. Begitulah nama pada bordiran kecoklatan di seragamnya berkat guyuran pemutih pakaian. Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SD.

Itu hari pertama mereka di kelas 2. Mereka masih satu kelas seperti kelas 1 dulu.

Jumlah bangku di kelas itu hanya 36, menyisakan satu bangku kosong di pojok kanan dari posisi pintu kelas berkat muridnya yang ganjil. Ya. Posisi satu bangku tepat terisi satu orang, tidak seperti sekolah lain yang berpasangan.

Abay duduk di depan bangku Adnan. Pemuda lemah itu terdiam di atas bangkunya. Tak ada yang berubah selagi kepalanya bersandar malas di atas bangku.

"Tumben si Dekil diem aja," ucap Saras.

"Keknya dia masih kecapean gara-gara kemaren. Kemaren aja dia pingsan pas dekor buat culinary night," balas Adnan.

"Ke lapangan yuk! Bentar lagi mo upacara!" seru Abay.

Adnan segera mencegatnya.

"Bay, mending ke UKS aja ya."

"Gue masih kuat, Nan. Ini cuman pusing gara-gara tidur gak pules."

Baru selangkah Abay tinggalkan bangku, tubuh pemuda itu roboh di dalam kelas.

Ruang UKS sekolah. Abay membuka mata. Sorot matanya nanar. Kepalanya terombang-ambing bak mabuk laut. Aroma obat kuat pun menggelitiki hidungnya.

"Lho. Bukannya ini UKS? Sekarang jam berapa?"

"Jam 12."

Abay menoleh ke arah jendela. Satu persatu murid SMA hilir mudik tinggalkan kelas. Sesekali murid-murid berseragam SMP bersliweran di antara mereka. Toh masa orientasi murid baru berjalan satu minggu sebelum hari pertama sekolah dimulai.

Sepasang murid berjalan dari arah lorong, memasuki ruang UKS, selagi sodorkan ransel hitam.

"Makasih, Nan. Ras. Sori kalo ngerepotin."

"Sante aja kali, Bay. Mau gue anter sampe rumah?" tanya Saras.

"Gak usah, Ras. Gue bisa bareng ama si Bengek."

"Mending pulang bareng Saras aja. Gue masih ada urusan di sekre OSIS. Kalo lu jalan sendiri, takutnya pingsan lagi," pungkas Adnan.

Mereka berpisah di dekat gerbang masuk sekolah. Lagi-lagi, Abay jatuh di dekat gerbang.

"Bay!"

Saras papah Abay menuju motor trail biru yang parkir tepat di dekat pagar pembatas lapangan basket.

Rumah Abay berada di timur SMA 29. Siang itu Abay dekap Saras. Bukan karena adegan romantis. Posisi penumpang motor trail memang lebih tinggi daripada pengemudinya. Ia terdiam berkat aroma samar cokelat di jaket Saras.

"Ras, sejak kapan lu pake parfum?"

Gadis berhelm full-face itu terdiam. Seingat Abay, Saras jarang sekali dandan apalagi pakai parfum.

Saras berhenti tepat di bawah pohon mangga manalagi yang berbunga. Ia papah Abay memasuki halaman.

Deru motor trail pergi dari jangkauan telinga Abay. Untungnya asap knalpot tidak mengepul bak asap bakaran sampah.

Ia termenung di pagar kecil rumah. Matanya kini tertuju pada sebuah sedan merah tua berplat D 1189 GTR sudah parkir di garasi.

Aneh memang. Tidak biasanya dia pulang lebih cepat. Biasanya dia sering pulang malam atau pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Ia berjalan menuju kamarnya, tanpa permisi.

Sang ayah membaca koran di depan televisi. Matanya mendelik sesaat pada Abay yang baru datang.

"Percuma disekolahkan tinggi-tinggi. Masuk rumah aja kayak maling."

Abay paksakan diri berjalan menuju kamar.

"Saras tadi telepon Ayah di sekolah. Kenapa kau tidak bilang kalau sakit? Ayah bisa panggilkan Dokter Seno ke rumah."

"Percuma. Ntar disangka akting lagi."

Pria itu banting surat kabar di atas meja.

"Anak itu benar-benar. Bayu Samudera!"

Bentakan sang ayah pun bagaikan angin lalu seiring tubuh lunglainya menapaki anak tangga.


Yo! Ini Pika. Aku mo nanya sama temen-temen.

Apa kalimatnya sudah lebih mudah dipahami? Kalo belum, bagian mana yang bikin temen-temen bingung?

Terus aku mo jelasin soal efek gitar. Efek gitar itu pedal yang biasa diinjek gitaris buat ubah suara gitar pas lagi manggung/rekaman.

Bentuknya juga macem-macem. Ada yang cuman satu pedal polos kayak di studio tempat latihan sampe ada panel kompleks kayak foto di atas. Efek pasti dipake buat gitar listrik.

Pernah kesandung sama pedal gitar gak? Pernah pas masih nge-band.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro