Lintas Impian - 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Sejak kapan Pak Jonathan yang terhormat bawa ceng-cengan, nih? Kayaknya selama ini adem-ayem aja. Definisi sat set sat set, ya, Pak?”

“Emangnya dia kayak lo yang enggak laku? Jonathan mah udah ganteng, otaknya pinter, berwibawa lagi. Cewek mana pun pasti kecantol.”

“Lo ngehina gue apa gimana, nih?”

“Ya, lo ngerasanya gimana?”

“Eh, kalian enggak malu dilihatin sama ceweknya Jo lagi adu mulut? Enggak tahu tua bener.”

Geisha melihat perdebatan kecil antara teman-teman Jo, namun dia tidak tahu apa yang sedang mereka bahas. Cewek Jo? Siapa? Apa jangan-jangan ada perempuan lain di sekitarnya?

Geisha memutar kepala, menjelajahi sekitar, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran perempuan lain yang berpotensi berstatus sebagai kekasih Jo. Lihatlah, mereka semua asyik dengan circle mereka sendiri, mengalungkan selempang bertuliskan gelar yang baru dicapai oleh salah satu dari mereka, berfoto dengan orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi.

Lalu, jika begitu, siapa yang teman-teman Jo maksud sebagai kekasih lelaki itu? Apa jangan-jangan ....

“Enggak usah bikin anak orang bingung, deh, Bro,” sahut Jo tiba-tiba seraya menepuk pundak salah satu temannya. Lelaki itu lantas menyerahkan ponselnya, dan melanjutkan, “Fotoin gue, ya.”

“Wes, masa fotografer minta difotoin, gimana ceritanya?”

Jo tersenyum, kemudian berbisik—entah apa—kepada temannya itu, sebelum kembali menghampiri Geisha yang tampak seperti orang linglung. Lelaki itu memosisikan diri di sebelah Geisha, membuat Geisha mengernyit heran.

Jo yang menangkap sinyal itu segera angkat suara. “Saya pengen mengabadikan momen wisuda saya. Bersama kamu. Boleh?”

Bak terhipnotis, Geisha menganggukkan kepalanya perlahan.

Look at the camera, Ge. Jangan lihat saya.”

Geisha yang merasa malu segera menghadap ke depan, melihat ke bulatan kamera di ponsel Jo.

“Satu ... dua ... tiga ....”

Dan, setelah aba-aba itu diberikan, Geisha memasang senyum terbaiknya. Setidaknya, agar tidak memalukan di momen berharga Jo ini.

“Ganti gaya, ganti gaya!” seru si fotografer dadakan. Geisha membetulkan posisi berdirinya, namun suara itu kembali menyeru. “Deketan dikit, dong. Yang lebih mesra.”

Apa tadi? Mesra katanya? Memangnya, ini foto prewedding? Belum sempat Geisha protes, gadis itu dibuat terkejut ketika tangan Jo berada di lengannya, dan mendekatkan dirinya. mengikis semua jarak yang ada di antara mereka.

Pipi Geisha merona. Dia begitu malu, hingga tidak menyadari aba-aba kedua diberikan.

“Satu … dua … tiga ….”

Sialnya, Geisha belum siap.

Geisha terkesiap ketika teman Jo yang tadi memegang ponsel tiba-tiba datang dan menyerahkan ponsel Jo kepadanya. “Ceweknya Jo, sekarang kita gantian, ya. Tolong fotoin kami para cowok kece ini sama teman kami,” perintahnya sebelum berbalik menatap Jo dan yang lainnya. “Ayo, kita foto bareng, kuy! Sebelum teman kita yang satu ini pergi ninggalin kita semua untuk meraih gelar es teh. Eh, maksudnya es dua.”

Mendengar itu, jantung Geisha berhenti berdetak untuk beberapa saat. “Pergi?”

“Loh, ceweknya Jo belum tahu? Habis ini, kan, Jo mau ke luar kota buat lanjutin S2-nya di sana. Makanya, kita-kita mau foto dulu sebelum berpisah.”

Apa katanya tadi? Jo ingin ke luar kota? Kenapa dia tidak tahu?

Geisha menatap Jo cukup lama, sebelum memutuskan untuk mengakhiri kontak mata itu. Geisha melihat ponsel Jo yang ada di tangan, berusaha menguatkan hati, mengangkat ponsel itu setinggi wajah, dan memberikan aba-aba pada lima orang laki-laki yang ada di hadapannya.

“Satu … dua … tiga ….”

Suara bidikan terdengar, seiring dengan rasa sesak yang menguar di dada Geisha.

***

Setelah pulang dari wisuda Jo tadi, Geisha langsung mengurung diri di kamar mandi. Gadis itu menyalakan keran di wastafel, mengulurkan tangan tepat di bawah aliran air dan lantas membasuh wajah guna melunturkan semua riasan wajahnya. Awalnya, hanya untuk membersihkan wajah, namun lama-kelamaan air matanya turun bercampur dengan aliran air itu.

Puas membasahi seluruh wajah, Geisha mematikan kembali keran. Dia menggapai dinding, dan bersandar di sana. Kepalanya dia dongakkan ke atas. Memikirkan hal yang benar-benar membuat suasana hatinya menjadi buruk itu.

Pertanyaan pertama.

Apa benar Jo ingin melanjutkan studi keluar kota? Jika iya, kenapa Geisha tidak tahu? Kenapa Jo tidak memberitahunya? Bukankah selama ini, Jo sering bercerita kepadanya? Tapi, kenapa yang satu ini, tidak?

Pertanyaan kedua.

Ada apa dengan dirinya? Kenapa juga Geisha harus merasa kecewa kepada Jo karena tidak bercerita kepadanya? Memangnya, siapa dia? Sampai Jo harus menceritakan semua rancangan masa depannya kepada Geisha? Bukankah harusnya, dia kecewa kepada dirinya yang terlalu berharap?

Kesimpulan dari yang sudah-sudah, dirinya memang tidak sepenting itu untuk Jo. Tapi, jika iya, kenapa Jo mengharapkan kedatangannya di acara wisuda lelaki itu?

Semua pertanyaan itu begitu memusingkan dan menumpuk penuh di kepala Geisha. Kepala Geisha hendak pecah dibuatnya. Ini melebihi mata kuliah sulit di semester pertamanya.

“Geisha, kamu di dalam?”

Suara ketukan di pintu kamar mandi terdengar, membuat Geisha dengan segera berdiri tegak dan menghapus jejak air matanya.

“Morena? Kenapa dia ada di sini?” gumam Geisha yang sudah hafal dengan suara sahabatnya itu.

“Geisha, kamu di dalam, kan?”

Geisha berdeham sejenak, sebelum menjawab, “Iya. Sebentar, Mo.”

Sebelum membuka pintu, terlebih dahulu Geisha berkaca dan memastikan bahwa dirinya tampak baik-baik saja. Bisa menjadi rumit urusannya jika Morena tahu dia baru saja habis menangis.

“Kamu kenapa lama banget di dalam? Kamu habis nangis? Kamu kenapa nangis? Ada yang sakitin kamu?” serang Morena bertubi-tubi.

Geisha menggeleng kecil. “Enggak pa-pa, Mo. Aku enggak nangis.”

“Kamu bisa bohong sama orang lain, tapi kamu enggak bisa bohong sama aku, Ge,” ujat Morena. “Ayo, cerita sama aku. Sini duduk dulu.”

Morena menuntun Geisha untuk duduk di kursi meja belajarnya. Sementara itu, Morena duduk di atas ranjang Geisha. “Jadi, kamu kenapa, Ge?”

Geisha menatap Morena cukup lama. Sepertinya, tidak ada yang bisa dia sembunyikan dari Morena yang begitu peka terhadap dirinya.

Geisha menghela napas sebelum semua cerita yang terjadi hari ini meluncur bebas begitu saja dari bibir Geisha.

Morena mendengar cerita itu dengan saksama, dan mulai mengangkat suara ketika Geisha telah selesai bercerita. “Udah aku duga, kamu benar-benar jatuh cinta sama dia, Ge.”

“Iya, aku akui, Mo. Aku akui, aku jatuh cinta. Selama ini, aku berusaha untuk menyangkal semua itu, tapi aku enggak bisa, Mo.”

“Setelah kamu mengetahui isi perasaan kamu, lalu apa yang kamu takutkan lagi?”

Geisha menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Aku takut, Mo gimana kalau cuma aku yang jatuh sendirian, sementara Jo enggak?”

Morena menyunggingkan senyumnya. Jemarinya terulur, mengangkat dahu Geisha. “Ge, kamu percaya, nggak? Insting seorang perempuan itu kuat. Dan, aku percaya, Jo juga punya rasa yang sama untuk kamu.”

***

1.034 words
©vallenciazhng_

23 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro