8. How Far I'll Go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Every turn I take, every trail I track. Every path I make, every road leads back." - Alessia Cara

Kupijat pelipis yang berdenyut dengan banyaknya informasi baru setiap detiknya. Baru saja Varen menelpon kalau dia diminta Terry untuk mengecek pabrik di Tangerang secara mendadak. Ditambah lagi ada pesan masuk dari sekretaris direksi kalau rapat strategy outlook yang rencananya diadakan besok, dimajukan ke siang ini.

Bukannya aku takut menghadapi C-Levels hari ini, tetapi aku sedang muak dan sebal dengan informasi dari Mehmud dan Onie. Aku menghirup latte macchiato yang sudah dingin, berusaha berpikir jernih. Denting-denting pesan masuk ke WhatsApp terdengar saat aku sedang serius berpikir. Awalnya kuabaikan, tetapi lama-kelamaan denting itu cukup mengganggu.

Varen: Zana, aku cuma mau mastiin kamu baik-baik saja? Tadi suaramu terdengar nggak fokus.

Varen: Di meeting nanti, jangan mau ditekan sama mereka. Kamu udah banyak belajar, kan?

Varen: Kalau ada apa-apa langsung beritahu aku, ya?

Varen: Tugas dari Terry ini memang menyebalkan, tapi kuusahakan segera menyelesaikannya dan langsung ke kantor.

Varen: Zana?

Senyum merekah dari bibirku tanpa tertahan. Sikap Varen ini seperti induk ayam yang melindungi anaknya. Dia bahkan sempat-sempatnya mengkhawatirkanku di rapat nanti. Senyum langsung menghilang dari bibirku saat sadar ada kemungkinan Varen dijauhkan supaya para C-Levels bisa bersikap seenaknya tanpa saksi. Apalagi mereka tahu aku tidak mengadu pada Ayah tentang tindakan meremehkan yang mereka lakukan.

Kubalas pesan Varen dengan cepat, memintanya untuk mengirimkan beberapa data yang harus kupelajari sebelum rapat dimulai. Untunglah semua data itu ada dalam laptop yang dibawa Varen sehingga aku bisa mendapatkan informasi dengan cepat.

Sepagian itu kuhabiskan waktu dengan bekerja, meminta beberapa informasi tambahan dari tim Varen yang ada di kantor dan berdiskusi dengan mereka. Varen memiliki tim solid dengan kinerja baik. Aku juga memutuskan untuk makan siang di dalam ruangan saja karena malas bergerak. Mehmud berbaik hati membelikan gado-gado di kantin karyawan.

Sambil makan, aku menggulirkan jari di ponsel untuk melihat pesan-pesan yang masuk. Ren, salah satu sepupuku mengajak makan siang besok. Katanya dia mau mengobrol karena ayahnya menyuruh Ren menjadi pegawai kantoran. Om-ku satu itu memang ada-ada saja. Masa dia meminta anaknya untuk tidak terjun ke bisnis keluarga. Namun, aku langsung teringat pada diri sendiri. Aku pun tidak langsung terjun ke bisnis keluarga sebelumnya.

Setelah makan siang, seperti biasanya aku membersihkan diri. Menyikat gigi setelah makan merupakan hal yang biasa kulakukan. Varen sering menggodaku karena hal ini, katanya isi tasku seperti orang mau kabur dari rumah. Mulai dari sikat gigi sampai sampo kering ada di sana. Khusus sampo kering, aku memang membawanya kemana-mana sejak menjadi relawan dulu. Waktu yang terbatas untuk membersihkan diri, membuatku selalu siap dengan benda-benda praktis.

Hawa di ruang rapat sangat dingin. Setidaknya itu yang kurasakan. Mungkin selain pendingin udara, juga aura yang dikeluarkan para C-Levels. Ami dan Sadina jelas-jelas mengabaikanku sementara Syam dan Terry hanya mengangguk tanpa tersenyum.

"Semua sudah hadir?" tanya Om Danar yang sedang menyambungkan koneksi antara in-focus dengan ponsel. Teknologi yang berkembang saat ini memungkin orang untuk menyambungkan file presentasi di ponsel langsung ke in-focus.

Kami membicarakan berbagai rencana strategi yang akan dijalankan tahun ini. Beberapa kali Om Danar, menjelaskan padaku tentang rencana-rencana tersebut. Padahal aku sudah mengetahui hal tersebut dari data dan informasi yang diberikan oleh Varen.

"Om, silakan dilanjutkan. Aku sudah tahu untuk rencana-rencana strategi yang akan dijalankan tahun ini, mulai dari kuartal satu sampai empat. Mungkin kita bisa lanjutkan dengan rencana evaluasi di kuartal satu nanti?" Aku terpaksa memotong ucapan Om Danar karena melihat Ami memasang wajah tidak suka, terutama saat Om Danar menjelaskan panjang lebar tentang rencana strategi mereka.

"Tuh, dia sendiri sudah tahu, Nar. Lanjut saja. Bosan aku ngedengerin strategi itu diulang-ulang." Mulut Sadina yang tajam mulai beraksi.

Untunglah Om Danar tidak terprovokasi untuk membalas ucapan Sadina. Laki-laki paruh baya yang masih enerjik itu kembali melanjutkan presentasi dengan senyum di wajah. Ketika sampai pada informasi tahapan pengembangan proyek e-commerce, Om Danar tersenyum padaku. Mungkin dia teringat akan tindakanku yang melawan Terry dan Syam.

"Bagaimana bekerja di sini Zana? Aku belum melihat perubahan yang kamu lakukan dalam hal yang terlihat." Ami memandangku dengan sikap meremehkan setelah Om Danar selesai presentasi.

Aku tahu sekali apa maksud Ami. Perubahan dalam hal yang terlihat adalah perubahan fisikku. Perempuan ini memang benar-benar menyebalkan. Tidakkah dia tahu ada yang lebih berarti ketimbang berat badan? Tentu saja hati yang baik dan otak yang encer.

"Oh, kupikir yang diperhatikan di sini adalah kinerja dan bukan bentuk tubuh. Mengenai kinerja, Om Danar sebagai pembimbing resmiku, tentu lebih berhak memberitahu," jawabku santai sebelum meminum air mineral dingin yang disajikan. Bicara dengan Ami memang perlu segala macam hal yang dingin supaya tidak meledak.

Wajah Ami memerah mendengar jawabanku sementara Terry terbatuk. Entah karena laki-laki itu kaget mendengar jawabanku atau tidak mengira kalau aku berani menghadapi Ami. Kupandang mereka semua yang ada di dalam ruangan ini.

Jika Mehmud benar mengenai gosip-gosip yang beredar tentangku, bukan tidak mungkin semua itu berasal dari orang-orang ini. Namun, kuputuskan untuk tidak memikirkan hal itu dulu. Aku harus konsentrasi sebelum mendapat smash dari para C-Levels.

"Apakah kamu ada tambahan ide terkait strategi yang tadi sudah dibicarakan? Ah, aku lupa, kamu selalu sibuk dengan proyek sosial dan Greenpeace sebelumnya. Pasti belum kepikiran apa pun, ya?" tanya Sadina.

Aku menjejalkan potongan-potongan cabai ke dalam mulut Sadina yang menyebalkan itu. Tentu saja ini hanya imajinasiku yang berulah. Kutarik napas perlahan sebelum menjawab ucapan perempuan itu.

"Meskipun sibuk di proyek sosial dan Greenpeace, aku juga tahu tentang bisnis perusahaan ini bahkan TrangTex sekalipun. Siapa Anda berani menilai apa yang sudah dan belum kulakukan? Aku memang baru mengusulkan untuk energi terbarukan dari pengolahan limbah tekstil, lalu apa yang Anda lakukan? Sibuk meremehkanku?" Aku sampai mengubah bahasa menjadi Anda, ketika bicara dengan Sadina.

"Sudahlah, Sadina. Zana memang sudah berkontribusi pada perusahaan sebelum bergabung secara resmi. Endra sering mengajaknya berdiskusi dan itu sebabnya Zana memiliki pengetahuan seperti yang saat ini kita tahu. Mari kita lanjutkan rapat."

Aku tersenyum puas saat mendengar pembelaan Om Danar. Setelah itu tidak ada lagi yang mengucapkan hal menyebalkan sepanjang sisa rapat. Setidaknya aku aman dari ledakan emosi hari ini.

***
Hai hai,
Aku update pagi-pagi ini karena ada acara keluarga.

By the way, aku sebut-sebut tentang Renata Tranggana, sepupunya Zana yang ditulis oleh fayye_arsyana. Jangan lupa mampir ke sana, ya. 😊

Satu lagi yang aku lupa bilang dari kemarin. Follow ig aku ya di @Ayas_Ayuningtias 😁😁

Thank youuu.

Love,
Ayas mention a user

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro