(19)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bibi mengangguk mantap sambil tetap mempertahankan senyum jahilnya tadi. Aci dan Flo masih tidak percaya sehingga mereka kembali bertanya kepada Bibi. "Serius?!"

Bibi menjulurkan lidahnya sedikit lalu membentuk huruf 'O' dari jarinya. "Tentu saja," jawabnya kemudian. Merasa bahwa Bibi benar-benar serius kali ini, Aci langsung merasa lemas begitu juga dengan Flo. Kaki mereka langsung lemas seperti jeli sehingga mereka tanpa sadar sudah terduduk di lantai laboratorium.

Masalahnya, melawan ogre itu sangat beresiko. Badannya besar dan menurut penjelasan Bibi, ia mempunyai kekuatan ajaib. Salah sedikit saja maka kepala mereka yang akan jadi taruhannya. Hanya dengan memikirkan hal itu saja mampu membuat Aci dan Flo ketakutan setengah mati apalagi jika benar-benar terjadi?

Setelah mengatakan bahwa dirinya serius, Bibi langsung berbalik badan dan berjalan menuju salah satu lemari. Aci mengusap-usap tengkuknya ketakutan. Sedangkan di sisi lain, Yori kelihatan biasa-biasa saja. Wajahnya masih datar tanpa ada ekspresi sama sekali. Beberapa saat kemudian, Bibi kembali dengan membawa satu tas penuh senjata. Mulai dari pisau, kapak, sampai pistol pun ada.

Flo menatap ngeri ke arah tas yang Bibi bawa. Belasan tahun menghirup oksigen Flo belum pernah menggunakan senjata apapun. Barang paling tajam yang ia pegang hanyalah pisau dapur. Itu pun ia masih ketakutan saat memegangnya.

Berbeda dengan Flo, Aci malah takjub dengan apa yang dibawa oleh Bibi. "Darimana kau mendapatkan semua ini?" tanya Aci sambil merogoh tas itu.

Bibi berkacak pinggang sambil memasang wajah bangga. "Tentu saja aku membuatnya sendiri," jawabnya singkat. "Nah, sekarang pilihlah senjata kalian. Sebentar lagi kita akan pergi melawan makhluk sialan itu," sambungnya.

Setelah mengatakan hal tersebut, Bibi izin masuk ke rumahnya untuk bersiap-siap dan Aci serta Flo ia tinggalkan di laboratoriumnya untuk memilih senjata yang ingin mereka gunakan. Langsung saja Aci memilih salah satu senjata di dalam tas itu. Pilihannya jatuh kepada sebuah pedang panjang dengan gagang yang memiliki ukiran unik. Di lain pihak, Flo ragu-ragu untuk memilih senjata mana yang kiranya akan ia pakai untuk melawan ogre nantinya. Akhirnya, ia hanya membawa sebuah panah. Setidaknya, ia bisa menggunakan panah walaupun tidak terlalu hebat.

Beberapa menit kemudian, Bibi kembali dengan menyandang sebuah tas gunung berukuran raksasa. Sepertinya, tupai itu membawa banyak sekali barang bawaan. Ia tersenyum lalu membuka pintu laboratorium yang ternyata langsung tersambung ke bawah pohon tempat rumahnya berdiri. "Ayo, ikuti aku!" ajaknya.

Sambil ikut menyandang tas mereka, kedua anjing tersebut mengekori Bibi sambil sesekali menengok ke arah kiri dan kanan. Mereka kini tengah berjalan menuju daerah tengah hutan yang gelap.

Entah sudah berapa ratus meter mereka berjalan namun ogre itu belum kelihatan juga batang hidungnya. Daerah hutan yang mereka lalui makin lama makin gelap dan sunyi. Flo mulai kelelahan lalu meminum air yang ia simpan di tasnya. Tiba-tiba, Flo mendengar suara aneh yang berat dan serak. Ia hampir saja menyemburkan air minumnya karena terkejut mendengar suara itu.

Ternyata, Aci dan Bibi juga mendengar suara yang sama. Setelah mereka dengarkan lagi dengan seksama, ternyata itu adalah suara dengkuran yang keras dan berat. "Kita sudah dekat," bisik Bibi sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya sebagai tanda menyuruh Aci dan Flo agar tidak berisik. Aci dan Flo mengangguk mengerti sambil berkeringat dingin. Wajah mereka serius memperhatikan langkah mereka. Mereka tidak ingin menimbulkan suara yang mungkin bisa membangunkan makhluk raksasa bermata satu itu.

Mereka berjalan makin jauh ke tengah hutan dan suara itu juga makin nyaring terdengar. Bibi memegang erat senjata laras panjang di tangannya. Setelah beberapa meter mereka kembali berjalan, terlihatlah makhluk mengerikan itu sedang tertidur di matras tanah hutan. Makhluk itu tidur sambil memeluk tongkat kayu besar berduri miliknya. Tiga hewan itu meneguk saliva mereka gugup. Keringat dingin mulai bercucuran dari pori-pori kulit mereka.

Akhirnya, Bibi memberanikan diri dan nekat maju duluan. Aci dan Flo kemudian mengikutinya dari belakang. Sebelum benar-benar sampai tepat di depan wajah makhluk itu, Bibi berbalik ke belakang menatap wajah Aci dan Flo satu per satu lalu berbisik, "kelemahan makhluk ini adalah matanya. Jadi, aku ingin Aci pergi ke depan dan menusuk mata ogre itu menggunakan pedangnya. Setuju?"

Flo mengangguk gugup sedangkan Aci menggeleng cepat. "Kalau dia terbangun bagaimana?"

"Tenang saja. Aku dan Flo akan menembaki makhluk sialan itu menggunakan senjata kami. Cepat lakukan sebelum dia bangun!"

Aci kembali menggeleng sambil menghentakkan kakinya. "Aku tidak mau!" ucapnya sambil menghentakkan kakinya lagi.

Krek!

Suara patahan ranting kayu terdengar nyaring. Ternyata, saat Aci menghentakkan kakinya tadi ia juga mematahkan sebuah ranting kayu. Ketiga hewan tersebut diam tak bergerak. Perlahan dengan ketakutan mereka menoleh ke belakang dan melihat ogre tersebut mulai terbangun. Makhluk itu membuka matanya malas lalu berkedip cepat beberapa kali. Setelah menyadari bahwa ada beberapa hewan yang mengganggunya, ogre tersebut menjadi marah dan langsung berdiri sambil meraung.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Lari, bodoh!" teriak Bibi sambil mulai berlari ke belakang. "Berpencar!" perintahnya lagi.

Sontak, Aci dan Flo ikut berlari ke arah yang berbeda. Ogre tersebut menjadi semakin marah lalu mengayunkan tongkat berdurinya ke sembarang arah. Beberapa pohon terlihat tumbang karenanya. Bibi, Aci, dan Flo tetap berlari tak tentu arah menyusuri hutan itu. Tetapi, karena ukuran makhluk itu yang besarnya bukan main membuat mereka dapat dengan mudah terlihat.

Ogre tersebut memilih hewan mana yang akan ia bunuh terlebih dahulu. Akhirnya, ia menjatuhkan pilihannya kepada Aci. Ia berlari ke arah Aci yang sedang menghindar sambil memegang erat pedangnya. Tiba-tiba, tanpa ada yang menduga, Aci tersandung akar pohon lalu terjatuh. Jaraknya dengan makhluk itu semakin sedikit. Merasa mangsanya tidak bisa lari lagi membuat ogre itu tersenyum. Ia berjalan pelan ke arah Aci untuk membuat hewan tersebut ketakutan setengah mati sebelum bisa ia makan.

Aci terseok-seok mundur ke belakang. Ia melihat ogre tersebut menjilat-jilat bibirnya layaknya orang lapar yang melihat makanan lezat. Aci meneguk ludah. Ia belum mau mati semuda ini. Banyak hal yang belum ia lakukan. Ia kembali mundur ke belakang sampai sebuah suara teriakan terdengar dari belakangnya.

"Aci, menunduk!"

Aci refleks menunduk sedangkan ogre tersebut melihat ke arah sumber suara. Ada Bibi di sana sedang memasang kuda-kuda sambil memegang senjata laras panjangnya. Ia menarik pelatuk lalu sebuab timah panas melesat menuju mata makhluk itu. Karena efek dari tembakan itu, badan Bibi terpental ke belakang. Peluru itu tepat mengenai mata ogre itu dan membuat makhluk itu terjatuh. Tak lama, tubuh makhluk itu berubah menjadi batu dan hancur berkeping-keping. Secara ajaib, setelah makhluk tersebut hancur nampak pula sebotol cairan aneh di dekat tubuh makhluk itu.

Aci menghela napasnya lega. Ia masih syok dengan kejadian yang barusan ia alami. Flo berlari mendekatinya lalu melihat-lihat kaki Aci untuk mengecek apakah ada luka yang Aci alami. Untungnya, Aci baik-baik saja tanpa ada lecet atau terkilir sedikit pun. Bibi berjalan mendekati dua hewan itu sambil tetap menenteng senjatanya.

Aci melihat ke arah Bibi lalu tersenyum. "Terima kasih, Bibi."

Bibi ikut tersenyum. Ia kemudian berkata, "tidak apa. Yang penting kau selamat."

Mereka bertiga tersenyum senang sambil terduduk di dekat tubuh ogre tersebut. Flo kemudian melihat ke arah sebotol cairan aneh di dekat tubuh ogre itu lalu menoleh ke arah Bibi. "Apa itu?"

"Itu adalah--"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro