5. Never Say Never

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nothing is impossible. So, never say never!" - Justin Bieber feat. Jaden Smith

Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak menentu. Pesan SMS itu sangat mengganggu. Tadi di lobi kantor aku harus berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan gelisah dan gemetar hebat pada tangan.

Saat mobil datang, aku langsung masuk ke dalam. Rasa gelisahku wajar berasal dari isi SMS, tetapi gemetar hebat pada tangan adalah bentuk kemarahan. Jelas ini adalah surat kaleng. Siapa pun pengirimnya adalah pengecut. Ditambah lagi, isi suratnya seolah tahu apa yang terjadi di ruang rapat tadi.

Suara Camila Cabello menyanyikan Havana terdengar. Aku langsung mencari dimana ponsel dan menekan tombol hijau saat tahu siapa yang menelepon.

"Halo, Nana! Lo sibuk malam ini?" Suara Sena, sahabatku, di seberang sana terdengar bersemangat.

"Halo, Tuan Nawasena. Tentu saja gue sangat luang sampai bisa dengar cerita lo." Mendengar suara Sena, semangatku ikut naik.

Belakangan ini Sena sibuk untuk persiapan Jakarta Fashion Week Model Search, jadi kami jarang sekali hang out. Padahal dia adalah teman paling asyik buatku. Sena tidak pernah melihatku dengan embel-embel nama Tranggana. Persahabatan kami bahkan sudah berlangsung sejak kuliah.

"Great! Gue ke tempat lo, ya? Ini ada kejutan." Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Sena setelah aku setuju.

Sena benar-benar membawa kejutan. Dia membawa martabak manis kesukaanku. Untung saja Vita tidak ada di apertemen. Bisa-bisa dia mengusir Sena setelah melihat oleh-olehnya. Aku tertawa bahagia sambil menyuapkan sepotong besar martabak.

"Gimana persiapan audisi?" tanyaku setelah menghabiskan dua potong martabak. Saat ini, kami sedang duduk santai di ruang keluarga, memutuskan untuk menonton Netflix.

"Sejauh ini lancar. Audisinya nanti di Surabaya."

Aku mengerang sebal dengan informasi itu. Kalau Sena ke Surabaya berarti tidak ada yang membawakanku camilan tidak sehat.

"Paling lo cuma kangen sama martabak yang gue bawa." Sena mengacak rambut panjangku, lalu tertawa.

"Gimana kabar kantor, Na? Lo cuma jawab pendek-pendek kalau gue tanya."

Kulirik Sena yang sekarang membuka sekaleng coke. Aku sendiri cukup puas dengan sparkling water. Sena itu punya metabolisme yang bikin iri semua manusia. Mau makan sebanyak apa pun, tidak ada lemak yang menempel di badannya. Seingatku, tubuhnya bahkan masih sama kurusnya dengan saat kuliah dulu.

Pertanyaan Sena membuatku teringat dengan SMS tadi sore. Saat kuberitahu, Sena terdiam cukup lama, lalu dia mengutak-atik ponselku. Wajahnya terlihat khawatir, tetapi senyumnya masih seperti biasa.

"Ini udah gue aktifin proteksi buat telepon dan spam SMS. Jadi lo nggak usah khawatir lagi sama SMS kaleng ini. Satu lagi, Zana. Apa pun yang terjadi, lo harus kasih tahu ke gue, ya? Mau gue di Surabaya atau belahan dunia lain, lo harus kasih tahu." Sena mengusap bahuku dan seketika rasa marah dan khawatir itu menguap.

Setelah hari itu, selama beberapa hari tidak ada SMS kaleng yang masuk. Sesuatu hal yang aku syukuri karena harus fokus pada tugas-tugas. Seandainya saja menjadi CEO semudah yang diceritakan dalam novel-novel. Kenyataannya adalah aku harus melatih kepekaan dan insting berbisnis nyaris melebihi 100%. Setiap hari aku pulang dalam keadaan otak terkuras.

Hari ini Om Danar mengajakku ikut ke dalam rapat proyek digital experience dan pengembangan digital marketing. Berhubung proyek ini adalah kerjasama antar tiga divisi, maka aku bertemu dengan Terry dan Syam. Melihat mereka berdua duduk seperti serigala bersiap menangkap mangsa yang lemah, membuatku kesal.

Sepanjang rapat, Terry dan Syam terus mengintimidasiku dengan mencecar berbagai pertanyaan tidak penting atau hal yang sudah dibahas sebelumnya. Aku tahu mereka berbuat seperti itu untuk memperlihatkan kepada anggota proyek yang lain kalau aku belum bisa dipercaya dalam memberikan masukan untuk proyek ini.

"Baiklah, Zana. Kira-kira apa ada masukan?" tanya Terry dengan suara dalamnya yang khas.

Aku menarik napas terlebih dulu untuk mengontrol emosi. Tidak baik terlalu memperlihatkan emosi dalam menghadapi orang-orang yang meremehkan. Varen yang duduk di seberangku tersenyum untuk menyemangati.

"Saya rasa kita masih bisa meningkatkan plugin untuk mengelompokkan produk, diskon, harga, dan keperluan transaksi. Pembagian halaman antara calon customer retail dan partai besar juga patut dipertimbangkan. Hal ini supaya pelanggan kita mudah menemukan apa yang mereka cari." Aku tersenyum saat Terry tersentak kaget. Dia pasti tidak mengira kalau aku akan menjawab seperti itu.

"Selain itu widget juga bisa dikembangkan untuk menampilkan ulasan dan kelengkapan lainnya sehingga bisa menambah rasa percaya dari pelanggan terhadap kita." Kulirik Syam yang juga kaget.

Selama beberapa hari terakhir, aku mempelajari seluk beluk tentang proyek ini. Mulai dari proposal awal sampai pada budget dan realisasi berkala yang dilakukan. Varen mungkin sampai bosan mendengar pertanyaanku yang tidak ada habisnya itu.

Kali ini, laki-laki yang mendampingiku sejauh ini sedang memamerkan giginya saat tersenyum lebar. Sekuat tenaga aku menahan tawa. Om Danar mengangkat satu alisnya saat mendengar jawabanku.

"Rupanya kamu cepat belajar, Na. Jadi, benar kan seperti yang kubilang pada rapat bulanan kemarin. Zana mampu belajar dengan cepat." Om Danar bersikap seperti induk ayam yang bangga pada anaknya, sementara senyumku melebar.

Terry dan Syam tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdua terdiam saat kuteruskan pemaparan berdasarkan laporan hasil kemajuan proyek yang kemarin aku terima dari salah satu anggota tim proyek khusus ini.

"Kerja bagus, Na. Aku sampai kaget. Gimana kalau kita makan malam untuk merayakan keberhasilan membungkam mereka yang merendahkanmu?" tanya Varen pelan saat kami berjalan menuju ruang kerjanya. Aku langsung setuju pada usulannya.

"Sip! Aku ada rapat sama bagian warehouse. Sampai ketemu nanti sore, ya." Varen mengambil beberapa berkas lalu pergi meninggalkanku.

Sambil bersenandung kecil, aku masuk ke dalam ruangan. Sedikit merasa bangga dengan diri sendiri. Boleh juga caraku menghadapi orang yang membenci. Mungkin mereka berdua tidak tahu kalau nothing is impossible. Ilmu bisa dipelajari. Pengetahuan bisa dikejar. Namun attitude haruslah terbentuk sejak awal. Ayah dan Bunda membesarkanku bukan sebagai pewaris manja yang hobi menguras keuangan keluarga.

Kedua orang tua yang sangat kusayangi itu selalu mengajarkan bahwa perilaku merupakan hal yang utama lebih dari harta. Kata mereka, harta sewaktu-waktu bisa habis tetapi perilaku yang baik akan selalu ada dalam hati dan diri seseorang. Itu adalah yang bisa dibawa sampai akhir perjalanan sebagai manusia.

***
Aku suka poin-poin yang diajarin orang tua Zana. Gimana kalian?

Eniwei, Sena itu model androgini. Dia bisa didandanin sebagai cowok maupun cewek. Tapi dalamnya cowok tulen. 😁😁

Happy reading dan liat-liat Sena. 😊😊

Love,
Ayas

***
Cast Nawasena: Ichsan Rindengan
Sumber foto:Google, Edgemodels Jakarta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro