Lintas Impian - 45

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

From : Jonathan Si Peramal
Minggu depan saya wisuda, saya harap kamu bisa datang, ya.

"Kenapa coba Jo harus undang aku buat hadir pas hari wisudanya nanti? Emangnya sepenting apa kehadiran aku untuk dia?" gumam Geisha setelah mendapatkan pesan tersebut.

Dua minggu yang lalu, Jo memang telah menyelesaikan sidang skripsinya sehingga dia dapat mengikuti wisuda periode ini. Dan, sama seperti undangan kehadiran di wisudanya, Jo juga sempat mengundang Geisha untuk hadir di hari sidang. Namun, Geisha tidak hadir saat itu.

Geisha yang saat itu masih terngiang-ngiang dengan perkataan Naura membuatnya berusaha untuk menghindari pertemuannya dengan Jo. Meski alasan pertama Geisha tidak hadir ialah karena jadwal kuliahnya yang berbentrokan dengan sidang skripsi Jo.

Bukan tanpa alasan Geisha hendak menghindar, Geisha hanya ingin mencari sedikit jeda waktu untuk memikirkan semua hal yang masih abu-abu tentangnya dan Jo.

Terkadang, Geisha juga bingung dengan perasaannya. Dia merasa hanya menganggap Jo sebatas teman biasa tempatnya bercerita, tidak lebih dengan iming-iming cinta atau apa pun itu. Namun, di sisi lain, terkadang dia juga merasa sakit dan sesak tak terjelaskan di dada ketika melihat Jo berinteraksi dengan perempuan lain, seolah gadis itu benar-benar jatuh cinta.

Untuk urusan Jo juga begitu. Lelaki itu bersikap begitu manis kepadanya, yang menurut Morena dan Naura, perlakuan itu tidak bisa dikategorikan sebagai perlakuan biasa. Namun, jika benar lelaki itu menyimpan perasaan untuknya, lalu kenapa tidak pernah keluar satu kalimat pengakuan cinta pun dari Jo untuk dirinya?

Bahkan, seutas kalimat berkonotasi menggombal seperti yang dilakukan laki-laki pada umumnya saja Jo tidak pernah melontarkannya.

Kalimat terbaik yang pernah Jo berikan hanyalah sebatas "Semangat, Geisha", "Sudah saya bilang, kamu pasti bisa", "Saya percaya sama kamu", atau "Kalau butuh apa-apa, kabari saya."

Demi Tuhan, ini kali pertama Geisha dibuat begitu bimbang oleh laki-laki. Sebelumnya, Geisha berani bersumpah tidak ada laki-laki yang membuatnya gundah gulana seperti yang Jo perbuat. Selama ini, yang Geisha tahu hanya tentang dunia halusinasi dan idolanya. Dan, Geisha kira, mengagumi sosok yang nyata yang bisa dia genggam akan lebih mudah dibanding mengagumi sosok jauh di mata yang sama sekali tidak bisa dia raih. Tapi, ternyata, dia salah. Karena, ini lebih sulit dari yang dia kira.

Geisha mengacak rambutnya frustrasi. "Kayak gini, pergi enggak, ya? Tapi, kalau aku pergi, apa untungnya untuk aku? Paling cuma jadi orang linglung di sana kalau enggak ketemu Jo. Mana yang wisuda banyak. Aku juga enggak penting amat untuk dia, kan?"

Sebelum Geisha yakin dengan keputusannya untuk tidak pergi ke acara wisuda Jo, pikiran lain kembali bermunculan. "Tapi, Jo udah baik banget sama aku. Dia banyak semangatin aku dan dia juga udah ngasi aku motivasi. Masa sekarang, di hari kelulusan dia, aku enggak pergi? Jahat banget kesannya."

Sebagai manusia, tentu Geisha masih tahu yang namanya 'tahu diri'. Mungkin, itu kelihatan sepele, namun Jo sudah begitu banyak berkontribusi di dalam kehidupannya.

Geisha menggenggam ponselnya erat-erat. Gadis itu menghela napas, sebelum kemudian gadis itu membulatkan tekadnya. "Aku harus pergi ke acara wisuda Jo. Bodoh amat dengan kepentingan aku di sana. Yang jelas, aku cuma perlu ucapin dia selamat, kasi bucket ala-ala kelulusan, udah, pulang."

***

Dengan sebuah bucket yang ada di tangan dan niat yang dikumpulkan sejak seminggu lalu, Geisha berdiri di sini. Di parkiran auditorium-tempat wisuda dilaksanakan-dengan kaki gemetarnya. Jangan lupakan riasan wajah yang dipoles seadanya dengan prinsip "Seenggaknya, enggak malu-maluin. Dibanding aku datang dengan muka yang kucel, dekil, dan kusam".

Setelah berdiri lebih kurang setengah jam di parkiran karena acara wisuda itu masih berlangsung di auditorium, Geisha akhirnya menarik napas ketika melihat satu per satu orang dengan seragam toga mulai ke luar dari auditorium, pertanda bahwa acara di dalam telah selesai.

Namun, yang Geisha benci dari keadaan ini adalah dia harus mencari keberadaan Jo di antara sekian ratus manusia dengan seragam yang sama itu. Mungkin, yang berbeda hanyalah jas atau kebaya yang mereka gunakan, namun itu semua tidak membantu sedikit pun karena tertutupi oleh toga.

"Gimana cara bedainnya kalau seragam mereka sama semua?" omel gadis itu seraya menghentakkan kaki kesal.

Geisha mengucek mata, mencoba untuk kembali mencari sosok Jo, hingga Geisha mendapati seorang laki-laki yang kini dikerumuni oleh beberapa kaum sebangsanya. Itu Jo.

Geisha menegakkan tubuh, menarik napas, merapalkan beberapa baris doa agar dia tidak tampak grogi. Secara perlahan, gadis itu melangkahkan kaki untuk menghampiri Jo.

Langkahnya semakin dekat, dan debaran di jantung semakin kencang. Geisha berusaha menghalau semua debaran itu, dan mengumpulkan keberaniannya untuk sekadar memanggil nama. "Jo."

Setelah suaranya terangkat, beberapa laki-laki yang mengerumuni Jo itu beringsut mundur, seolah memberikan jalan untuk dirinya mendekati Jo.

Berbeda dengan ketegangan yang terpampang di wajah Geisha, lelaki yang baru saja mengikuti acara wisudanya itu tampak luwes. Jo tersenyum kecil, sebelum berjalan mendekati Geisha.

"Saya pikir, kamu enggak bakal datang. Pesan saya kemarin hanya dibaca oleh kamu," ujar Jo.

Geisha bingung harus merespons seperti apa. Karena, memang benar, pesan Jo minggu lalu hanya dia baca. Itu karena dia terlalu pusing memikirkan tentang Jo, hingga lupa untuk sekadar membalas.

"Maaf, aku lupa buat balas," jawab Geisha jujur.

"Tidak masalah, yang terpenting kamu datang. Itu sudah lebih dari cukup," balas Jo.

Geisha tertegun. Sebegitu pentingkah kehadiran dirinya untuk Jo? Tapi, Geisha tidak ingin membuat pikirannya menjadi penuh jika harus memikirkan hal itu lagi. Geisha menatap bucket di tangannya, sebelum menyerahkannya kepada Jo. "Selamat untuk kelulusan kamu. Maaf kalau pas kamu sidang skripsi kemarin, aku enggak bisa hadir, karena bentrok jadwal kuliah."

"Bentrok jadwal atau karena kamu memang ingin menjauhi saya?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jo, Geisha meneguk ludahnya.

"Jangan dipikirkan. Saya hanya bercanda. Terima kasih karena sudah mau hadir di salah satu acara penting di hidup saya. Saya terima bucket-nya, ya?"

Geisha mengangguk, lalu menyerahkan bucket itu kepada Jo. Wajah Jo terlihat senang ketika mendapatkannya. Akan tetapi, hal itu berbanding terbalik dengan keadaan Geisha sekarang.

Mendadak pikiran Geisha menjadi penuh lagi akibat pertanyaan Jo tadi. Kenapa Jo bisa berpikir demikian? Apa selama ini semua tindakannya terlalu lugas? Sehingga Jo mengetahui motif di balik perlakuannya?

Atau, bahkan, bagaimana jika semua yang dirasakan oleh Geisha diketahui oleh Jo?

Tentang rasa grogi, debaran di jantung, dan perasaannya.

***

1.006 words
©vallenciazhng_

22 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro