CHAPTER SIXTEEN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, ini nyata?"

Shen Yue memandangi undangan yang berada di genggamannya. Dua nama yang tertulis pada kertas putih dengan desain bunga-bunga emas yang tersebar itu membuatnya terkejut pagi ini. "Xiao Lu, bisakah kau mencubit pipiku?" Mendapatkan permintaan seperti itu membuat Xiao Lu dengan semangat menarik pipi chuby itu dengan semangat.

"Akh. Kau berniat membuat pipiku lepas?" ujarnya dengan kesal sambil memukul tangan Xiao Lu. Pemuda itu hanya tertawa.

"Jangan sampai hilang, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa undangan itu." Kemudian pemuda itu berlalu. Ia harus menyerahkan beberapa undangan lagi kepada divisi lainnya.

Seisi kantor sudah mulai berisik, tetapi sang pemeran utama penyebab kegemparan pagi ini melenggang santai memasuki perusahaan dengan tenang seperti biasa. Menenteng shoulder bag hitam di tangan kanan dan cup kopi di tangan kiri, Su Li melangkah memasuki lift. Berjubel dengan pegawai lain. Mengabaikan tatapan penasaran dari para pegawai. Ini bukan kali pertamanya, walaupun tatapan itu lebih kepada rasa segan.

"Selamat pagi, Nona Su."

Su Li mengangguk sambil tersenyum. Sudah beberapa pegawai yang menyapanya. Beberapa juga seperti menatapnya takjub atau aneh? Karena hal tersebut gadis itu membelokkan langkah menuju toilet. Su Li tidak menemukan hal yang salah dengan penampilannya. Knit sweater putih dan straight pants cokelat yang ia gunakan pun tidak ada noda. Riasannya pun tidak berantakan.

"Nona Su. Akhirnya anda datang."

Shen Yue menghampiri segera setelah melihat Su Li memasuki ruangan divisi Investor Relation.

"Ada apa? Mengapa sudah heboh pagi-pagi?" tanya Su Li sambil menyalakan komputernya.

"Mengapa anda tidak mengatakan bahwa selama ini anda berkencan dengan Tuan Ziang Wu?"

Pergerakan Su Li yang bermaksud ingin membuka map berkas terhenti. Seingatnya ia belum mengumumkan terkait hubungannya dengan orang-orang kantor. "Siapa yang mengatakannya?" tanyanya kemudian. Shen Yue menyerahkan undangan yang ia terima dari Xiao Lu tadi pagi. Manik itu membesar dan langsung berlalu meninggalkan Shen Yue yang kebingungan.

"Selamat pagi, Nona Su." Sapaan ramah dari sekretaris Ayahnya itu hanya ia jawab dengan anggukan singkat. Langkah lebarnya ia tunjukan ke kantor sang Ayah. Ketika ia membuka pintu, rasa terkejutnya kembali muncul karena melihat keberadaan Ziang Wu. Melihat begitu tergesanya sang Putri, Su Liang bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Su Li. jadi sebelum, gadis itu menyalak, Su Liang lebih dulu menginterupsinya.

"Ayah tidak menerima penolakan. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Karena Ayah tidak tahu kapan lagi kau akan berubah pikiran."

Su Li mendekat. "Kapan Ayah bisa berhenti tidak mempercayaiku? Baru seminggu yang lalu aku mengatakan akan menikah bukan berarti meminta Ayah menyiapkan semuanya," ucapnya geram. Gadis itu mendudukkan dirinya dengan kesal di atas sofa. "Setidaknya tanyakan pendapatku dan Ziang Wu. Ini sudah keterlaluan."

Ziang Wu yang hanya diam sejak tadi mendatangi Su Li dan duduk di sebelahnya. "Kau tidak perlu khawatir. Ayah sudah menjelaskan semuanya padaku. Aku bisa mengerti," ujarnya halus. Su Li menatap pemuda itu tidak percaya. "Lagipula untuk apa kita menunda sesuatu yang pasti akan terjadi? Kita akan menikah walaupun lebih cepat. Bukankah itu lebih baik?" Ziang Wu menggenggam tangan Su Li dan meremasnya lembut seakan memberikan suatu kode. Napas yang tadinya memburu perlahan kembali normal. Su Li berusaha untuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh Ziang Wu. Tuan Su tersenyum puas setelah melihat interaksi keduanya. Bagaimana Ziang Wu bisa meredakan emosi Su Li membuatnya takjub. Selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan keras kepala sang Putri.

"Kami akan mempersiapkan diri dengan baik, Ayah," ucap Ziang Wu sebelum pamit undur diri bersama Su Li.

"Jadi apa yang kau rencanakan?"

Su Li melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap pemuda yang sedang menyeruput kopi kaleng yang tadi sempat ia beli sebelum keduanya menuju rooftop. "Kau bilang ingin menangkap para tikus itu. Kesempatan ini bagus untuk memancing mereka keluar. Berita pernikahan kita akan menjadi ancaman bagi mereka."

Gedung-gedung pencakar langit yang didominasi jendela kaca itu terlihat sangat indah ketika memantulkan cahaya matahari, seperti kilau berlian. Sebagai sebuah mega kota, Beijing yang merupakan rumah bagi sejumlah perusahaan kelas dunia memiliki puluhan gedung pencakar langit. "Aku akan menyerahkan saham atas namaku sebagai mahar."

Gadis itu menatap Ziang Wu yang masih setia dengan gedung-gedung berkilauan di hadapan mereka. "Kau tidak perlu melakukan itu," ucapnya kemudian menyesap kopi kaleng miliknya.

"Untuk mendapatkan kekuasaan, kau perlu memperkuat posisimu terlebih dahulu. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya padamu? Jumlah saham milikmu dan Wei Fang itu setara. Jika ditambahkan dengan milikku, maka kau akan jadi pemegang saham terbesar setelah resmi menjadi pewaris. Itu akan lebih mempermudah dirimu untuk bergerak."

"Kita anggap saja acara pernikahan sebagai peringatan, supaya mereka tidak bertindak bodoh."

Penjelasan Ziang Wu masuk akal. Su Li mengangguk menyetujui. Meskipun sebenarnya hal yang paling ia khawatirkan adalah pemuda itu, ternyata kekhawatirannya sungguh tidak berdasar.

"Terima kasih, Ziang Wu."

Pemuda itu hanya mengangkat kaleng kopinya setelah mendengar ucapan Su Li. "Itu hal yang wajar dilakukan oleh partner."

***

Acara pernikahan yang digelar secara spektakuler di hotel yang menjadi salah satu penyedia akomodasi selama perhelatan Olimpiade Musim Dingin di Beijing itu mulai ramai didatangi para tamu. Para kolega maupun pegawai Liang Tech terlihat memenuhi ballroom yang didekorasi dengan tema rustic tersebut. Deretan bunga baby breath putih berbaris sepanjang lorong menuju altar yang dipadukan dengan bunga-bunga segar yang berwarna campuran warna putih dan soft pink.

Meja-meja bundar tersusun apik dengan dekorasi yang senada, taplak putih dengan satu vas bunga baby breath di tengah-tengah. Setiap orang yang datang bisa mencocokkan meja dengan barcode yang tertera pada undangan. Beberapa waiters juga berlalu lalang menawarkan minuman ataupun camilan ringan kepada para tamu. Alunan musik klasik mendayu lembut dibawakan oleh tim orkestra di atas panggung memenuhi ruangan.

Di ruang tunggu, Su Li berjalan mondar-mandir. "Ini hanya hal yang kecil, Su Li. Kau tak perlu gugup," gumamnya pada diri sendiri. Dress putih dengan model mermaid itu memeluk tubuh rampingnya dengan sempurna. Rambut sebahu miliknya malam ini digelung dengan hiasan beberapa tangkai bunga baby breath sehingga menampilkan leher jenjang itu dengan apik.

"Selamat atas pernikahanmu."

Tatapan yang semula gelisah berubah menjadi dingin dalam sepersekian detik setelah mendengar suara yang menyapanya dari pintu masuk. Wei Fang berjalan dengan tak acuh mendekati Su Li.

"Untuk apa kau kemari?" ucapnya penuh selidik.

Gadis yang memakai dress peach itu mendudukkan diri di sofa. "Aku hanya ingin menunaikan tugas sebagai adik yang baik. Ayah memintaku untuk menjemputmu. Jadi jangan besar kepala."

Su Li tersenyum miring. Jika tidak mempertimbangkan nama baik sang Ayah, ia sama sekali tidak mau bersinggungan dengan Wei Fang. Tanpa berniat menggubris ucapan dari saudara tirinya tersebut, Su Li berlalu keluar dari ruangan. Rasa gugup kembali melanda ketika mendapati sang Ayah yang sudah menunggunya di depan pintu ballroom.

"Putri Ayah sangat cantik malam ini," ucapnya serak, Su Liang mati-matian menahan air matanya yang tumpah. Untuk kali pertama semenjak kepulangannya, Su Li memeluk sang Ayah. Su Liang merasakan pelukan itu mengetat. "Jangan menangis, nanti riasanmu akan rusak," bisiknya.

"Aku tidak secengeng itu," kilah Su Li sambil melepaskan pelukannya. Ayahnya benar, ia tidak boleh menangis. Disambutnya uluran tangan sang Ayah yang akan menggandengnya hingga altar.

Pintu ballroom terbuka. Melodi saxophone yang melantunkan lagu populer A Thousand Years menggema memenuhi ballroom mengiringi langkah Su Li mendekati altar.

Di altar, Ziang Wu menatap sendu kursi yang seharusnya sang Ayah tempati kosong. Semenjak pagi, pikiran Ziang Wu terbagi antara acara pernikahannya dan sang Ayah. Dua hari sebelum acara dimulai, Ayahnya masuk rumah sakit akibat apendisitis dan dijadwalkan untuk melakukan operasi di hari yang sama dengan acara pernikahan. Ketika pintu ballroom terbuka, membuatnya menyadari bahwa dirinya harus fokus pada acaranya hari ini. Maniknya menatap Su Li takjub. Rasa gugup dan khawatir itu tergantikan dengan perasaan hangat yang mengaliri dadanya. Seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Senyum tipisnya terpatri kala manik keduanya bertemu. Ziang Wu dapat menangkap bahwa pengantin perempuannya sedang gugup saat ini.

"Aku serahkan Putriku padamu. Jaga dan bahagiakan dia," ucap Su Liang kala memberikan uluran tangan Su Li kepada Ziang Wu. Pemuda itu mengangguk mantap. "Baik, Ayah."

Prosesi pengucapan sumpah berjalan dengan khidmat. Su Li sedikit tertegun karena pemuda di sampingnya terlihat sangat santai dan menikmati setiap rangkaian prosesi pernikahan ini. Tibalah saat di mana kedua mempelai yang sudah sah sebagai pasangan suami istri tersebut akan melakukan wedding kiss. Riuh tepuk tangan membuat keduanya tidak dapat menolak.

Ziang Wu maju selangkah mendekati Su Li, membuka veil putih yang menutupi wajah cantik itu perlahan. Ziang Wu bersyukur karena riuh sorakan tamu undangan dapat menyamarkan degup jantungnya yang menggila. "Kau gugup?" bisiknya. Anggukan kecil Su Li membuatnya tersenyum. "Percaya padaku," lirihnya lagi. Manik kecoklatan milik Su Li selalu berhasil membuatnya terpikat. Fokusnya beralih kepada bibir yang dipoles dengan warna merah muda yang terlihat lebih penuh dari biasanya, telapak tangan kekarnya berpindah ke belakang kepala sang istri. Mendorong dengan lembut mendekatkan keduanya hingga bibir keduanya menyatu. Saling menyesap tipis sebelum akhirnya terlepas. Ziang Wu dapat melihat jelas bagaimana rona merah di wajah sang Istri semakin pekat. Ia pun dapat merasakan sesuatu di dalam dirinya yang terbangun. Jika dilanjutkan ini akan menjadi bahaya.

Acara pernikahan berjalan dengan lancar walau tanpa kehadiran Ziang Chen. Selepas acara berakhir, Su Li dan Ziang Wu segera pergi ke rumah sakit. Medapati keadaan sang Ayah yang sudah melewati masa kritis dan sudah dipindahkan ke bangsal biasa membuatnya dapat bernapas lega.

"Ayah akan segera pulih," hibur Su Li. Ziang Wu mengangguk. Keduanya duduk di sofa yang berada di kamar rawat Ziang Chen.

"Maaf membuatmu harus menginap di rumah sakit malam ini."

Su Li menggeleng. Ia mengikuti Ziang Wu bukanlah paksaan, melainkan keinginannya sendiri. "Aku masih belum terbiasa di rumah sebesar itu sendirian," bohongnya. Semenjak hari ini keduanya pindah ke rumah pengantin yang diberikan oleh Ziang Chen. Walaupun sempat menjadi perdebatan pihak siapa yang menyediakan rumah pengantin. Ziang Wu tersenyum ia sangat tahu bahwa itu semua hanyalah alasan gadis itu. Walau terkesan dingin dan cuek, gadis ber-hoodie putih itu sangatlah hangat memperlakukan orang di sekitarnya.

"Aku ingin membeli kopi, kau mau menitip sesuatu?" Su Li beranjak dari tempat duduknya.

Ziang Wu menggeleng. Namun pemuda itu ikut bangkit berdiri. "Aku temani," ujarnya tetapi Su Li menolak.

"Kau disini saja. Siapa tahu nanti Ayah bangun dan membutuhkan bantuan."

Ucapan Su Li membuat pemuda itu mengurungkan niatnya dan kembali duduk di sofa. "Kabari aku jika terjadi sesuatu," ucapnya yang membuat Su Li terkekeh sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Meskipun waktu menunjukkan hampir tengah malam, lobi rumah sakit masih dipenuhi oleh beberapa orang yang terlihat hilir mudik. Beberapa perawat ataupun dokter juga sesekali melintas. Su Li membawa langkahnya menuju coffee shop. setelah melihat daftar menu, ia mengubah pilihannya. Dua cup cokelat panas dengan dua potong cheese cake ia pilih sebagai kudapan malamnya. Sengaja ia membelikan Ziang Wu, supaya pemuda itu tidak meminta miliknya.

Sambil menunggu pesanannya disiapkan, Su Li duduk di salah satu kursi sambil mengecek email yang masuk. Walaupun ia diberikan cuti selama seminggu oleh sang Ayah, tetap saja ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dengan mudah. Salah satu email yang ia terima ternyata pemberitahuan mengenai masa pelatihannya sebelum dilantik sebagai pewaris.

Su Li akui, pengalamannya di bidang manajemen masihlah minim. Sehingga ia membutuhkan sesi pelatihan seperti ini. Namanya dipanggil tepat ketika ia selesai membaca pemberitahuan tersebut. segera ia membawa langkahnya untuk kembali ke kamar. Aroma manis dari cokelat panas dan juga tampilan cheese cake yang menggiurkan benar-benar membuatnya bergegas.

Pintu lift terbuka, Su Li segera masuk. Kotak besi itu berisi dirinya dan dua orang perawat, ia kemudian memilih untuk berdiri di belakang mereka. Sebuah pesan dari Ziang Wu yang mengabarkan bahwa Ayahnya sudah siuman menerbitkan senyum di wajah cantik itu.

"Kau sudah dengar kalau sekretaris Tuan Su Liang dirawat di rumah sakit ini?"

Su Li menajamkan pendengarannya saat nama sang Ayah disebut.

"Tuan Su Liang yang memberhentikan Dokter Lao?" Perawat yang membawa nampan berisi cairan infus itu menepuk pundak temannya. Pembicaraan ini semakin menarik. Su Li pura-pura sibuk dengan ponselnya dan menggunakan airpods kala sudut matanya dapat melihat bagaimana perawat yang lebih tinggi berbisik, "Jangan keras-keras. Kau bisa membuat kita dalam bahaya."

"Sebenarnya aku kasihan dengan Dokter Lao. Bukan dirinya yang bertanggung jawab menangani istri Tuan Su Liang saat itu, tetapi dirinya yang kena getahnya hanya karena sedang melakukan tugasnya sebagai dokter piket."

"Bukankah saat itu kau bilang ada kejadian istimewa?"

Su Li dapat melihat perawat yang lebih tinggi itu mengangguk. "Keadaan Nyonya Su malam itu sudah sangat stabil. Tetapi entah apa yang terjadi, dua jam setelah Dokter Lao berkeliling bangsal, Nyonya Su masuk ke dalam fase kritis bahkan meninggal dunia."

Su Li meremas ponselnya. Udara di sekitarnya seperti menguap dan dadanya terasa sesak. Tungkainya melemas, dengan sekuat tenaga ia berpegangan dengan batang besi yang berada di sampingnya. Pintu lift berdenting dan terbuka. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia membawa langkahnya keluar. Tatapannya kosong. Fakta baru mengenai kematian sang Ibu cukup membuat dirinya terpukul. Ia kemudian jatuh terduduk. Seluruh tenaganya seperti tersedot habis. Ponselnya bergetar. Jemarinya yang bergetar mencoba menerima panggilan dari Ziang Wu.

"Ziang Wu," lirihnya sebelum semuanya menjadi gelap gulita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro