As You Wish

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu ulang tahunnya kapan?" Aku hendak membacakan kecocokan zodiak kami.

"4 September." Seketika itu juga pandanganku yang semula fokus ke layar ponsel teralihkan, aku menatapnya dengan tatapan sedih, marah, dan kecewa.

"Kok nggak bilang?"

4 September itu tiga hari yang lalu. Di hari Sabtu itu kami menjalani hari seperti biasa. Chat-an sepanjang hari dan ia sama sekali tak menyebut kalau hari itu ulang tahunnya. Bahkan di hari ulang tahunnya dia tidak me-repost ucapan selamat ulang tahun dari teman-temannya.

Ia menggaruk tengkuknya. "Yah, emang nggak ada yang ngerayain sih."

"'Kan kita bisa ngerayain bareng-bareng!" Aku merajuk.

"Aku udah terbiasa nggak ngerayain ulang tahun kok." Ia berusaha menenangkanku dengan senyuman.

"Tapi 'kan itu hari spesial buat kamu ...."

"Bisa ngobrol sama kamu tiap hari udah spesial banget kok buat aku." Senyumnya melebar, kontras dengan ekspresiku saat ini.

"Mau hadiah apa?"

"Hadiah? Aku dikasih kertas kosong juga mau."

Ih, dasar bocah sok puitis!

Aku benar-benar kecewa, padanya dan pada diriku sendiri. Selama ini memang aku yang sering cerita dan dia yang mendengarkan. Namun, jika hari ulang tahunnya saja aku tidak tahu itu berarti aku tak mengenal apa pun tentangnya.

Kami memang belum genap sebulan berpacaran. PDKT kami pun bisa dibilang singkat. Kami baru mengenal satu sama lain sebagai teman sekelas di kelas 10. Awalnya kami tak pernah berbincang sama sekali. Aku pun hanya mengenal wajahnya tanpa ingat namanya. Suatu hari saat aku menyalakan fitur People Nearby di LINE nama seseorang yang familier. Tak kusangka dia mengajakku berteman di LINE, aku pun menerimanya. Sejak saat itu kami sering chat-an, makin dekat, dan tak sampai sebulan kemudian kami berpacaran.

Aku adalah pacar pertamanya. Mungkin dia tidak tahu kalau aku bisa sengambek itu gara-gara tidak tahu hari ulang tahunnya. Sebagai pasangan harusnya kami bisa merayakan semuanya bersama. Jika selama ini dia tidak pernah merayakan ulang tahun, aku yang akan merayakan bersamanya.

Aku akan memberinya kertas, seperti permintaannya.

***

Sejak percakapan itu aku belum bicara lagi padanya. Dia pasti mengira aku sedang ngambek. Bagus.

Di kelas, aku menerbangkan sebuah pesawat kertas padanya, lalu aku pura-pura tidak tahu sambil diam-diam meliriknya. Ia yang tengah duduk di kursinya pun tersentak, lalu mengambil pesawat kertas itu. Di sayapnya sudah kutulis "Di dalam ada tulisan, buka" maka ia membuka lipatannya.

Dari sini dapat kulihat raut wajahnya yang tengah menerka-nerka, lucu. Aku berusaha menutupi tawaku di depan teman-temanku.

"Liat kolong mejamu," itulah isinya.

Ia meraba kolong mejanya, lalu mengambil sebuah sticky notes dari dalam. Senyumnya mengembang, terpancar kebahagiaan dan kelegaan dari raut wajahnya. Melihat hal tersebut, aku tak kuasa untuk menahan senyuman. Namun, ketika ia melirik ke arahku, aku buru-buru memalingkan wajah.

"Pulang sekolah ke danau. Pake baju rapih ya. Ke sana sendiri oke ;)"

Itu isi sticky notes-nya. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya sore hari ini di danau kecil dekat sekolah.

Karpet piknik yang tak lain adalah taplak meja makan, sebuah kue tar kecil, lilin, kado, dan dua buah kertas kosong.

Tak lama setelah semuanya siap lelaki itu datang. Ia mengenakan kemeja putih dan celana warna krem, senada denganku yang mengenakan dress warna putih. Rambutnya juga disisir rapi. Ketika ia duduk, aroma harum menguar. Kali ini kubiarkan diriku tertangkap basah dengan pipi memerah olehnya.

Oh, astaga! Harusnya aku menghampirinya sambil membawakan kue tar dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Aku lupa. Aku terlalu terpaku.

"Happy birthday, Ghifari." Aku menyodorkan kue itu padanya saat ia sudah duduk di atas karpet.

Ia pun meniup lilin. "Potong kuenya, potong kuenya." Malah dia yang bernyanyi sambil tepuk-tepuk tangan.

Dengan sendok di tanganku, aku menyodorinya sesuap kue tar. "Nih!"

Secara cepat ia meraih satu sendok lagi dan membalas suapan mautku. Aku pun tak bisa mengelak. Kami bertatapan dan melihat wajah konyol kami dengan mulut yang penuh, membuat kami hampir melepaskan tawa.

Setelah menelan, aku memberikannya sebuah kado dan selembar kertas warna biru.

"Happy birthday, Ghifari. Semoga suka." Aku menyerahkan kado itu dengan malu-malu.

"Dari lima tahun yang lalu, aku kayaknya baru kali ini ngerayain ulang tahun lagi. Makasih ya, Ara." Ia menunduk, lalu tersenyum lebar.

"Di kertas itu, tulis harapan kamu, atau apa kek terserah, terus bikin jadi perahu kertas." Aku menyerahkan sebuah pulpen.

"Buat apa?"

"Buat aja dulu."

Ia pun menurut. Aku juga menulis di kertas lain yang berwarna pink. Karena bingung hendak menulis apa, aku bertanya, "Kamu nulis apa?"

"Rahasia," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Setelah selesai melipat perahu, aku berucap, "Sekarang, ayo lepasin di danau."

"Itu namanya nyampah."

"Kata orang, kalo kamu nulis harapan kamu di kertas terus dilipet jadi perahu, lepasin ke sungai biar harapanmu dikabulin," jelasku.

"Ini kan bukan sungai!"

Aku cemberut. "Kalo kamu nggak mau aku aja sini!" Aku menyodorkan telapak tangan.

"Nggak mau!" Ia menyembunyikan perahu kertasnya di belakang kepala, tetapi mampu aku raih.

"Ara!" Aku terus berlari ke pinggiran danau.

Ketika sampai di pinggiran danau, aku menengok. Dia tidak melihatnya.

Aku membuka lipatan perahu kertasnya.

"Semoga di ulang tahun yang selanjut-selanjutnya, Ghifari dan Ara bisa terus ngerayain bareng."

Aku tersenyum. Harapanku adalah semoga Ghifari merasa bahwa ia  disayangi, dipedulikan, dan dirayakan. Tampaknya harapanku terwujud.

17/05/24

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro