❬ 7 ❭ Lembaran Foto

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vano berjalan lunglai memasuki area perpustakaan sekolah setelah bel terakhir berdentang. Dia melarikan pandang pada sekelilingnya, mencari kursi yang sekiranya nyaman ia tempati sendiri. Dipilihnya kursi yang berada di ujung tembok dekat rak berisi buku biologi.

Berbeda dibanding biasanya, kali ini Vano tak membiarkan mejanya dipenuhi buku yang berserakan. Vano tak berniat untuk belajar lagi. Setidaknya untuk hari ini, dia hanya sedang ingin mengistirahatkan pikirannya yang penuh memuat kejadian tak terduga yang ia alami selama hampir satu bulan terakhir.

"Keyra, ya ...." Vano bergumam. Dia merasa aneh dan bingung.

Sejak kehilangan banyak hal, ia tak pernah lagi merasakan hatinya diaduk berbagai emosi, seolah-olah emosi miliknya telah lama terkubur lalu mati.

Namun, belakangan ini jantungnya yang berdetak kencang saat berdiri bersisian dengan Keyra seakan kegirangan. Lalu sikapnya yang menurunkan kewaspadaan saat berbincang, bahkan hingga menceritakan masa lalu kelam yang menjijikan pada Keyra itu hal yang aneh. Lebih anehnya lagi, ia menjanjikan sesuatu hal besar pada Keyra berupa perlindungan.

Entah mengapa, tetapi Vano menjadi sangat senang melakukannya jika itu untuk Keyra. Yang Vano bingungkan adalah apakah perasaannya saat ini adalah sebuah rasa ketertarikan ataukah itu hanya rasa simpati dan kasihan, ia sama sekali tidak tahu. Akan tetapi, semakin lama Vano bersama dengan Keyra, makin ia tahu bahwa perasaanya itu ternyata lebih dalam dan rumit dari sekadar merasa kasihan.

Vano yang temenung lama itu dikagetkan dengan getaran ponselnya di saku celana. Telepon dari Radit.

"Apa?" tanyanya begitu ketus tanpa menyapa orang yang berada di seberang.

Radit tampaknya sedang mendecak di balik telepon. "Di mana lo? Gue nyariin dari tadi juga!"

"Perpus."

"Lagi!? Hobi amat lo main ke sana! Apa lo jangan-jangan punya ketertarikan seksual yang sinting sama buku, hah?"

"Lo terlalu banyak omong. Sebutin apa mau lo sekarang."

"Okey! Ada kejadian apa yang disembunyiin sama lo? Enggak mungkin lo tiba-tiba deket sama Keyra, cuma karena dia bantuin lo nemuin hape lo yang ilang, kan? Jawab jujur, Van."

"Kenapa lo mau tau? Ini enggak ada hubungannya sama lo."

"Van!" sentaknya. "Lo pikir gue begini itu kenapa? Gue khawatir, tau! Keyra bilang kalo kalian deket karena punya nasib yang sama. Apa maksudnya? Lo udah cerita tentang segalanya ke dia, kan. Apa lo enggak mikir dampaknya sekarang gimana? Apalagi dia itu mantannya Alvaska, Van!"

Vano meluruskan pandangan. "Terus kenapa kalo dia mantan Alvaska?"

Radit mengerang kesal, "Alvaska enggak bakal tinggal diem gitu aja, Van. Lo yang paling tau kalo dia benci sama lo. Ditambah lo semakin deket sama Keyra sehari setelah mereka berdua putus! Dia bisa aja ngorek informasi buruk tentang lo dan beberin ke semuanya biar reputasi lo juga sama-sama jatuh!"

"Alvaska gak bakalan ngelakuin itu."

"Haha," Radit tertawa mengejek. "Yakin? Lo tau, awalnya gue juga mikir gitu sampe gue liat beberapa foto yang nampilin lo sama ibu tiri lo ditempel di mading."

Vano tersentak mendengarnya, "Foto apa?"

"Lo pikir itu apaan? Gue mungkin udah ngambil semuanya dari sana, tapi enggak nutup kemungkinan mereka udah pada liat."

Vano terlonjak dari kursi, bergegas keluar dari perpustakaan dengan wajah yang memerah menahan emosi. Dia serasa sedang ditelanjangi. Segala yang ia tutupi mungkin bukan lagi akan menjadi rahasia miliknya dan itu tidak boleh sampai terjadi. Vano harus mencegah segala kemungkinan buruk yang terjadi. Hidupnya pasti tak akan lagi tenang jika semuanya dibuka.

"Di mana fotonya sekarang?"

"Ada di gue. Lo datang aja ke belakang dan jangan sampe papasan sama Alvaska. Berabe urusannya nanti."

Vano mematikan ponselnya dan mengembalikannya ke saku celana. Dengan langkahnya yang panjang, ia pergi menghampiri Radit yang ada di gerbang belakang dengan cepat. Tampak bahwa Radit sedang menunggunya sembari badannya itu menyender pada tembok di dekat pagar besi yang telah usang.

Vano benar-benar membuat Radit tak dapat berkata apapun saat ia melihat raut wajahnya yang dingin dan menggelap begitu lembaran foto nista ada di genggamannya.

"Dit, lo tau siapa aja yang udah liat ini?"

Dengan cepat Radit menjawab. "Gue enggak begitu yakin. Grup kelas juga sepi, tapi ada kemungkinan anak-anak dari kelas 11 udah pada liat. "

Kedua mata Vano yang tajam melirik Radit. Hingga Radit tanpa sadar menelan ludahnya gugup, tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Vano sekarang.

"Lo yakin pelakunya Alvaska? Yang tahu tentang keadaan gue itu cuma lo sama Keyra." Suara dingin dan berat itu mengarah penuh kecurigaan pada Radit.

"Sekarang lo naruh curiga ke gue? Bukannya harusnya sama Keyra?"

"Keyra gak mungkin lakuin itu!"

"Lo percaya sama orang yang baru lo kenal dan lo malah curiga sama gue yang udah bertahun-tahun jadi temen lo? Serius deh, Van. Lo anggep gue itu temen lo bukan, sih? Kalo iya gue yang nyebarin, emang apa untungnya buat gue?" Entah sadar atau tidak, tetapi suara Radit terdengar naik dan sedikit bergetar.

Benar. Tidak seharusnya Vano mencurigai Radit. Lagipula jika benar, mungkin Radit akan membeberkan segalanya setahun atau dua tahun yang lalu.

Radit membuang napas kasar dan memegang kedua bahu Vano begitu erat. Mata mereka saling bertemu dan bertatap dalam waktu lama. "Lo sangat tahu kalau Alvaska bener-bener benci sama lo. Dan setelah kejadian yang bikin dia dikeluarin dari olimpiade itu, apa lo pikir Alvaska bakal nerima semuanya gitu aja?"

"Enggak."

"Asal lo tau, Van. Keluarganya Alvaska itu bener-bener keras."

"Gue tahu itu," sambung Vano setelah akal sehatnya kembali. "Gue sama Keyra juga sempet liat dia babak belur. Tingkah dia akhir-akhir ini juga aneh. Terlalu tenang. Berbanding terbalik sama sikapnya yang suka nyari ribut, bahkan kalo itu cuma masalah sepele."

"Lo ngerti sekarang, kan, Van? Lebih baik sekarang lo hati-hati. Sebisa mungkin jangan berinteraksi sama ibu tiri lo. Kita gak tahu apa dia masang kamera pengawas di suatu tempat di rumah lo. Karena kita tau, Alvaska itu anak yang nekat yang bakal pake segala cara biar dia dapetin apa yang dia pengen."

❬✧✧✧❭

Pagi-pagi sekali Vano sudah berada di dalam kelas. Jika boleh jujur, saat ini ia benar-benar merasa waswas. Berbeda dengan yang diperkirakan, banyak orang yang telah mengetahui foto-foto itu. Seseorang telah memoret menggunakan ponsel dan menyebarkannya di grup kelas. Selama semalaman kemarin Vano sama sekali tidak tidur hingga kantung di bawah matanya kian membesar. Dia terlalu banyak berpikir hingga tak sadar jika matahari telah terbit di langit timur.

"Vano!" Keyra berlari terengah. Tanpa permisi masuk ke dalam ruang kelas yang hanya diisi Vano.

"Gue minta maaf!" serunya tiba-tiba.

Vano dengan linglung bertanya. "Maksudnya?"

"I-ini gara-gara gue. Kalau aja malem itu gue ngeiyain kata Alvaska. Dia enggak bakalan nyebarin foto itu."

"Tunggu-tunggu. Alvaska ngomong apa aja?"

"Yang jelas waktu itu dia minta balikkan. Dia mungkin terobsesif sama gue. Maafin gue, Van! Seharusnya gue gak lapor masalah di Lab dan lupain segalanya. Gue terlalu egois dan cuma mentingin reputasi gue sendiri. Gue sama sekali gak mikir dampaknya. Dan sekarang malah lo yang keseret, bukannya gue."

Mendadak kepala Vano terasa pening. Ini mungkin efek karena ia tidak tidur semalam. Tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Berhenti minta maaf, okey? Kita udah pernah bahas ini. Lo sama sekali gak salah."

"Van!"

"Gue sedikit takut. Tapi gue baik-baik aja, jadi enggak ada yang perlu lo khawatirin."

"Vano! Jangan bohongin gue. Enggak ada yang baik-baik aja saat kita dihadapin sama rasa takut."

"Wow! Coba liat sekarang," ucap seseorang yang datang tiba-tiba di ambang pintu.

"Ada Vano si mantan model ternama! Woah, jadi gosip yang bilang dia model waktu itu ternyata beneran. Gue kira bukan karena mukanya kehalang kacamata. Mata para cewek emang gak pernah meleset, ya."

Reno dan Tomy, dua orang laki-laki yang sering membuat onar. Mulut mereka juga tak kalah tajam dari sebuah pedang, hingga sulit untuk dilawan. Bersilat kata dengan mereka tak akan menjadi permainan yang mudah.

"Kami enggak ada urusan sama kalian."

Reno mengeluarkan decakan. Ia bertolak pinggang dengan kepala naik tampak angkuh, "Jangan belagu, deh. Gue udah denger berita tentang lo dari anak yang lain. Harusnya lo bersyukur karena kita masih bisa naruh rasa kasihan."

Keyra mengerutkan dahinya tak suka. Mereka benar-benar keterlaluan. Dia menjadi semakin benci pada sekolah yang ia tempati saat ini. Semua orang yang tinggal di sini hanyalah sekumpulan para sampah yang senang menggunjing.

Keyra dengan tangkas menyeret lengan Vano keluar menuju ruang pengobatan. Mendorong kedua orang yang menghalangi jalannya. Keyra sebisa mungkin tak mengacuhkan perkataan dari mereka. Vano pun melakukan hal yang sama; menutup telinganya kuat-kuat.

Namun, lisan yang seharusnya tak dapat menembus daging itu malah menyayat hatinya yang tak bisa ditembus. Sebuah kalimat yang menyakitkan bagi kedua orang yang menuju ruang pengobatan.

Itu hanya sebuah pertanyaan sederhana, tetapi seperti kata terlarang bagi mereka yang memiliki trauma.

"Status lo yang bener yang mana? Pelaku atau korban pemerkosa?"

❬ TBC ❭

Halo, teman-teman sekalian!

Chapter nanti mungkin bakal masuk bagian klimaks, nih. Sejujurnya agak bingung apa konflik di sini bener-bener kerasa pahit atau pedes wkwk.

Jangan lupa jejaknya! 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro