CHAPTER THREE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alunan lembut musik klasik mengalun memenuhi ruangan yang didominasi perabot bermaterial kayu dengan sedikit tambahan elemen metal berwarna hitam pada kisi-kisi meja ataupun jendela itu membuat Su Li teringat dengan suasana kantornya. Beberapa penerang yang dipasang tidak simetris juga menambah kesan artistik. Keberadaan beberapa tanaman yang ditanam secara vertikal dan memenuhi dinding sebelah utara memberikan kesan alami dan juga hangat jika dipadukan secara keseluruhan. Ia beranjak dari tempat duduknya dan memandangi beberapa hasil pahatan yang menggantung menjadi dekorasi di salah satu dinding.

"Pahatan itu adalah karya dari bos kami," ucap pelayan yang mengantarkan pesanannya. Su Li mengangguk mengerti. Kafe-nya bisa se-cozy ini pasti pemiliknya memiliki sense seni yang bagus.

Su Li kembali ke mejanya. Ia terpaku, warna kecoklatan yang sempurna dari french toast yang berlumuran sirup maple dan taburan buah bluberi itu berhasil membuat sekresi air liurnya bertambah. Bahkan makanannya begitu tertata dengan apik. Ia memang bukan pecinta seni yang fanatik, tetapi dirinya sangat menghargai seni itu sendiri. Selagi ia menikmati french toast yang garing itu, sandwich ham yang ia pesan keluar. "Ini akan menjadi kafe favoritku," deklarasinya dalam hati. Keindahan sandwich itu tidak kalah dengan french toast yang pertama kali keluar. Perpaduan antara suasana dan juga makanannya berhasil mencuri satu titik kecil di sudut hatinya.

"Apakah makanannya seenak itu?"

Su Li hampir saja tersedak ketika suara sang Ayah masuk ke rungunya. Su Liang menyerahkan segelas air putih tergesa. Ia juga tidak bermaksud mengejutkan putrinya tersebut.

"Apakah tidak bisa jika tidak membuatku terkejut?" gerutu Su Li kesal.

"Apakah sopan tidak mengunjungi Ayahmu? Padahal ini adalah kepulanganmu setelah sekian lama tidak pulang?"

Tanpa dipersilakan, Su Liang mengambil tempat tepat di depan Su Li yang kembali asik dengan makanannya tidak berniat menjawab pertanyaan sang Ayah.

"Apakah hanya ini makan siangmu?"

Su Li mengangguk. Ia menelan kunyahannya sebelum menjawab, "Asupan karbohidrat, protein, dan vitamin yang seimbang. Lagipula ini sarapanku bukan makan siang."

Su Liang terkekeh. Kebiasaan putrinya ternyata tidak berubah jauh. "Matahari sudah tinggi. Tidak mungkin kau jetlag dengan perbedaan waktu yang hanya 8 jam ini, kan?"

"Ayah jangan mengejekku terus. Ini adalah waktu sarapan bagiku, tidak peduli pukul berapa pun saat ini."

Ziang Chen tersenyum melihat interaksi ayah dan anak tersebut. Ia bermaksud beranjak kala sapaan Su Li meng-interupsinya.

"Halo, Paman Ziang."

"Halo, Nona muda. Selamat datang kembali di rumah," sapa Ziang Chen sambil menunduk sopan.

"Terima kasih, Paman. Apakah Paman sudah sarapan? Sandwich disini enak," ujar Su Li sambil menggeser kursi di sebelahnya, mempersilakan Zhang Chen untuk duduk.

"Lihatlah anak ini. Sepertinya aku salah dalam membesarkannya." Su Liang pura-pura memasang wajah terluka, tetapi sama sekali tidak berpengaruh untuk anak gadis yang sedang berada diantara mereka saat ini.

Ziang Chen terkekeh. "Paman sudah sarapan, Ziang Wu tidak akan membiarkan paman berangkat bekerja jika belum sarapan."

"Lihatlah. Betapa irinya diriku denganmu." Su Liang lagi-lagi mengeluarkan ekspresi sedih.

"Ada apa Ayah mencariku?" tanya Su Li langsung tanpa basa-basi.

Su Liang memperbaiki duduknya. "Ayah bermaksud membawamu ke perusahaan."

Sambil menyesap jus jeruknya, Su Li menunggu sang Ayah melanjutkan.

"Kelak kau akan menjadi pewaris Liang Tech. Jadi kau harus tahu setidaknya bagaimana gedung baru perusahaan kita saat ini."

"Sebentar. Apakah aku melewatkan sesuatu? Sepertinya aku tidak pernah berkata akan menjadi pewaris." Su Li menatap ayahnya lurus. Ia berharap Ayahnya tidak salah paham akan kepulangannya saat ini. "Aku pulang karena harus melakukan sesuatu Ayah. Bukan kembali untuk menjadi pewaris atau apalah itu," lanjutnya.

Su Liang menarik napas panjang. Menghadapi anak gadisnya memang butuh kesabaran ekstra.

"Ayahmu ini semakin tua, kemampuan Ayah juga akan menurun. Apakah kau tega membiarkan perusahaan yang Ayah bangun diambil alih orang lain?"

Diam-diam Su Li setuju dengan apa yang sang Ayah katakan. Tetapi ia sama sekali tidak tertarik untuk mengurus sebuah perusahaan. Kepulangannya hanya memiliki satu tujuan. Ia bertekad akan menjadi anak yang berbakti tetapi bukan dengan jalan menggantikan posisi sang Ayah.

"Ayah, dengarkan aku. Ini adalah waktu liburan terpanjang yang pernah kumiliki semenjak aku sekolah hingga bekerja. Tidakkah ayah melihat jika selama ini masa mudaku kuhabiskan di balik meja dengan tumpukan berkas yang tidak pernah berkurang? Izinkanlah anakmu ini merasakan kebebasan."

Su Liang tersenyum. Ia mengalah untuk saat ini. Setelah melihat jam di pergelangan tangannya, lelaki paruh baya itu beranjak. "Setidaknya kau harus datang di acara makan malam besok. Jangan menghindar seperti kali terakhir."

"Selama dua penyihir tu tidak ada, maka aku akan hadir," jawab Su Li santai sebelum mencomot buah bluberi terakhir dari piringnya.

"Su Li."

"Baiklah-baiklah. Nyonya Wu Xia dan Nona Wei Fang. Apakah kau puas Tuan Su Liang?"

Su Liang hanya mampu menggeleng, sifat kekanakan Su Li ternyata tidak pernah hilang.

"Hati-hati Ayah. Berkendaralah dengan aman, Paman."

Punggung dua lelaki paruh baya itu menghilang di balik pintu. Su Li memerosotkan dirinya di atas kursi. Maniknya menatap lurus papan menu. Bulir-bulir air yang terlihat menetes dari sebuah gelas yang berisi campuran soda dan limun itu berhasil menarik atensinya. Tungkainya berhasil membawanya ke depan meja kasir.

"Blue Ocean dengan ekstra es." Pesanannya mengundang tanya dari petugas kasir. Pasalnya tumpukan salju belum ada tanda-tanda untuk mencair di luar sana. Tetapi wanita bersweater putih itu tidak peduli. Ia membutuhkan es sebanyak-banyaknya saat ini.

***

Langkah anggun itu menghasilkan bunyi gemeletuk yang terdengar bersahutan. Su Li selalu merutuk jika diharuskan menggunakan sepatu hak tinggi. Jika bukan karena acara makan formal perusahaan sang Ayah, ia tidak akan menggunakan alas kaki yang sering disebutnya salah satu alat penyiksaan itu. Para pegawai hotel memberikan salam setiap kali berpapasan dengannya.

Dress brokat berwarna maroon dengan model one piece memeluk tubuh rampingnya pas. Roknya yang mengembang berayun setiap kali Su Li melangkahkan kaki. Walaupun tidak terlalu menyukai polesan yang berlebihan, tetapi malam ini ia tidak mau membuat sang Ayah malu di hadapan para koleganya. Sapuan tipis berwarna peach membuat wajah seputih porselen itu terlihat segar. Lipstik merah juga memberikan efek fresh senada dengan dress yang ia kenakan. Clutch bag hitam dan gelang perak mempercantik tampilan tangan kanannya. Tak lupa mantel putih berbulu bertengger anggun menutup dengan sempurna penampilan Su Li malam ini.

Sebuah Mercedes Benz GLC-Class terparkir apik di depan hotel. Su Li mengangguk puas, sepertinya koleksi Ayahnya bertambah lagi. Ia tersenyum kala mendapati Sekretaris Lu yang ternyata bertugas menjemputnya malam ini.

"Selamat malam, Sekretaris Lu."

"Selamat malam, Nona. Kita berangkat sekarang."

Tempat perjamuan dilaksanakan ternyata di salah satu restoran keluarga yang berdesain privat. Su Li merasa dibohongi. Ia kira makan malam yang dimaksud Ayahnya adalah acara formal dimana seluruh jajaran perusahaan hadir. Langkah kesalnya menggema memenuhi lorong yang didominasi warna merah. Terdapat ornamen lampion merah di masing-masing depan pintu masuk. Pelayan yang memandu Su Li berhenti di depan salah satu ruangan dan membukakan pintu.

"Akhirnya bintang utama kita hadir."

Su Liang bangkit dari tempat duduknya dan menyambut Su Li.

"Kau cantik sekali malam ini, putriku."

Su Li menelan kekesalannya. Setidaknya ada beberapa kolega Ayahnya disini.

"Terima kasih, Ayah." Su Li memberikan mantelnya kepada pelayan. Berjalan anggun di sebelah sang Ayah. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Wu Xia yang berusaha menilai penampilannya malam ini. Ada sedikit kelegaan kala maniknya tidak menangkap kehadiran Wei Fang, setidaknya berkurang satu orang yang menyebalkan.

Dari total sekitar sepuluh orang yang duduk mengitari meja, ada beberapa wajah yang baru ia temui. Ia hanya menyunggingkan senyum setiap kali ayahnya mengenalkan kepadanya.

"Paman, Ziang Wu apakah belum datang?" tanyanya saat tidak melihat keberadaan anak dari Sekretaris pribadi ayahnya tersebut.

"Anak itu katanya sedang di jalan. Sebentar lagi sepertinya sampai."

Tepat setelah Ziang Chen menyelesaikan ucapannya, pintu ruang perjamuan itu kembali terbuka. Seorang pemuda terlihat memasuki ruangan. Terlihat jelas bahwa pemuda itu tergesa, bulir keringat tercetak jelas di dahinya yang tidak tertutupi poni. Walaupun sedikit berantakan, tapi penampilannya tidak bisa dibilang jelek. Keberadaan name tag yang masih tergantung apik di lehernya itu, menjadi tanda bahwa dia masih menggunakan bajunya saat bekerja. Su Li menatapnya selidik, tak disangka teman kecilnya itu berkembang banyak setelah terakhir kali mereka bertemu.

"Maaf atas keterlambatanku," ucapnya sambil membungkuk sopan.

Su Liang tersenyum ramah, "Tidak apa Ziang Wu. Su Li juga baru saja datang. Anak muda memang perlu persiapan yang lebih lama daripada kami para orang tua ini," ucapnya maklum.

Setelah Ziang Wu menduduki kursinya, perjamuan itu pun dimulai.

"Ku kira kau tidak hadir " bisik Su Li ketika Ziang Wu duduk di sebelahnya

Pemuda itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya "Senang bertemu lagi denganmu Nona Su "

Su Li bersyukur bahwa perjamuan itu tidak terlalu formal dan berjalan lancar. Ibu tirinya pun tidak membuat masalah sejauh ini. Setelah beberapa kolega pulang, menyisakan Su Li dan kedua orang tuanya.

"Jadi, apa yang ingin ayah sampaikan?" Sebenarnya ia sudah malas berlama-lama berada di satu ruangan dengan wanita yang terus menempel dengan ayahnya tersebut.

"Ayah ingin kau menikah."

Su Li menatap Ayahnya tidak percaya. Dari sekian banyak berita yang bisa disampaikan mengapa sang Ayah membahas hal terkait pernikahan.

"Ayah, aku masih 28 tahun."

"Ibumu menikah saat seumuran denganmu."

"Apa aku selama ini merepotkan ayah?"

Su Liang menghembuskan napas panjang. Ia tidak boleh salah dalam memilih kata-kata saat berhadapan dengan putrinya tersebut.

"Aku merasa tidak ada yang salah dengan kehidupanku saat ini. Aku bisa berada di titik ini bahkan tanpa melewati ikatan pernikahan itu."

"Setidaknya kau menjalin hubungan dengan seseorang. Ayah akan membantumu mencari."

Su Li menggeleng tidak percaya. "Ayah, pasangan itu bukan seperti pakaian yang bisa dipilihkan oleh orang lain. Fokusku pun saat ini bukan itu. Tidak bisakah Ayah berhenti selalu memaksakan kehendak?"

Su Li meneguk kasar air putih yang berada di hadapannya. Cukup usahanya mencapai jalan buntu, setidaknya sang Ayah tidak menambah rasa frustasinya. Tidak ada perkembangan yang berarti dari kasus pembunuhan sang Ibunda semenjak ia berada di Tiongkok. "Apapun alasannya aku tidak mau menikah," finalnya.

Su Liang memijat puncak hidungnya sejenak sebelum membalas dengan suara rendah. "Jika kau tidak mau menikah, maka kau tidak bisa menjadi pewaris Liang Tech."

Kesabaran Su Li pun habis. Pembahasan pewaris dan pernikahan itu membuatnya muak. Tidak tahu apa yang menyebabkan sang Ayah begitu mendesaknya, Su Li pun tak mau tahu. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, menyambar mantelnya dengan tidak sabaran.

"Silakan anda berkata sesuka hati. Saya tidak peduli," ucapnya sebelum menghilang di balik pintu. Su Liang hanya dapat terduduk pasrah memandangi kepergian sang putri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro