CHAPTER FOUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah jendela besar yang langsung menghadap The CCTV Headquarters Building yang menjadi kebanggan Tiongkok dan dihiasi oleh tirai tebal berwarna abu-abu dengan balkon yang tidak begitu luas menjadi poin tersendiri bagi Su Li. Ia suka ketika sinar matahari bisa masuk ke dalam kediamannya setiap pagi. Membayangkan ia bisa meletakkan sebuah kursi santai dan beberapa tanaman di balkonnya itu sambil menikmati sinar matahari sungguh membuatnya bersemangat.

"Bagaimana? Apakah anda menyukai rumah ini?"

Sang agen properti itu tersenyum lebar, dalam hati ia yakin jika wanita di hadapannya saat ini sangat menyukai rumah yang baru saja ia tawarkan. Su Li terlihat sangat teliti memperhatikan ruangan satu per satu tanpa ada yang terlewatkan.

"Ini adalah bangunan baru, anda beruntung menjadi penyewa pertama jika mengambil rumah ini. Sistem keamanan dan privasi di sini juga sangat canggih. Ukuran rumah yang luas membuat hanya empat rumah di setiap lantai, jadi tidak akan berisik."

Su Li sesekali memijit betisnya yang terasa nyeri. Sang agen properti memperhatikan hal tersebut. Kemudian menyerahkan sebuah koyo. Mencari rumah yang cocok membutuhkan waktu yang lama hingga terkadang kaki bisa sampai pegal. Menemani klien berkeliling cukup menjadikan alasan ia selalu membawa koyo di salah satu saku celananya. "Terima kasih," ucap Su Li.

"Jika anda ingin beristirahat, nanti akan kita lanjutkan lagi," ucapnya sambil melihat jam. "Jam makan siang juga sudah lewat, apakah anda ingin melihat rumah ke enam?"

Su Li menggeleng. "Saya akan mengambil rumah ini. Bagaimana prosedur selanjutnya?"

Dari banyaknya pelanggan, sang Agen menyukai pelanggan seperti Su Li yang mengambil properti termahal dari yang ditawarkan. Mengingat jumlah bonus yang akan ia terima, semangat sang Agen kembali membara. "Baik, anda bisa ikut saya ke kantor untuk menyelesaikan pembayarannya."

***

Embusan angin menyambut Su Li kala dirinya keluar dari kantor pemasaran agen properti itu, langkahnya terasa ringan. Sekali lagi ia bisa menambahkan tanda centang pada wishlist dalam pencapaian hidupnya. Mantel coklatnya sesekali berayun dipermainkan angin. Aroma manis dari krim dan juga butter berhasil menyusup ke penciumannya, membuat Su Li membelokkan langkah memasuki sebuah toko pastry di ujung gang.

Dentingan lembut lonceng yang berbunyi ketika pintu kaca itu terbuka menyapanya, seorang pegawai yang terlihat bukan orang Asia itu menyambutnya dengan senyuman ramah. Su Li sedikit terkejut ketika wanita itu menyapanya dengan bahasa mandarin yang fasih. Toko itu memiliki desain yang unik, hanya ada satu meja panjang dan beberapa kursi yang berwarna putih di pojok dekat jendela besar yang langsung menghadap jalan. Mengingatkan Su Li dengan meja di minimarket. Ruangannya yang tidak terlalu luas itu dipenuhi dengan rak-rak kayu yang di atasnya terdapat keranjang yang penuh dengan aneka pastry. Aroma manis berbagai macam krim yang menguar anehnya tidak membuatnya merasa mual, tetapi menjadi perpaduan aroma yang begitu sempurna. Sebelah kanan meja kasir terdapat sebuah etalase kaca yang berpendingin. Terdapat aneka slice cake dan cake utuh yang memiliki tampilan tidak kalah memukau dari jejeran pastry yang berada di rak.

Su Li mengambil beberapa croissant dan juga apple pie. Jika dipadukan dengan segelas coklat panas itu pasti akan sempurna, pikirnya. Rencananya terpaksa ia tunda kala melihat panggilan masuk dari Ayahnya.

"Aku masih di luar."

Su Li menggeleng samar kala mendengar ayahnya menanyakan kesibukannya saat ini. "Aku tidak sibuk, setelah ini aku mau kembali ke hotel. Sebentar ayah." Su Li kemudian berjalan ke meja kasir untuk membayar.

"Xie xie, (terima kasih)" ucapnya setelah menerima satu kantong kertas berwarna coklat. Setelah membayar pesanannya, ia berjalan keluar. "Ayah ingin makan siang denganku? Kirimkan alamatnya."

Seharusnya Su Li menaruh curiga dengan sang Ayah yang mengajaknya makan siang tiba-tiba. Semenjak acara makan malam itu, ia memang tidak ada berhubungan lagi dengan sang Ayah. Menyetujui untuk makan siang juga merupakan salah satu usahanya untuk berbaikan. Tetapi ia sedikit merasa dibohongi kala mendapati seorang pemuda yang telah duduk di meja yang dipesan sang Ayah. Ia sampai harus memastikan dengan pelayan yang mengantarkannya.

"Nona Su Li?" tanya pemuda itu kala melihat Su Li duduk di depannya. Gadis itu meletakkan kantong coklat yang masih menyisakan satu croissant utuh dan juga setengah apple pie tersebut di atas meja. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Seharusnya ia hafal dengan keras kepala yang dimiliki sang Ayah.

"Menurutmu? Apakah aku akan duduk disini jika bukan Su Li?" ucapnya dingin sambil membuka buku menu yang di hadapannya. Pemuda itu tersenyum kecut.

"Kau bisa menjelaskan padaku sekarang. Mengapa kau yang berada disini bukan Ayahku?" tanyanya setelah selesai memesan sambil menatap tajam pemuda yang berada di depannya. Dalam benak, Su Li menerka-nerka apa pekerjaan yang digeluti pemuda tersebut.

Pemuda itu akhirnya mengerti mengapa sikap gadis berambut sebahu di depannya saat ini terlihat tidak menyukai keberadaannya. Ia kemudian membenarkan posisi duduknya.

"Kau bukan satu-satunya korban di sini, Nona. Saya juga harus meninggalkan pasien saya. Karena undangan makan siang mendadak yang mengatakan saya harus makan denganmu atau klinik saya harus gulung tikar."

Su Li menaikkan alisnya. Pemuda itu terdengar tidak suka berbasa-basi, sama seperti dirinya. Terlihat dari penampilannya yang rapi, Su Li yakin bahwa pemuda itu memiliki latar belakang yang tidak biasa. Kemeja bermerek dengan jas yang memeluk tubuh tegap itu jelas terlihat bukan keluaran dari toko sembarangan.

"Kau mengatakan Ayahku mengancammu?"

Pemuda tersebut menggeleng, setelah menyesap jus jeruk miliknya ia berkata, "Ayahku. Kita memiliki kondisi yang sama Nona Su Li."

Ada sedikit rasa bersalah menghampirinya, Su Li kemudian mengulurkan tangannya. "Setidaknya kita harus saling mengenal untuk keluar dari situasi ini." Pemuda itu tersenyum kemudian menyambut uluran tangan Su Li. "Alexander Wang," ucapnya.

"Apakah aku juga perlu mengenalkan diriku?"

Pemuda itu terkekeh. Sebelum ia menjawab, pelayan telah mengantarkan pesanan Su Li. Lengkung senyumnya kembali terbit kala melihat bagaimana antusiasnya gadis itu melihat hidangan di hadapannya. Ia akui bahwa gadis di seberangnya saat ini sangat cantik. Terlihat begitu menawan walaupun hanya dibalut sweater rajut putih dan jins panjang yang begitu terlihat modis. Wajah yang ditutupi dengan riasan tipis itu memang tidak pernah tersenyum ramah tapi bukan angkuh. Alexander mengakui bagaimana rendah hati gadis itu dengan tampilan sederhana padahal ia memiliki latar belakang yang begitu diinginkan oleh banyak orang.

"Apa kau mempercayai pernikahan?"

Melihat Alexander hanya menatapnya dengan tatapan bingung membuat Su Li menghentikan suapannya. "Bukan berarti aku mau membawa hubungan aneh ini ke pernikahan. Hanya ingin mendengar pendapatmu."

"Teman diskusi," tambahnya.

Alexander melipat kedua tangannya. "Pernikahan menurutku adalah hasil akhir yang ingin dicapai oleh semua pasangan. Berbagi suka dan duka. Dua orang asing yang disatukan untuk suatu tujuan."

Sambil menatap Su Li, pemuda itu menambahkan, "Tentunya harus ada rasa percaya di antara keduanya."

Su Li mengangguk mengerti. "Tetapi, menurutmu apakah hubungan yang berdasarkan ledakan hormon itu akan bertahan selamanya?"

Alexander tertawa. Istilah yang digunakan Su Li begitu unik. "Menurutku, tidak hanya ledakan hormon saja. Banyak faktor yang akan menentukan sebuah hubungan itu akan berhasil. Apakah kau pernah dikhianati Nona?"

Su Li mengayunkan sumpitnya. "Tidak. Aku hanya tidak percaya dengan hubungan romansa semacam itu. Alasan klise seperti perasaan cinta itu hanyalah kamuflase dari ketertarikan seseorang terhadap sesuatu yang dimiliki oleh pasangannya." Ia kemudian menyesap jus jeruknya, menandakan bahwa sesi makan siangnya sudah berakhir.

"Jadi apa kau tertarik menikah denganku?" tanya Alexander membuat manik tanpa lipatan kelopak mata itu menatapnya lurus tanpa ekspresi.

"Tidak," jawab Su Li lugas.

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu hidup di dalam prasangka seperti itu. Tetapi Nona Su, tidak semua orang seperti yang kau pikirkan."

Su Li mengangguk setuju, ia pun tidak pernah menggeneralisasikan sesuatu. "Kau benar Tuan Wang. Aku hanya menyatakan pemikiranku." Gadis itu kemudian bersiap untuk pergi.

"Aku menikmati makan siang ini. Terima kasih," pamitnya sebelum meninggalkan pemuda Wang itu yang hanya tersenyum tipis melihat punggung kecil itu meninggalkan restoran.

***

"Su Li kesal denganku. Ia tidak mau mengangkat panggilanku sekali pun."

Ziang Chen tersenyum tipis sambil memperhatikan Su Liang yang sibuk memangkas bonsai dengan wajah yang mengkerut akibat ulah sang Putri.

"Usianya sudah pas untuk menikah. Apakah aku salah membantu mencarikan pasangan yang layak untuknya?"

"Anda tahu bagaimana temperamen Nona Muda, Tuan. Saya yakin Nona Muda saat ini sedang sangat kesal dengan anda."

Su Liang menghentikan aktivitasnya dan duduk di bangku taman diikuti oleh Ziang Chen. "Setelah anak Presdir Wang, ia sama sekali tidak mau bertemu dengan yang lain. Padahal mereka semua adalah pemuda yang hebat."

Ziang Chen menuangkan teh dan memberikannya kepada Su Liang. Cahaya redup matahari yang berhasil menembus atap kaca transparan itu membuat udara di dalam rumah kaca menghangat. Mendiang istri pertamanya sangat menyukai bunga, sehingga ia membangun sebuah rumah kaca agar sang Istri bisa berkebun walau di luar tertutup salju. Seperti sekarang, walau berada di akhir musim dingin tetapi suhu belum bisa dibilang menghangat.

"Mungkin Nona Muda memiliki pilihan sendiri. Atau bahkan sudah memiliki pasangan."

Su Liang mendesah berat. Ia sendiri tidak yakin jika sang Putri sudah memiliki pasangan. "Bisakah kau memanggilkan pengacara Shen menemuiku. Aku ingin menambahkan prasyarat pernikahan bagi pewaris Liang Tech."

Ziang Chen mengangguk patuh. "Aku harus memancing jiwa kompetitifnya," lanjut Su Liang kemudian menyesap dalam teh dalam cangkirnya.

Tidak mereka sadari bahwa Wu Xia yang bermaksud mengantarkan camilan mendengar percakapan kedua pria paruh baya tersebut. Wanita itu berbalik dan mengambil ponselnya.

"Wei Fang, dengarkan ibu. Ibu punya ide agar menjadikanmu pemilik dari Liang Tech. Cepatlah pulang sekarang."

Sebelum Wei Fang menjawab perkataannya, Wu Xia menutup panggilannya.

"Dewa akhirnya memberikan jalan untukku," gumamnya.   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro