DYAD05 // Desir Pasir di Padang Tandus / Log

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengapa perlu bersusah-susah mencari keilmuan untuk bercocok tanam di pasir, ketika Liberte bisa saja punya segalanya?

Ya, teknologi yang ada di Liberte adalah hasil pemikiran selama puluhan hingga ratusan tahun lamanya. Semua itu tidak akan ada hingga saat ini tanpa sebuah preservasi yang ketat, turun-temurun, seperti sebuah rahasia yang sudah mendarah daging.

Lagi, apakah perlu hanya Liberte yang punya segalanya?

Aku ingat kata-kata orang-orang tua setiap kami berkumpul untuk pertemuan para peneliti di sebuah bar yang terletak di daerah kumuh Liberte.

'Kita tidak tahu kapan tanah ini akan bertahan. Cara Kanselir tidaklah salah, tapi sebagai peneliti, kita harus menemukan cara-cara baru untuk bertahan hidup.'

'Kanselir sudah mempersiapkan segalanya kalau-kalau akan ada kejadian besar yang menyeret koloni megah ini, itu rahasia umum para saintis kelas kakap. Percayalah, pada akhirnya, dia mungkin hanya ingin segala ilmu yang ada tetap ada.'

Tapi, saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti. Terlalu pendek akal untuk memahami. Aku hanya paham apa yang ada di hadapan kami: ratusan tanpa nama, ratusan percobaan sia-sia.

Siapa lagi yang bisa disalahkan selain diri kita?


Lituskultura, sebuah ide yang kini diterima oleh Liberte dan juga diterapkan di koloni luar.

Varian pasir hanya bisa didapat di luar sana, jadi aku cukup sering pergi ke luar koloni untuk mendapat sampel. Selain itu, aku sering dipanggil untuk mengajarkan soal cocok-tanam di luar Liberte. Di Liberte, mereka lebih menginginkan laporan tertulis dibandingkan demonstrasi langsung. Ilmu ini belum bisa diterapkan oleh Liberte yang tergolong 'subur'. Ilmu ini adalah cadangan dari segala ilmu pertanian.

Tidak, bukan aku mengharapkan kehancuran. Aku hanya peduli dengan kemajuan ilmu ini dan bagaimana nantinya ilmu ini bisa diterapkan dan diterima.

Aku hanya 'aku', Sarracenia yang menjalankan apa yang dahulu ratusan saintis tanpa nama tidak bisa realisasikan. Menyelesaikan sebuah karya. Sebuah magnum opus yang mungkin tidak akan digunakan. Sebuah ilmu yang hanya akan disimpan.

Ah, mengapa [aku] yang hidup?


Dulu, di daerah kumuh Liberte, aku sering mendengar teriakan antara rumah ke rumah.

Rumah-rumah kami menjulang tinggi, bagaikan sarang kalau di lihat dari udara. Teriakan-teriakan itu juga tidak terlalu natural, kadang bagaikan untaian sandi. Sebuah rumus kimia, mungkin, karena itu kombinasi angka dan nomor, dan segalanya berawal dari 'C'.

'C', atau 'karbon' adalah elemen dengan nomor atom 6. Karbon adalah elemen keempat terbanyak di jagat raya. Karbon juga adalah elemen yang mudah sekali ditemukan dan dibentuk. Segala kode itu selalu disebut dengan cepat sehingga aku tidak mengingat, tapi orangtuaku akan mencatatnya di dinding, tepat di mana semua kertas berserakan ditempel mengenai Lituskultura dan komisi-komisi yang sedang dikerjakan agar kami bisa makan.

Setelah aku kabur ke ruang bawah tanah, aku baru tahu kalau selama ini kode-kode itu menandakan mereka yang tengah ditarget pemerintah, entah melalui 'nomor' penelitian atau nomor rumah dan kamar yang mereka tempati. Siapa saja yang nanti didatangi oleh petugas akan diajak secara damai untuk menyerahkan karya ilegal mereka untuk diadaptasi Liberte. Namun, siapa yang menolak perlahan akan dihabisi.

Kalian sudah membahayakan status quo Liberte, ada baiknya kalian memusnahkan diri atau dimusnahkan.

Sayang, aku tidak ingat sesaat rumah-rumah itu dibakar, apakah Lituskultura masuk dalam salah satunya.


"Tidakkah kamu ingin pergi dari Liberte dan menetap saja di luar koloni?"

Salah satu korespondennya berbicara suatu hari setelah ia mengisi kuliah singkat Lituskultura di daerah perbatasan koloni Liberte dengan 'dunia luar'. Daerah itu gersang dan tandus, tapi masih bisa dibilang lebih subur dibandingkan koloni-koloni lain yang aku tahu dari korespondenku dan teman-temannya.

Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dimana aku tinggal, tapi aku ada di Liberte karena Lituskultura.

Para saintis yang menitipkan ilmu ini padaku juga tidak ingin ilmu ini diedarkan sebelum sempurna.

Aku menjawab saat itu, "Masih ada yang harus kulakukan di Liberte."

Korespondenku menanggapi dengan seulas senyum dan ia berhenti bertanya.

Saking seringnya aku bertemu dengan orang-orang di luar koloni, kadang aku merasa asing sendiri berada di Liberte.

Liberte selalu bersinar, semua orang di sana menikmati hasilnya, memetik buah ranumnya dan menjadi yang berjaya.

Mereka tidak tahu seberapa tinggi gunung mayat para saintis di kaki-kaki mereka.


Aku benci matahari, jadi aku selalu keluar dari ruangan bawah tanah itu sore atau malam hari. Atau, misal aku harus ke arah luar koloni dengan bantuan karavan barang, aku akan memilih pergi waktu malam dan sampai di sana pagi-pagi buta sebelum matahari terbit.

Kali itu, aku memutuskan berjalan di siang bolong, menuju tempat yang dulu dibakar oleh para petugas dan menyisakan aku sebagai satu dari banyak nama yang dianggap meninggal di tempat.

Daerah itu kini sudah diubah menjadi gedung-gedung baru, taman-taman baru dengan segala kemajuan milik Liberte oleh para saintis yang digaji oleh pemerintah ditampilkan di sana dan dikagumi oleh para khalayak umum.

Di taman itu, aku duduk di salah satu bangku panjang yang dipayungi pohon besar, menyaksikan beberapa wartawan melakukan orasi seputar sepak terjang Kanselir.

Aku mengingat apa yang beberapa saintis tua itu bilang. Sekarang, mereka sudah mati, entah karena salah siapa.

Aku bersandar penuh di kursi dan mulai membuka catatan, melihat ragam vegetatif di sana sambil menulis bibit-bibit yang akan kupesan untuk pasir yang baru saja datang dari koloni dengan nama AX. Pasir-pasir baru itu cukup indah dan kaya akan hara, tampak tercampur dengan remahan kuarsa. Mungkin harus ada modifikasi tertentu agar pasir ini bisa menyimpan air lebih optimal. Bisa saja nanti pasir ini laporannya kuselipkan ke koloni tersebut agar mereka bisa menikmati teh pasir, sebuah simbiosis yang menyenangkan bukan?

-Ah, tapi para jurnalis itu sangat berisik. Mereka dibayar berapa, sih, untuk teriak-teriak di tempat umum menyuarakan kebaikan Kanselir?

"Benar juga, mereka tidak takut mati karena percobaan terlarang atau tidak terafiliasi pemerintah," aku bergumam, menggambar diagram persentase pasir. "Andai mereka juga sama, dihukum karena ilmunya sendiri."

Realisasi kadang membuatku muak, apalagi suara-suara keras. Aku pun memutuskan pulang.


Korespondenku hari itu memperkenalkan seorang baru yang tampak sangat tertarik dengan Lituskultura dan Liberte. Aku menghabiskan beberapa jam dengan mereka sambil menjelaskan tentang Lituskultura. Seringkali aku tidak dibayar, tapi mereka akan memberikan informasi sebagai balasan. Entah informasi mengenai makanan ration yang biasa ada di luar koloni, aktivitas luar koloni, bibit-bibit langka yang tidak ada di Liberte, hingga bagaimana cara memakai senjata dengan benar.

"Jadi bila Liberte terus makmur, ilmu ini akan menjadi sekedar hipotesa?"

"Ya."

"Sayang sekali."

"Saya yakin koloni luar belum siap mengadaptasi ini karena kekurangan sumber daya."

"Anda benar."

Ia lalu bertanya apa yang saya sukai dari Liberte - tempat yang sudah lama tidak kukenali. Aku menghabiskan penuh hariku di bawah tanah menyelesaikan PR-PR yang makin menumpuk. Lituskultura sebentar lagi sempurna, namun aku belum menemukan satu hal krusial yang dapat menghimpun segalanya.

"Kalau anda punya kesempatan bertemu dengan para saintis petinggi dan Kanselir Liberte, apa anda akan bertanya soal nasib para saintis ilegal itu?"

"Saya sudah mengira jawabannya," Sara tersenyum simpul. "Pasti beliau akan bilang segalanya adalah untuk Liberte."

"Anda tampak paham sekali."

"Saya rasa seorang Kanselir tidak akan memberitahukan agendanya pada orang-orang yang tidak ia percaya, terutama para saintis berpangkat rendah." jawabku santai.


Publikasi Lituskultura sudah berjalan sempurna, hingga ada surat panggilan datang ke tempatnya mengenai pertemuan khusus.

Ia teringat surat terakhir yang ia dapat dari kelompok koresponden soal bagaimana mereka akan mencoba membuka Liberte dari dalam. Tujuannya, aku tidak terlalu peduli. Mereka mungkin menginginkan harta. Atau mereka ingin menjual pengetahuan Liberte secara mahal ke dunia luar yang tidak tahu seluk-beluk dan sejarah koloni megah ini.

'Dari dalam', ya, mereka mengandalkan jasa beberapa orang dalam. Semua juga sudah tahu sabotase dengan mudah dilakukan bila sistem itu sendiri yang dilumpuhkan.

Sementara, tugasnya sudah selesai dengan kebangkitan Lituskultura, ia tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan.

"Sudah lama aku tidak memakai 'program' ini, mereka membayar mahal sekali untuk membagikan program ini untuk semua tim mereka," aku menghela napas.

Tidak ada orang yang bisa tahu kalau bercak ungu ini sebenarnya adalah parasit. Parasit yang diciptakan orangtuaku untuk mengancam orang-orang yang dulu tidak mau bekerja sama dengan proyek-proyek jalanan. Mengapa mereka memberikan parasit ini pada anak-anak? Karena tidak ada yang peduli dengan anak-anak. Mereka yang belum dewasa selalu dianggap naif dan pengganggu. Keberadaan anak-anak hanya akan menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan sampai banyak dari mereka yang dibiarkan begitu saja mati sementara para saintis kepala terobsesi dengan ciptaan mereka.

Yang mereka tidak ketahui, anak-anak belajar cepat dari trauma, dan mereka memilih sendiri bagaimana trauma itu akan mengakar di dalam diri mereka dan kemudian berkembang jadi sebuah kekuatan.

Sesungguhnya, memang tidak ada manusia baik lagi di sini.

Aku selalu berhati-hati menggunakan sarung tangan ketika bersentuhan dengan instrumen pemerintah agar tidak dicurigai. Tapi nanti, saat pertemuan tertutup yang berisi entah apa itu berlangsung, bagaimana manusia dengan parasit hidup yang dapat menginfeksi sistem tapi tidak dapat menginfeksi sesama makhluk hidup, disuruh bersentuhan dengan benda elektronik?


Zaman emas Lituskultura sudah berakhir. Tugasku sudah usai.

Yang perlu kulakukan adalah memilih untuk meninggalkan jejak atau tidak.

Pertama-tama, aku akan memanfaatkan bahwa aku adalah wanita, sosok yang 'lemah' dan 'emosional'. Kedua, aku akan aktif menjadi sebuah antitesis.

Tidak ada yang akan menyalahkan, bukan?


Yang kuingat terakhir kali adalah ruangan yang perlahan diselubungi gas pembunuh. Walaupun aku seorang yang jarang melihat matahari dan hidup di kondisi kurang udara, tidak selamanya tubuh ini akan bisa bertahan.

Oh, sebelum aku mungkin menuju neraka, mungkin aku bisa meminjam ponsel Tuan Wartawan.

"Tuan Wartawan, boleh pinjam ponselmu sebentar? Aku ingin meninggalkan pesan untuk seseorang."

Tuan Wartawan tidak banyak berkata, wajahnya sudah membiru. Ponselnya ia pinjamkan, aku mengambilnya dengan bantuan kain jas yang kukenakan. Tidak lucu kalau ponsel Tuan Wartawan rusak karena parasit, bukan? Ia sepertinya tengah berharap seseorang datang ke sana untuk alasan tertentu.

Aku mengetik segera pesan sebelum menghapus historinya.

Misi telah selesai. Saya serahkan pilihan terakhir pada anda, Tuan Jagsheetal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro